menuju flores bebas rabies bagian 3 minta maaf beta talalu sayang yeris meka

Menuju Flores Bebas Rabies (Bagian 3): Minta Maaf, Beta Talalu Sayang

Ini bagian akhir dari catatan berseri Yeris Meka tentang Flores Bebas Rabies. Bagian yang penting. Yeris bercerita tentang persahabatan anjing dan tuannya.


Flores Bebas Rabies, Kampanye yang Tak Ramai

Oleh: Yeris Meka

Sejak rabies merebak dua puluh tahun silam di Pulau Flores, total sudah 300 nyawa melayang akibat virus ini. Jika dirata-ratakan, lima belas korban meninggal setiap tahun selama dua dekade. Jumlah yang besar. PENYEBABNYA RABIES.

Belum lagi kerugian ekonomi yang diakibatkan. Korban gigitan HPR (Hewan Penular Rabies) wajib divaksin, bahkan bila anjing yang menggigit terlihat sehat. Apalagi yang sudah tertular rabies. Ini Flores. Pulau yang masih belum bebas rabies. Hati-hati!

Rabies itu mematikan. Tidak boleh dianggap main-main. Lalai pada penanganan awal, maka ketika gejala muncul, penanganan menjadi percuma. Kemungkinan terburuk? Ya, kehilangan nyawa. Bukan menakut-nakuti. Memang begitu. Unicef malah sudah menetapkan tanggal 26 September sebagai hari rabies. Untuk diperingati. Tidak untuk dirayakan sebagaimana hari ulang tahun kelahiran. Supaya kita eling. Sadar. Virus mematikan ini ada. Di dekat kita. Bahkan mungkin sering bermain dengan anak atau cucu kita. Atau menginap. Dia makhluk pertama yang menyambut di pintu rumah ketika pulang kerja.

Pikiran yang Kusut

Dulu. Saat sekolah menengah pertama saya pernah menjadi cuek-cuek saja. Ketika masih awam dengan rabies. Ada rencana eliminasi masal waktu itu. Saya merasa perlu melarikan anjing-anjing ke padang. Beberapa pemilik anjing juga. Tujuannya sama. Supaya anjing-anjing kami tidak mati.

Konon katanya, tentara dan polisi dikerahkan. Bakal dibedil anjing-anjing kami bila tidak diungsikan. Bagi kami, seekor anjing yang sudah berbagi setia, pantas diselamatkan. Begitu kukuh semangat itu. Malah sebagian dari kami meyakini: ini sudah seperti tugas Bapa Yosef menyelamatkan Bunda Maria dan bayi Yesus.

BACA JUGA
Bagaimana Ivan Nestorman Melihat "World Music"?

Dan ada kisah lain lagi. Sepasang suami istri hidup di ladang. Bercocok tanam. Jagung. Ubi jalar. Singkong. Pepaya dan banyak lagi. Pagar bambu kokoh di sekeliling ladang. Beberapa ekor anjing juga dipiara. Beranak pinak di sana.

Celeng tak akan mudah menerobos masuk. Terlalu rapat pagarnya. Belum lagi taring-taring tajam anjing penjaganya. Siapa yang hendak bertandang ke ladang, perlu memanggil tuannya dari jauh. Bila tak hendak dikejar anjing-anjing itu.

Baca juga: Jadi Petani, Anak Gunung, Sepatu, dan Burung Besi di Langit Kampung

Suaminya punya hobi berburu. Celeng. Landak. Musang. Juga tupai. Anjing-anjingnya sudah terbiasa. Memburu, mengepung lalu membuat buruannya terpojok untuk ditangkap tuannya. Ya, petani itu. Orang awam menyebut lelaki itu melatih anjing-anjingnya jadi pintar. Mereka punya ikatan batin dan budi. Anjing-anjing setia pada petani. Kebun petani tak pernah dijebol hewan liar. Jelas, anjing-anjing itu punya peran besar. Itu di kampung saya.

Agak susah merayu beliau melepas anjingnya dengan harga berapapun. Tapi, bila anjingnya mati, entah karena usia atau cacat waktu berburu, siap saja anjing bakal jadi er-we. Diajaknya kawan dan kenalan. Melahap daging anjingnya. Tak pernah dipersengketakan. Oleh siapa pun jua.

Rasa Memiliki

Saya meraba-raba sendiri. Tentang rasa memiliki yang kadang begitu. Milik sendiri rusak atau habis, tak apa. Asal dibikin sendiri. Tidak oleh orang lain. Kalau sampai begitu, bisa ada perkara baru. Ada semacam pengkhianatan di sana.

