koor misa di ruteng selalu bagus, foto ini dari pesparani kupang armin bell blogger ruteng ranalino

Koor Misa yang Selalu Bikin Saya Iri dan Merasa Kecil di Kursi Umat

Saya selalu merasa iri dengan anggota paduan suara atau kor (koor) di Ruteng. Nyanyian mereka indah sekali. Saat misa, saya juga merasa kecil. Karena tidak terlibat bernyanyi.


Ruteng, 15 Oktober 2018

Ruteng adalah kota dengan kelompok kor atau paduan suara yang bagus-bagus. Semua yang nyanyi di setiap kelompok kor—pada judul saya tulis koor sebagaimana saya mengenal cara kata itu ditulis ketika pertama kali belajar membaca, berasal dari bahasa Belanda—itu rata-rata saya kenal.

Kelompok kor (koor) atau paduan suara atau choir itu dengan tulus melayani kami umat Katolik di setiap misa. Pada perayaan ekaristi besar seperti Natal, Paskah, Tahun Baru, dan lain-lain, sampai pada misa-misa keluarga seperti requiem, ulang tahun pernikahan, pernikahan, dan lain sebagainya, terasa ada yang kurang lengkap kalau tidak ada kor.

Saya punya beberapa penyanyi favorit di beberapa kelompok koor atau choir di Ruteng. Kembar Jeany Yeany adalah andalan saya di sopran. Mereka bergabung di Majesty Choir bersama Mozakk dan Dodo, dua anak Saeh Go Lino yang rajin ikut misa kalau tanggung koor. Eh…

Di alto, saya jagokan Rossy. Anggota Madrigal Choir, salah satu kelompok paduan suara terbaik di Ruteng kota kecil dengan seribu gereja semuanya tampak familiar ini. Rossy anak Saeh Go Lino rasa Korea. Maksudnya, dia pernah ke Korea, mewakili kami dari Katedral Ruteng pada event Asian Youth Day. Dan masih banyak lagi: Eltin, Lia, Erlan, Abe, Rinny, Ratu, Yuni, Hilda, Hilde, Denny, Delvy, Nardi, Ancik, Munic, Adenk, Sintus, Celly, Gerry, Djiboel, Kojek, Nathan, Jimmo, Lisa, Della. Ps: Beberapa nama terakhir ini bukan jaminan mutu untuk sebuah kelompok paduan suara, tetapi saya jamin mereka bersemangat kalau diajak ikut koor.

BACA JUGA
Lipooz, dari Ruteng ke 16 Bar ke Hip Hop sampai Tuhan Suruh Berhenti

Baca juga: Naskah Tablo Jalan Salib “Yang Tak Pernah Pergi”, Mengenang Kisah Sengsara Yesus

Ketika menulis catatan ini, saya menyiapkan diri untuk mendapat ‘serangan’ dari mereka yang selalu menyanyi dengan merdu dan tulus itu, dan tentu saja siap mendiskusikan topik ini pada kesempatan yang luas dan lapang dan kopi (atau sopi?)

Judul tulisan ini memang sengaja dibuat begini. Koor Misa yang Selalu Bikin Saya Iri dan Merasa Kecil di Kursi Umat. Iri karena mereka bernyanyi dengan sangat indah dan bisa bikin terharu, sedangkan saya adalah penyanyi yang sangat percaya diri dan bikin undangan bubar. Semoga kita paham bedanya. Dan, saya selalu merasa kecil di kursi umat, ketika lagu dan musik liturgi di sebuah perayaan ekaristi ditanggung oleh kelompok paduan suara. Sebagai umat saya lebih sering diam. Sampai tadi malam.

Begini ceritanya…

Tadi malam saya ikut misa. Peringatan 10 tahun berpulangnya ayah dari kerabat kami. Yang kami doakan jiwanya itu adalah salah seorang tokoh yang namanya dikenal dan perjuangannya dikenang sangat banyak orang Manggarai. “Semoga kebahagiaan surga menjadi miliknya, amin.”

