Kapan Ayah bahagia? Setiap saat? Kisah seperti ini tentu saja ada di setiap rumah. Ketika “seluruh dunia” merebut waktu orang-orang rumah, Ayah merasa sangat beruntung.
Tulisan ini pertama kali diunggah di Blog Ineame. Blog tersebut kini ditutup dan semua tulisan dialihkan ke Blog Ranalino untuk kepentingan dokumentasi. Salah satunya adalah tulisan yang berjudul “Kapan Ayah Bahagia?” ini. Blog Ineame selanjutnya hadir di platform youtube dengan konten-konten yang semangatnya tetap sama dengan Blog Ineame ketika pertama kali direncanakan.
Kapan Ayah Bahagia?
Selalu ada saat di mana saya merasa tidak cukup baik menjadi Ayah. Bapa. Begitu Lino, anak kedua kami memanggil saya. Perasaan demikian umumnya terjadi ketika saya sadar bahwa waktu bermain saya dengan Lino tidak banyak.
Saya pikir, banyak Ayah yang begitu. Pagi bangun, terburu-buru ke kantor. Padahal anak kedua baru berusia tiga tahun dan belum bersekolah. Hanya sempat bilang selamat pagi, menciumnya sedikit saja, lalu berangkat. Pulang, hari sudah sore. Ayah lelah. Mau menikmati waktu sendiri. Menjelang malam, ada juga waktu bermain. Tetapi tidak lama. Anak menghadap televisi sambil menikmati makan malam. Selalu begitu setiap hari. Kapan ngobrol? Kapan main dengan anak? Ada juga beberapa waktu sangat senggang. Tetapi Ayah adalah bagian dari dunia sosial. Dunia yang juga harus dirawat. Maka Ayah pamit. Keluar rumah. Berkumpul bersama kawan-kawan. Lepas lelah sedikit lah.
Kejadian seperti itu berulang. Menimpa semua Ayah. Termasuk saya, Bapanya Lino. Lino baru tiga setengah tahun. Tiba-tiba saya khawatir. Ruang Ayah-Anak, jangan-jangan tidak pernah jadi milik kami. Kelak ketika dia sudah besar, tidak ada waktu lagu menciptakan ruang itu.
Baca juga: Mendidik Anak, Menjadi Juara atau Menjadi Baik?
Belajar dari sikap Bapa, Lino mungkin akan memilih menghabiskan banyak waktu di luar (atau di rumah) sibuk dengan urusan pekerjaan. Saya jelas cemas memikirkan kemungkinan bahwa ketika nanti mengajak Lino ngobrol, dia akan bilang: “Lino kerja dulu e. Bapa nonton tivi saja.”
Karena itulah saya selalu berusaha ‘menciptakan’ waktu ngobrol itu pada malam hari. Menjelang Lino tidur. Hal yang sama dulu saya lakukan untuk Rana, anak kami yang pertama. Saya mengajak mereka mendengar dongeng. “Bapa baca cerita e.” Pada bagian awal, ajakan ini seperti menampar angin. Tidak berdampak apa-apa. Lino lebih memilih sibuk dengan mainannya. Atau dengan televisi. Metode pelan-pelan ‘ditinggikan’. “Kalau Lino mau itu, nanti Bapa kasi. Setelah Bapa baca cerita.” Ada tawar-menawar.
Itu dua bulan lalu. Ketika kesadaran tentang ‘waktu ngobrol’ itu tiba-tiba mampir. Bersama Rana, saya sudah melewatinya dan berhasil. Sekarang, sesekali sebelum tidur, Rana baca buku. Sambil rebahan. Kebiasaan membaca sambil rebahan itu (buruk kah?) dia dapat dari saya.
Metode tawar-menawar itu berhasil. Meningkat menjadi kebutuhan. Kebutuhan kami berdua. Saya dan Lino. Saya membutuhkan waktu agar selama beberapa saat suara yang dia dengar adalah suara Ayahnya, dan Lino membutuhkannya sebagai pengantar tidur. Pada saat seperti itu rasanya, pertanyaan ‘kapan ayah bahagia’ akhirnya terjawab. Sangat bahagia.
Tentu saja, momen baca cerita (Lino menyebutnya baca lila) adalah salah satu pintu gerbang membiasakan anak akrab dengan buku. Gerbang lainnya adalah menciptakan situasi agar mereka selalu melihat buku, melihat orang lain berinteraksi dengan buku, dan mendapat kebahagiaan dari buku.
Saya beruntung. Di kamar kami, koleksi buku saya ada di satu rak buku di dinding kamar. Mau tidak mau, Lino selalu melihat buku. Itu situasi pertama. Situasi lainnya yang juga sangat menguntungkan adalah Lino melihat Rana selalu membaca (atau paling tidak, berurusan) dengan buku-buku.
Baca juga: Lima Film Anak Paling Sering Tayang di Rumah Kami, Ada Cats and Peachtopia
Apakah harus buku anak? Tidak juga. Dalam pengalaman saya dan Lino, situasinya begini.
Lino: Bapa, baca lila ka (sambil menggamit tangan saya ke kamar).
Saya: Horeee. Ayo. Kita baca lila. Lino pilih bukunya e.
Lino: Buku lelo… (buku warna kuning/yellow).
Buku lelo itu sesungguhnya adalah novel dewasa. Koleksi saya yang terpajang di rak buku kami. Saya ambil. Lalu membuka-buka halamannya dan bercerita. Cerita anak-anak. Tentang seorang anak yang bermain di rumah sepupunya dan memecahkan pot bunga milik Oma. Pokoknya begitu. Ada mainnya, ada konfliknya, ada cerita minta maafnya. Cerita yang saya tuturkan itu tidak berasal dari novel (buku lelo) yang ditunjuknya. Tetapi saya melakukannya seolah sedang membacakannya sebuah cerita dari sana. Ketika saya sampai di “the end”, Lino tersenyum lalu tidur.
Kapan Ayah bahagia? Salah satunya adalah pada saat-saat seperti itu. Seperti malam ini. Soal nanti Lino akan menjadi penggemar buku, barangkali masih terlampau jauh untuk dipikirkan sekarang. Yang paling penting adalah bahwa kami masih memiliki momen Ayah-Anak dan alam bawah sadarnya merekam bahwa beberapa cerita baik dapat dia nikmati dari buku bacaan.
Menyenangkan sekali. Membahagiakan sekali.
–
3 November 2018
Salam dari Kedutul, Ruteng
Armin Bell