Bulan November tahun 2016 silam, Alfred Tuname, penulis, pemerhati sosial politik menulis artikel berjudul Pak Raden dan LG Corner dan disiarkan di weeklyline.net. Atas izin penulis, catatan tersebut disiarkan kembali di ranalino.co.
Alfred Tuname | Dok. Pribadi |
Pak Raden dan LG Corner, Sebuah Catatan tentang Dongeng di Ruteng
Tujuannya adalah agar berbagai kegiatan di Ruteng, terutama di ranah kesenian, anak-anak dan kegiatan orang-orang muda dapat memantik diskusi yang lebih besar. Tulisan berjudul Pak Raden dan LG Corner ini adalah salah satunya. Selamat menyimak.
Pak Raden dan LG Corner
Sebelum mendengarkan sebuah dongeng, anak-anak pencinta dongeng di LG Corner, mengheningkan cipta untuk menghantar kepergian Pak Raden. LG Corner merupakan ruang publik tempat anak-anak mendengarkan dongeng yang terdapat di Kota Ruteng, Kabupaten Manggarai, Flores, NTT.
Begitu hening anak-anak di LG Corner mendoakan kepergian Pak Raden. Pak Raden sudah meninggal. Ia meninggal pada 28 November 2015. Kepergiannya menimbulkan duka yang mendalam bagi anak-anak bangsa Indonesia.
Pak Raden adalah seniman sejati sekaligus guru yang luar biasa bagi anak-anak dan generasi muda bangsa Indonesia. Kepribadian dan prinsipnya patut digugu dan ditiru. Ia tidak mengejar kekayaan dan kemegahan duniawi. Ia hanya ingin anak-anak Indonesia mencintai tanah airnya dan tidak lupa akan jati diri sebagai bangsa Indonesia yang berlimpah kekayaan budaya dan cerita.
Bercerita dan mendongeng memang tidak gampang. Setidaknya itu membutuhkan penguasaan materi cerita dan komunikatif. Selebihnya perlu ada ekspanasi yang ekspresif dan detail. Semua itu untuk memancing mood dan perhatian bagi para pendengar. Tentu perlu juga humor untuk menambah semarak anak-anak dalam mendengarkan cerita.
Mendengarkan cerita dongeng secara live saat ini bukanlah suatu yang gampang. Ketika semua hal harus ditakar dengan uang dan kecepatan, dongeng hanya tinggal sebagai “dongeng”. Dongeng sebelum tidur tidak pernah dijumpai lagi.
Para orang tua tidak lagi menggunakan dongeng untuk menghantar anaknya lelap. Cukup dengan memberikan gadget yang full games anak-anak sudah bisa tidur dengan mata lelah. Artinya, sejak kecil anak-anak sudah diajarkan untuk berkompetisi, bukan bermain.
Armin Bell, seorang tokoh muda dan sastrawan muda di Manggarai, pernah mengatakan, “Ketika semua divisualisasi oleh media televisi, maka tidak ada lagi kebersamaan pada anak-anak”. Pendiri komunitas bercerita di LG Corner Ruteng itu tentu saja benar.
Visualisasi cerita di televisi menghilangkan interaksi pada anak-anak itu sendiri sekaligus hilangnya makna dan pesan dari cerita. Padahal, dengan mendengarkan dongeng secara langsung dari pendongeng, imajinasi anak-anak akan terstimulasi dengan baik.
(adsbygoogle = window.adsbygoogle || []).push({}); |
Pak Raden tentu sangat berjasa bagi anak-anak bangsa Indonesia. Ia berhasil mengangkat cerita-cerita yang menstimulasi imajinasi anak-anak Indonesia. Dengan serial cerita televisi “Si Unyil”, ia telah berhasil membawa cerita-cerita anak-anak menjadi bermakna dan benar-benar menyentuh nurani anak. Ketika televisi nasional merayakan cerita-cerita orang-orang dewasa dan horor-mistik, “Si Unyil” menjadi simbol perlawanan anak terhadap determinasi acara-acara dewasa di televisi.
Baca juga: Semua Suka Rahasia Pengakuan
Seniman dan animator ulung Drs. Suyadi “Pak Raden” sudah pergi dan meninggalkan “Si Unyil” untuk kita. “Harta” budaya ini perlu dijaga. Tetapi masyarakat nusantara bisa hanya berhenti pada “Si Unyil”. Terbanyak kekayaan budaya dalam bentuk cerita-cerita lokal dan berbahasa lokal yang perlu dianggkat. Cerita-cerita dongeng itu perlu diperdengarkan dan diceritakan kepada anak-anak sebagai generasi bangsa.
“Si Unyil” adalah titik picu untuk kebangkitan cerita dongeng nusantara. Ada banyak cerita mitos, heroik, romantika dan lain-lain yang perlu diceritakan kepada anak-anak. Dengan begitu, anak-anak Indonesia tidak perlu lagi mengangungkan dan mimetik pada cerita-cerita heroik dari negara lain, seperti Spiderman, Batman, Superboy, Upin-Ipin, Spongebob dan lain-lain.
Oleh sebab itu, mengembalikan dongeng-dongeng nusantara kepada ingatan dan imajinasi anak-anak adalah sangat penting. Dongeng itu sendiri mampu mengembalikan semagat kecintaan terhadap negeri, khususnya budaya-budaya lokal.
Tentu, dongeng tidak hanya berhenti sebagai dongeng pengantar tidur. Melalui dongeng, terdapat banyak nilai dan makna yang hendak disampaikan kepada generasi muda. Hal itu bisa menajadi pegangan dan tuntunan yang mendidik. Di situ ada ajaran etik dan moral.
Komunitas dongeng untuk anak di LG Corner setidaknya berkembang atas nilai-nilai itu dan atas dasar kecintaan akan cerita-cerita khas Manggarai. Setiap hari Minggu pertama, komunitas ini menceritakan cerita-cerita dongeng khas Manggarai. Ada banyak dongeng Manggarai yang diceritakan di situ. Cerita yang menarik menimbulkan kesan bahagia dan pengertian pada anak-anak yang mendengarkannya.
Dengan dongeng itu pula anak-anak belajar tentang nilai dan budaya secara bersama-sama. Dalam dongeng, anak-anak menyemai mimpi. “/I have spread my dreams under your feet;/ Tread softly because you tread on my dreams/”, tulis penyair William Butler Yeats dalam “Aedh Wishes for the Cloths of Heaven”.
Melalui dongeng, nenek moyang sedang mengajarkan mimpi akan kebaikan bersama dan budaya yang tidak boleh dilupakan. Tanggung jawab generasi penerus adalah terus-menerus menjaga mimpi itu, “tread on my dreams”.
Akhirnya, selama jalan Pak Raden. Terima kasih banyak. Juga, maju terus dongeng untuk anak di LG Corner Ruteng.
- Alfred Tuname adalah pemerhati sosial-politik. Peneliti pada Lembaga MRI (Manggarai Raya Institute). Ia juga menulis opini, puisi, dan esai di berbagai media cetak dan daring.
- Di weeklyline.net, catatan ini disiarkan tanggal 3 November 2015.
Nice
Terima kasih
Menurut saya yg nice adalah fotonya (so classic!)..hehhehehe.. sedangkan ulasannya adalah kekhawatiran yg hrs jadi PR bersama orangtua, guru, dan semua pihak yg peduli.. betapa televisi dan gadget sdh merenggut banyak hal dr dunia anak jaman now.. mantap tulusannya om!
Terima kasih. Tabe.