Saya terlambat. Lama-lama, ini kata akan jadi nama tengah saya sepertinya. Hiks. Masuk malu-malu saat bacaan pertama. Lagu antar bacaan, saya ikut nyanyi. Dengan semangat. Tidak ada koor. Hanya keyboard dan solis dan kami semua yang menyanyi. Lagu-lagu dari Madah Bakti dan Dere Serani. Sudah lama sekali saya tidak merasakan ‘misa keluarga’ seperti itu.

Kota Ruteng ini atau Manggarai pada umumnya punya banyak kelompok paduan suara. Yang melayani kami di misa-misa keluarga. Paduan suara yang bagus sekali. Yang menyanyi dengan sepenuh hati, dengan suara yang indah, harmoni yang tepat, membuat kau sadar bahwa qui bene qantat bis orat yang ada di halaman awal buku lagu Syukur Kepada Bapa itu sungguh benar. Mereka bernyanyi, rasanya sama dengan doa yang didaraskan dua kali. Tetapi kadang, ada rasa “tidak terlibat”. Sebagai umat, dengan paduan suara bernyanyi sebaik itu, saya lebih sering diam. Padahal mau juga sesekali “berdoa dua kali melalui bernyanyi dengan baik”.

BACA JUGA
Catatan tentang Teater di NTT (Bagian 2): Problem dan Problematisasi

Tetapi pada misa tadi malam itu, lagu-lagu yang dinyanyikan semua umat, dengan solis yang bagus, dan musik yang hebat, adalah pengalaman yang sering saya rindukan. Misalkan karena suara saya yang tidak merdu maka lagu yang saya nyanyikan di misa itu tidak dapat dihitung sebagai dua kali berdoa, tidak apa-apa. Semoga tetap cukup karena saya senang karena ikut misa dan ikut menyanyi.

Lalu saya pikir begini. Baik sekali kalau kelompok paduan suara, dalam melayani misa, membagi jumlah lagu. Lima puluh persen lagu umat, lima puluh sisanya lagu-lagu indah dari teks-teks koor. Ada banyak metode pembagian selain lima puluh lima puluh tadi. Ordinarium (kyrie, gloria, sanctus, agnus dei) diatur sebagai lagu umat, misalnya.

Meski tentu saja salah satu kesulitannya adalah karena umat juga kerap menambah sendiri ketukan pada lagu-lagu yang sudah telanjur mengumat. Akibatnya, lagu-lagu misa dinyanyikan dengan sangat lambat, lebih lambat dari tempo andante paling lambat sekalipun. Mungkin karena pengaruh kebiasaan landu yang penyanyinya tariiiiik itu lagu sampai habis napas dan lupa bahwa masih ada lirik berikutnya.

Baca juga: Lima Lagu Manggarai Terbaik yang Bercerita Jujur tentang Manggarai

Bagaimana mengatasinya? Mungkin bisa diatasi pakai “style” (ketukan/beat dari keyboard), atau dirigen umat, atau solis dengan pengeras suara. Jika tidak, jangan heran kalau buku Madah Bakti yang dikeluarkan oleh Pusat Musik Liturgi atau Dere Serani atau Yubilate akan tetap ada di tempat doa di rumah. Tidak dibawa serta ke tempat misa karena semua lagu ditanggung choir.

Apakah saya tidak suka kelompok paduan suara di misa? Ah, jangan bikin kesimpulan begitu ka. Begini-begini, saya juga berambisi masuk ke kelompok choir. Bukan soal saya suka atau tidak suka. Tetapi sebagai umat, saya perlu ‘sesekali’ menyanyi. Di misa. Sebagai doa. Syukur-syukur kalau dapat dihitung sebagai dua kali berdoa. Begitu.

BACA JUGA
Kita adalah Komentator Sepak Bola (Bagian Pertama)

Di atas semuanya, saya mencintai kota ini karena lagu-lagu misa, kelompok-kelompok koor misa, dan umat-umat yang bernyanyi. Ya. Umat harus ikut bernyanyi karena nyanyian liturgi adalah salah satu bentuk doa, selain sikap doa (berdiri, berlutut, duduk), hening, atau mendaraskan permohonan dan pujian.

Salam dari Kedutul, Ruteng

Armin Bell

Foto dari Victory News, diunggah tanggal 15 November 2022.

Bagikan ke:

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *