jogja blogger dari ruteng ranalino armin bell

Jogja?

Peristiwa yang saya ceritakan ini terjadi di Bantul. Bantul ada di Propinsi DIY. Demikian alasan tulisan ini saya beri judul Jogja.


19 November 2019

Saya kira, berita atau cerita tentang orang-orang yang ditindas pasti selalu bikin kita bersedih. Jika terjadi berulang-ulang oleh orang (atau di tempat) yang sama, reaksi berikut yang akan muncul adalah perasaan jengkel. Orang-orang yang jengkel, biasanya akan dengan mudah mengeluarkan pendapat. Dikeluarkan saja tanpa perlu dipikirkan dengan baik. Asal bisa bikin kita sedikit senang, kita hajar saja dulu.

Saya mengalaminya beberapa waktu terakhir. Melakukannya, maksud saya. Mengeluarkan begitu saja pendapat bahwa Jogja adalah tempat yang buruk toleransinya. Peristiwa yang viral tentang larangan beribadah kepada sekelompok orang karena mereka tidak memiliki izin penyelenggaraan ibadah itu membuat saya berpendapat begitu.

Tahu peristiwa itu, bukan? Ada petugas polisi duduk dan memberi penjelasan bahwa ibadah yang sudah direncanakan sebelumnya, tidak boleh dilanjutkan. Harus ada izin. Bukan hanya dari Ketua RT setempat. Izinnya harus datang dari propinsi juga. Saya jengkel sebab itu adalah ibadah di rumah. Seperti tahlilan, doa rosario, dan ibadah-ibadah dalam skala sekecil itu. Izin dari propinsi rasanya adalah aturan yang keterlaluan sekali ribetnya. Peristiwa itu terjadi di Kabupaten Bantul, Propinsi DIY.

Saya tidak tahu persis, apakah peraturannya memang seperti itu atau itu hanya penjelasan yang keliru saja, tetapi saya dengan segera menjadi jengkel. Dan karena itu terjadi di Jogja, ingatan tentang peristiwa serupa pada tahun-tahun yang telah lewat segera datang. Jumlahnya cukup banyak. Doa rosario dibubarkan, pertemuan ini dan itu dibubarkan, perantau diintimidasi, aduh!

Kemudian saya menyesal bahwa dengan begitu mudah memberi label pada kota yang menyenangkan itu sebagai tempat yang buruk toleransinya. Saya menyesal sebab saya tahu, di sudut-sudut yang lain, begitu banyak penghuni Jogja yang baik hatinya. Kota ini punya banyak sekali perusahaan penerbitan. Yang menerbitkan banyak buku bagus. Juga buku-buku tentang indahnya keragaman dan manisnya toleransi.

BACA JUGA
Agama Apa Saja adalah Agama yang Baik

Baca juga: 10 Plus Satu Hal Paling Diingat Tentang Ruteng

Yang saya pikirkan adalah, bahwa di tempat yang derajat literasinya tinggi (pandangan soal derajat literasi yang tinggi ini saya ambil dari fakta bahwa di tempat itu ada banyak aktivitas perbukuan), tingkat toleransinya juga pasti baik. Sudah sering kita dengar bahwa orang-orang yang rajin membaca, dan membaca banyak buku, adalah orang-orang yang tingkat penghargaannya pada sesama manusia juga pasti tinggi. Menghargai sesama manusia ini mestilah sepaket dengan menerima perbedaan cara sembahyang dengan segala kelapangan dada. Mencegat rencana sembahyang jelas tidak termasuk di dalamnya. Tetapi mengapa di Jogja situasinya jadi lain?

Tentu saja saya manggut-manggut ketika membaca penjelasan Wakil Bupati Bantul di media-mediabahwa itu adalah persoalan miskomunikasi dan bukan intoleransi . Saya manggut-manggut saja barangkali karena agak sulit mengerti. Istilah seperti itu terlalu sering saya dengar sedangkan frekuensi mendengar dan meningkatnya pemahaman kadang tidak seiring sejalan.

Soal sulit mengerti itu, saya memang sering mengalaminya akhir-akhir ini. Saya sulit mengerti bahwa semakin banyak buku soal toleransi diterbitkan, situasi intoleransi masih sering terjadi. Saya sulit mengerti perbedaan antara miskomunikasi dan intoleransi. Saya sulit mengerti bahwa ada yang merasa terancam ketika melihat orang lain berdoa. Saya sulit mengerti bahwa kita harus mengerti alasan orang-orang berkumpul dan jika tidak maka kita wajib menanyakannya. Saya juga sulit mengerti, mengapa saya mudah sekali jengkel lantas memaki-maki kesewenang-wenangan?

Seharusnya, kalau mau main aman–dan saya pikir akan lebih sering memikirkan peluang melakukan permainan aman itu–saya santai-santai saja dengan situasi begitu. Karena, kemarin itu di Jogja, besok bisa di mana saja, dan setelahnya akan tetap aman-aman saja, bukan? Duh, drama. Sekarang saya sulit mengerti, mengapa saya bersedih ketika menuliskan paragraf terakhir ini?

BACA JUGA
Saya Tidak Jadi Pindah Agama

Salam dari Kedutul, Ruteng

Armin Bell

Foto dari Publika – RMOL

Bagikan ke:

2 Comments

  1. Mengerikan! Ternyata derajat literasi yg tinggi hanya sekadar data. Berbanding terbalik dg perilaku. memprihatinkan. Jangan sampai angin miskomunikasi dan kentut intoleransi berhembus sampai ke tanah Flores.

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *