Mari bahas sikap-sikap yang dapat dipilih oleh konsumen media ketika berhadapan dengan media massa online yang membawa banyak soal dalam penampilannya.
Catatan ini adalah lanjutan dari tulisan berjudul Media Massa, Politisi dan Khalayak yang Pasrah.
Beberapa waktu setelah media massa dalam jaringan (daring/online) mulai populer di Indonesia, berbagai seminar dilaksanakan. Yang dibahas adalah hal-hal seputar perkembangannya dan bagaimana seharusnya anak bernama media massa online itu hidup. Usaha-usaha itu dibuat agar pelaku media mengingat, kata pertama dalam platform baru itu tetaplah sama yakni jurnalistik. Artinya, soal seperti kecepatan saji, dampak bisnis, dan lainnya (termasuk SEO dan SERP), diharapkan tidak mengambil posisi jurnalistik (baca: etika bermedia) di tempat pertama.
Seminar, workshop, dan bentuk-bentuk diskusi pada masa-masa awal tumbuhnya dunia dalam jaringan itu seperti melihat gejala: “dikalahkannya” jurnalisme oleh perburuan klik, kejar target iklan, dan hal-hal lainnya. Posisi yang seharusnya berada di prioritas berikutnya, karena ‘hanya’ merupakan dampak kinerja.
Tahun 2012, Aliansi Jurnalis Independen (AJI) memperbincangkannya dalam sebuah focus group discussion bertema “Media Online: Pembaca, Laba, dan Etika”. Situs resmi AJI merilis informasi diskusi tersebut dengan sebuah kabar bahwa, hasil proses diharapkan akan melahirkan pedoman media online yang mampu menjawab problematika yang selama ini muncul. Agak mengejutkan karena sesungguhnya pedoman media siber sudah lahir beberapa bulan sebelum FGD AJI itu digelar.
Diskusi AJI dilaksanakan tanggal 5 September 2012, sedangkan Pedoman Media Siber ditandatangani oleh Dewan Pers dan Komunitas Pers di Jakarta tanggal 3 Februari 2012. Hemat saya, ini soal pertama; koordinasi, kesamaan pemahaman, dan pengetahuan bersama, tidak terjadi (atau dibangun) di antara para pelaku jurnalisme daring atau bahkan seluruh pelaku jurnalisme tanah air.
Baca juga: Media Massa Daring dan Masalah Akut Bernama Penyuntingan
7 Maret 2013 sebuah seminar bertema “Media Online: Pertumbuhan Pengakses, Bisnis dan Problem Etika” digelar di Jakarta. Tempo.co merilis berita tersebut tanggal 12 Maret 2013 dengan menampilkan pernyataan Nezar Patria dan Viva.co.id. Nezar sebagaimana ditulis Tempo.co mengatakan bahwa pegiat media massa online terjebak pada kekeliruan-kekeliruan.
Persepsi keliru itu, antara lain, jurnalisme online bukanlah jurnalisme yang serius; traffic sebagai pencapaian utama dipandu berita sensasional; dan kualitas dan kredibilitas berita online lebih rendah dari jurnalisme cetak. Akibat persepsi keliru itu, berita-berita di media massa online terjebak pada berita yang dangkal dan citranya menjadi kelas kedua karena berlomba-lomba mengejar traffic.
Ini barangkali soal berikutnya. Bahwa kesadaran yang muncul sekian tahun silam itu, ternyata tidak memberi pengaruh positif pada geliat media massa daring pada tahun-tahun berikutnya.
Apa yang dilakukan setelah seminar? Meletakkan berita tentang seminar di situs berita, membiarkan mesin pencari merambahnya, suatu saat akan diakses oleh pengguna internet dengan kata kunci: masalah dalam jurnalisme online. Ada klik, ada untung. Urusan tindak lanjut adalah pertanyaan “Apa itu tindak lanjut?” Barangkali begitu.