Saya perlu meralat anggapan ini. Tentang orang-orang yang mencintai anjing. Banyak. Kelompok pencinta anjing. Bahkan beberapa tingkat di atasnya lagi. Pembela hak-hak anjing. Itu mulia.

Ah, yang terakhir itu akan susah ditemukan di Flores. Kalau ada satu orang yang mengumumkan diri sebagai pembela hak anjing, tugas itu berat. Terlalu berat. Bagaimana meyakinkan yang sudah mengamini enaknya daging anjing untuk murtad dari kenikmatan itu?

BACA JUGA
Mora Masa: Menabung Rumput Menuai Rupiah

Saya juga suka anjing. Seperti kebanyakan orang. Sebatas anjing itu masih lucu, segar dan menggemaskan. Kalau sudah lemah, malas, dan menjengkelkan, saya jadi seperti petani tadi. Kadang-kadang. Kalau anjingnya mati, ya sudahlah. Itu dulu. Hari-hari belakangan, ruang untuk pencinta dan pembela hak anjing mulai terpupuk. Setidaknya, saya sudah beberapa kali jadi saksi. Kisah antara tuan dan anjing-anjing mereka di tempat kerja saya. Rumah Sakit Hewan.

Suatu pagi seorang pemuda datang ke tempat kami. Berbaju dinas. Lengkap. Tampak panik. Anjingnya sekarat. Sembari kami memberi penanganan, ia bercerita tentang kelucuan-kelucuan anjingnya itu. Suasana ruang periksa jadi agak ramai. Matanya tidak pernah lepas dari anjing kesayangannya. Saya perhatikan. Pemandangan ini, tidak lazim. Saya yang cuek atau orang ini memang kadar pedulinya tinggi?

“Dia bisa sembuh ko?” tanyanya berkali-kali.

“Agak berat, tapi kita usaha saja dulu.” Dokter coba menjelaskan setelah infus terpasang. Akhirnya diputuskan. Anjing dirawat inap.

Singkat cerita, setelah dua hari dirawat anjing itu tidak tertolong. Mati. Si pemuda, tuan anjing itu, menangis sejadi-jadinya. Ruang rawat inap Rumah Sakit Hewan seketika jadi ruang pemulasaran. Duka dan sedih berkubang di situ. Kami semua diam. Pemuda itu masih terus mengenang anjingnya di sela-sela tangis. Itu pertama kali saya menyaksikan kesedihan yang begitu mendalam untuk seekor anjing.

Baca juga: Fenomena Rakat, dari Sinisme, Humor Gelap, hingga Medan Investasi Sosial

Pada kesempatan lain, seekor anjing dibawa. Warna hitam. Tambun tapi bau. Keadaannya parah.Terserang parvo. Mencret darah. Sepertinya seluruh dinding ususnya sudah tergerus. Tuannya, pasangan muda. Yang lelaki bertato di lengan kanan, tindik di telinga kiri. Penampilannya cukup meyakinkan saya bahwa tidak ada kesedihan akan keluar dari mahluk sesangar itu jika anjingnya mati. Tapi bayangan saya lenyap.

BACA JUGA
Memori Penderitaan dan Karya Sastra

Ketika anjingnya meregang nyawa, ia meraung. Memanggil nama anjingnya. Bajunya dilepas. Anjing dibungkus pakai baju sendiri. Jadi sudah. Ia setengah telanjang. Di ruang periksa. Lalu mulai bertubi-tubi ia mencium bangkai anjingnya itu. Buru-buru wanita yang bersamanya membawa jaket. Dipakaikan kepada yang sedang menangis.

“Aduh kaka, minta maaf. Beta talalu sayang. Dia anjing yang pintar.” Katanya setelah sedihnya terurai. Lalu mereka pamit. Pulang membawa anjingnya yang sudah mati. “Biar dikubur di rumah,” katanya.

Kami terkesima. Kemudian larut dalam diskusi ringan. Membanding-bandingkan. Antara pemilik anjing yang satu dengan yang lain. Antara yang datang kemarin atau hari ini. Semua tentu beda. Tapi kami sepakat. Pencinta hewan sejati terlihat saat piaraannya sekarat, kawan sejati hadir saat teman melarat.

Saya coba menghubung-hubungkan. Tabiat para pemilik anjing. Dengan situasi dan kegiatan vaksinasi. Alasan tidak diserahkan anjing untuk divaksin oleh beberapa pemilik yang terlanjur disesatkan informasi yang salah.

Memang kampanye perlu kembali digencar. Agar Flores Bebas Rabies! (Habis)

Ruteng, 5 November 2018

Yeris Meka, dari Mangulewa, tinggal di Kupang, petugas medik veteriner.

Gambar dari Republika.co.id.

Bagikan ke:

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *