Saya pernah aktif menulis di blog keroyokan. Salah satunya adalah yang terbesar yakni kompasiana. Biasanya tentang media massa di Indonesia. Mungkin karena saya berharap media massa kita menjadi keren. #eh
Televisi | Foto: Armin Bell |
Jika KPI Tidak Mampu Televisi Tidak Mau, Siapkan Sensor Pribadi
Televisi sekarang ini sepertinya paham betul bahwa konflik adalah nilai jual tertinggi dari media masa, sehingga mengabaikan pentingnya nilai edukasi (baca: pencerahan) pada setiap tayangan. Lihatlah sinetron atau tayangan komedi kita.
Errol Jonathans, seorang praktisi media dan tutor jurnalistik terkemuka pernah mengungkapkan kepada saya tentang kekecewaannya. Menurutnya, pada beberapa situasi televisi saat ini sedang mengumbar selera terendah manusia yakni konflik (baca: bertengkar).
Maka, meski banyak yang protes dengan tayangan-tayangan yang saya sebut berselera rendah –karena mengumbar konflik tanpa solusi, jumlahnya tetap jauh lebih kecil dibandingkan dengan mereka yang menyukai pertengkaran live.
Rating tinggi, jumlah iklan banyak, pundi-pundi penuh, untuk apa peduli dengan fungsi transformasi nilai?
(adsbygoogle = window.adsbygoogle || []).push({}); |
Komisi Penyiaran Indonesia seperti tidak mampu berperan dengan baik. Belum sekali pun mereka melakukan gebrakan atas aneka program yang jauh dari ‘standar baik’.. Kalau toh pernah, yang dilakukan oleh lembaga ini adalah mengistirahatkan programa selama beberapa saat lalu menyarankan pergantian nama program dan mengijinkannya mengudara dengan nama baru itu meski kontennya tetap sama.
Baca juga: Suara di Titik Nol
Mereka akan tetap menjual konflik itu sesuka hati karena penonton suka dan pemasang iklan berminat. Soal apakah ada proses transformasi nilai positif di sana, tidak ada yang peduli. Beberapa program barangkali peduli tetapi hanya beberapa.
Program-program diskusi televisi yang tak penting dan hanya mengumbar libido berdebat para pengisinya agak sulit disentuh KPI. Selama sasaran tegur KPI adalah pada rok mini dan baju ketat, diskusi yang para tamunya hadir berpakaian rapi, setelan mentereng, memakai dasi, tidak akan tersentuh. Tidak ada peluang bagi KPI menegurnya, meski mereka mungkin tidak santun dalam berkata-kata.
KPI sedang berkonsentrasi pada hal-hal artifisial dan bukan pada konten. Berharap agar televisi berubah? Wah wah wah… ini seperti terlalu muluk. Ada ketakutan kalau mereka mengubah konsepnya, para pemasang iklan akan murka dan akibatnya kesejahteraan mereka tidak lagi terjamin hehehe.
Sensor pribadi adalah memilih tayangan televisi yang benar-benar bermanfaat buat saya dan tidak membuat saya merasa diremehkan. Saya juga tidak harus protes ketika seorang Profesor melakukan penghinaan verbal kepada tokoh lain di televisi, karena saya memilih tidak menyaksikannya.
(adsbygoogle = window.adsbygoogle || []).push({}); |
Sensor pribadi menjadi penting ketika kita tidak bisa berharap banyak pada lembaga resmi bentukan pemerintah dan industri televisi. Maka kepada teman saya, dengan berat hati saya bilang, “Kalau toh saya menjadi orang bodoh, alasan yang paling benar adalah karena saya tidak pernah bisa menyaksikan tayangan televisi dalam negeri yang benar-benar baik; saya kalah dengan pemilik televisi!“
Menarik kaka
Terima kasih 🙂