Baca juga: Mengapa Gratis Kalau Bisa Bayar?
Tahun 2016 silam, Kementerian Komunikasi dan Informatika menginformasikan bahwa ada 700 sampai 800 ribus situs penyebar hoax di Indonesia. Tumbuhan itu subur berkembang seiring dengan penggunaan media sosial yang meningkat dan kesadaran penggunanya yang (sebut saja) menurun dari waktu ke waktu.
Ada juga hal ekonomi di balik berkembangnya situs penyebar hoax itu. Satu situs bisa mendulang sekitar 30-an juta sebulan. Jumlah yang menggiurkan mengingat situs-situs tersebut rata-rata dimainkan oleh satu atau dua orang saja. Judul-judul clickbait, berita-berita provokatif, kebohongan-kebohongan disebar kepada kelompok-kelompok besar yang sudah telanjur pecah dalam politik menyusul intensitas ketegangan yang meninggi pasca Pilpres 2014.
Pada periode yang sama, Dewan Pers pernah merilis kabar bahwa ada sekitar 43.000 situs yang mengklaim diri sebagai portal berita di negeri ini. Dari jumlah tersebut, baru ratusan situs yang terverifikasi. Artinya puluhan ribu sisanya berpotensi menyebarkan berita bohong.
Apa kabar khalayak? Menjadi pemakan berita, termakan berita, terjebak pada perdebatan panjang soal pro-kontra, dan siap mengkonsumsi berita bohong berikutnya.
Media Massa Online di NTT
Berita bohong atau hoax barangkali soal berikutnya di NTT. Media massa online di wilayah ini justru masih berkutat di masalah paling dasar yakni tata penulisan, akurasi berita (tidak bisa dimasukkan dalam kategori hoax karena tidak dengan sengaja ditujukan untuk berbohong atau memutarbalik fakta), dan kemampuan penyuntingan (peran editor).
Entah karena diburu target segera naik dan datanglah klik, banyak (untuk tidak menyebut semua) media massa online di NTT menyiarkan berita yang tulisannya buruk rupa. Paling banyak adalah soal kesalahan dasar menulis awalan dan kata depan; posisi berikutnya ditempati oleh penulisan kata serapan yang keliru; selanjutnya pada kesalahan penulisan nama tempat, orang; dan akurasi peristiwa.
Pada beberapa kasus, dan ini marak menjelang perhelatan politik, media massa daring yang jumlahnya semakin hari semakin bertambah, tidak lagi dapat membedakan berita langsung, opini, berita investigasi, dan produk-produk jurnalistik lainnya. Demi menjual kandidat yang “sesuai agenda setting media”, digabungkanlah semua produk jurnalistik itu dalam satu artikel dan diberi judul yang clickbait.
Kesalahan-kesalahan demikian tentu juga terjadi pada media massa konvensional namun cukup terselamatkan karena editornya (terlihat) bekerja.
Baca juga: Inilah Empat Kesalahan Media Massa di Indonesia
Dewan Pers sejauh ini hanya berhasil memverifikasi tidak sampai sepuluh media massa online di NTT. Dasar verifikasi juga masih terlampau tidak berdaya untuk mengatasi konten buruk yang bertebaran di media massa online itu, karena lebih fokus pada hal-hal normatif seperti hal badan hukum dan aturan administrasi lainnya.
Artinya, jika sebuah media sudah berbadan hukum jelas, dan wartawannya tidak paham kaidah-kaidah jurnalistik dan tata bahasa Indonesia, Dewan Pers belum cukup serius mengurusnya. Dalam hal ini, Dewan Pers mungkin tidak bisa dituding sebagai pihak yang paling bersalah. Aliansi profesi juga tidak. Toh mereka telah membuat seminar beberapa tahun silam.
Menjadi Pembaca Cerdas
Di tengah banjir informasi per detik, menjadi pembaca yang cerdas adalah leraian yang dibutuhkan. Karena literasi media kini berbasis dalam jaringan, maka usaha menangkal bertumbuhnya media massa online yang buruk juga harus dilakukan dalam jaringan yang sama. Caranya?
