Tahun 2016 silam, Komunitas Saeh Go Lino Ruteng bersama Komisi Kepemudaan Keuskupan Ruteng menggelar pentas drama musikal berjudul “Ombeng”. Blog ranalino.co akan menyajikan secara bersambung naskah drama tersebut. Selamat menikmati Ombeng babak satu ini.
Adegan dalam Drama Musikal “Ombeng” di Labuan Bajo (2016) | Foto: Johan Mario Waso |
Naskah Drama Musikal “Ombeng” (Babak Satu)
Oleh: Armin Bell
Ombeng, Babak Pertama
Layar dibuka – Lima penari lelaki masuk, mebawa huruf-huruf O M B E N G, menatanya di layar belakang hitam dengan urutan mbeong, beongm, mbonge, dll, sebelum menjadi OMBENG. Lima penari perempuan masuk. Para penari, lima lelaki dan lima perempuan menari dengan formasi rapi, tarian kegembiraan dengan durasi 5 menit, Lalu formasi menjadi pecah tak beraturan dan mendadak dalam formasi duel/perkelahian (durasi 2 menit). Daria dan Dorus juga adalah bagian dari sepuluh penari itu. Mereka menarikan “Labar Cama” (Koregorafi oleh Febry Djenadut, Musik: Ngkiong, courtesy of Ivan Nestorman). Saat formasi tarian pecah, seorang lelaki tua masuk.
Bapa Tua:
Apa yang kalian lakukan? Ada apa ini. Toè kèta manga nenggo’on ruku ditè’t Nuca Lalè mèdè main. (Tak pernah ada sikap seperti ini di Nuca Lale sejak dahulu kala). Ata co’o mèu? Kalian ini kenapa? (Kerumunan mendadak ribut berusaha menjelaskan dalam versi mereka masing-masing, suara tumpang tindih, saling menuding).
Pemuda 1:
Hia ata pertama’n. Dia yang paling awal melakukan gerakan yang salah.
Pemudi 1:
Bukan. Tapi hau. Kau. Ya. Kau! (sambil menunjuk pemuda 1) Tidak tahu aturan.
Pemudi 2:
Kamu semua memang salah. Dendam di tempat lain kamu selesaikan di sini.
Pemuda 3:
Pokoknya buruk. Buruk sekali.
Bapa Tua:
Aaaah… sudah…. sudah. Malah ribut lebih parah kalian ini. Saya minta kau (menunjuk Pemuda 4), ya, Itè, Nana. Jelaskan, apa yang terjadi di sini. Du wangkan, di’a kèta ombèng lomès è. Manik kèta nai’g lèlo saè’s è (Pada mulanya betapa indahnya kalian menari. Menyentuh hati). Tarian yang indah telah kalian tunjukkan, mengapa pecah menjadi perkelahian tak beraturan? (Merangkul pundak Pemuda 4, ke tengah panggung). Coba Nana jelaskan dulu duduk persoalannya (Pemuda 4 seperti hendak duduk, tetapi ditahan oleh Bapa Tua). Bukan kau yang duduk, ka. Tapi duduk persoalannya. Maksudnya, tadi itu cerita sebenarnya bagaimana.
Pemuda 4:
Saya sendiri tidak mengerti apa sebenarnya yang terjadi di sini, Ema. Pada awal mula, semua terasa baik adanya. Gerak-gerakan tercipta begitu indah. Hingga…. salah seorang dari kami menginjak kaki seorang yang lain. Saya lupa siapa, tapi…
(adsbygoogle = window.adsbygoogle || []).push({}); |
Pemuda 1:
Itu saya. Aku hitu bao. Saya injak kakinya Enu hio (menunjuk Pemudi 1). Tapi itu karena dia buat gerakan yang salah. Nah, waktu saya injak Enu punya kaki, tiba-tiba ini Kèsa Dorus dorong saya dari belakang.
Dorus:
(Bicara dalam nada tinggi). Betul saya dorong, karena Kraèn injak saya punya Weta (saudari) punya kaki. Ai apa maksud’n pande ditè hitu? (kenapa kau lakukan itu?) Sengaja atau bagaimana?
Pemuda 4:
(Menyambar dialog) Weta ditè taung, ta. Kita semua ini saudara.
Pemudi 3:
Apa?
Pemuda 4:
Iya to? Kita semua bersaudara. Dalam cinta, dalam rasa. Lalu datang entah apa, mungkin dendam atau apa. Tak dapat dimengerti, dendam atau iri dengki. Siapa mendendam siapa dan siapa memendam apa?
Secara bersamaan semua menoleh pada Pemudi 2 yang berdiri sendiri di sisi lain panggung. Seluruh dialog dilakukan dengan ping-pong.
Pemudi 3:
Apa maksudmu, Nana? Dendam apa? Pendam apa?
Pemudi 4 dan Daria:
(Bicara bersamaan) Iya. Tolong jelaskan. Dendam di tempat lain maksudnya apa?
Pemudi 4:
Jangan asal menuduh.
Dorus:
Ya… ya… ya… semua harus jelas!
Para penari bergerak bebas selama dialog. Pada saat terakhir membentuk formasi dalam barisan.
Bapa Tua:
Sudah, sudah! Sekarang semua diam. Dengarkan saya. (Seperti berdeklamasi). Kita ini anak-anak Nuca Lale. Ca Ine ca Ame. Pu’ung mede mai’n. Tak elok berkelahi, tak baik saling memaki. Berdamailah. Ayo… berdamai. Cau lime tau’m ga (Ayo, salaman). Ayo… (Para penari bersalaman). Nah, bagus. Begitu. Harus begitu. Seperti laku orang-orang dahulu. Eme manga sala, caca lè tu’a panga’s (Jika ada yang salah, selesaikan dengan bijak–dengan bantuan tu’a panga). Ini bumi Manggarai. Tempat segala kebaikan tumbuh sejak dahulu. Di sini, di tanah ini (saat ini band memainkan intrumen awal lagu Ngkiong Le Poco – Ivan Nestorman), semua bunga bernyanyi, segala burung menari… indaaaah sekali… sebagai tari burung-burung surga.
Seseorang dari penari menyanyikan lagu Ngkiong Le Poco – Ivan Nestorman. Dua penari (Pemudi 3 dan 4) mengiringi (Tarian: Saeh Go Lino Ge, Koreografi: Febry Djenadut, Produksi: Saeh Go Lino, 2015). Penari lain dan Bapa Tua duduk dalam formasi yang ditata di sekitar panggung. Setelah selesai, semua bergerak mendekati Bapa Tua.
Bapa Tua:
Nah. Begitu. Indah kan? Saya terpukau dengan keindahan syair lagu itu dan tarian yang indah tadi. (Mendehem. Jeda.) Di sini, di tempat kalian merusak formasi, di atas bumi ini, di zaman dahulu, semua manusia saling menghargai. Toe manga ata tae hau ngong hae wa’u. Hiang tau de ata nau’n. Bantang cama reje lele, hitu de manga’n ga, tawa lima gantang, reges lima leke (Tak ada yang tidak sopan pada sesama. Saling menghargai. Menghargai perbedaan pendapat. Hanya itu. Agar kita boleh tertawa/bergembira bersama).
Para penari telah berada dalam formasi tarian kedua, lagu Kumpul Bocah – Vina Panduwinata (versi Glenn Fredly). Choir masuk, ikut dalam formasi, lagu dinyanyikan oleh salah seorang dari anggota choir. Pada saat itu, Dorus dan Daria keluar panggung, ganti kostum untuk persiapan adegan selanjutnya. Bapa Tua ikut menari. Koreografi diatur sehingga penyanyi dapat bergantian menari berpasangan dengan Bapa Tua, ditampilkan juga formasi permainan tradisional Rangkuk Alu, dll.
Bapa Tua:
(Tampak kelelahan setelah ikut menari). Nah, itu. Begitu. Indah to? Enak to? Semua berbahagia. Semua bergembira. (Delapan penari tersenyum, berbisik-bisik). Ada apa lagi kalian bisik-bisik begitu? Ada yang salah? (Salah seorang dari delapan penari menggerakkan dagu menunjuk ke arah Dorus dan Daria yang sedang bermesraan di sudut lain. Mereka kembali ke panggung saat Kumpul Bocah hampir selesai. Usai lagu, choir langsung keluar panggung).
Bapa Tua:
Lihat kan? Ketika semua bergembira, yang ada adalah cinta yang bersemi. Nah… saya ini sudah tua. Tadi kita menari itu lumayan heboh. Toe haeng le le’as dami’s (pinggang kami orang tua sudah tidak bisa untuk) gerakan situ ga (seperti itu). Jadi , saya istirahat dulu. Meu kole ta (juga kalian) (menunjuk 8 penari lain), kalau tidak ada sesuatu yang penting, istirahat dulu to. Biarkan yang jatuh cinta yang mengambil alih pentas. Kita bersepakat saja, pada pentas manapun di dunia ini, andai cinta telah ada di dalamnya maka yang dapat kau lihat hanya keindahan. Ya… Cinta…
Layar ditutup.
Bersambung…
Simak juga:
Mau tahu informasi tentang pengalaman Travelling menarik? Semuanya ada di tautan ini.