Pertama, tidak membantu menyebarkan tautan berita dari media yang memiliki kecenderungan kesalahan penulisan tinggi. Jika dalam beberapa penelusuran, media bersangkutan melakukan kesalahan berulang dalam penulisan awalan dan kata depan, tidak akurat dalam menceritakan peristiwa, memakai status pengguna media sosial sebagai bahan berita, hentikan mengakses media tersebut.
Kedua, melaporkan media-media yang kerap melakukan kesalahan (baca: tidak kredibel) melalui saluran-saluran resmi yang telah disiapkan, misalnya kepada Dewan Pers untuk konten yang salah atau keluar dari etika jurnalistik, kepada Kemenkominfo untuk situs yang buruk, atau kepada Kepolisian untuk materi-materi provokatif. Harapannya adalah laporan tersebut ditindaklanjuti.
Ketiga, screenshot kesalahan-kesalahan media tersebut, diulas, didiskusikan, disebarkan. Screenshot dipilih karena tidak berdampak pada meningkatnya jumlah pengunjung di media massa bersangkutan jika dibandingkan dengan menyertakan tautan pada kritik kita.
Keempat, pahami bahwa judul-judul clickbait pasti berisi berita-berita buruk, tidak penting, dan tidak bermanfaat. Berhentilah menyia-nyiakan waktu Anda untuk (yang mereka anggap) berita-berita seperti itu. Verifikasi tidak lagi menjadi tugas Dewan Pers, tetapi tugas utama pembaca.
Kelima, menyiapkan generasi baru yang cerdas menggunakan internet. Kurikulum pendidikan mulai dari tingkat dasar sampai tinggi mestinya segera menyadari materi ini sebagai sesuatu yang penting. Pada saat yang sama, tenaga pengajarnya tentu telah terlebih dahulu menjadi cerdas di internet.
Keenam, kampanye bersama menolak hoax yang populer dilakukan hari-hari terakhir ini harus disertai contoh media yang melakukannya. Rasanya, kampanye menolak konten bohong atau ujaran kebencian yang dilakukan selama ini masih terlampau normatif. Seharusnya lebih menukik. Apakah kita telah menjadi takut menyebut Media A atau B atau C sebagai penyebar kebohongan atau sebagai media massa yang buruk?
Sampai negara menemukan format terbaik menangkal tumbuhnya media massa daring semacam itu, tugas melakukannya diserahkan kepada para pembaca. Beberapa surat kabar konvensional mati karena ditinggalkan pembacanya yang beralih ke media massa daring. Mengapa tidak menghentikan massa daring yang buruk dengan cara meninggalkannya?
Baca juga: Piramida Terbalik Langkah Termudah Menulis Berita
Khalayak bisa. Khalayak yang cerdas, tentu saja. Jika tidak, bukan tidak mungkin berbagai seminar akan terus dilaksanakan dan pada saat yang sama ribuan situs berita mendulang keuntungan dari klik dan share dengan kesalahan-kesalahan yang sama. Kesalahan yang dibahas di setiap seminar. Kesalahan yang konsisten lalu dianggap sebagai sesuatu yang benar.
Pertumbuhan media massa daring tentulah disambut dengan sukacita. Dengan asumsi bahwa pertumbuhannya diikuti oleh terserapnya tenaga kerja dalam jumlah yang banyak, geliat bagian ini adalah sesuatu yang penting untuk bangsa sebesar Indonesia.
Tetapi alasan ekonomi semata tentu tidak baik jika dipakai untuk membiarkan yang salah tumbuh dan beranak-pinak. Pada situasi paling buruk, dampak menjamurnya media massa daring sebagaimana dibahas pada tulisan ini adalah lahirnya satu generasi yang tidak sehat.
Salam dari Kedutul, Ruteng
Armin Bell