Jadi Petani adalah seri tulisan Yeris Meka, salah seorang teman yang tulisannya selalu dengan mudah dinikmati karena kelincahannya merangkai cerita dengan kata-kata yang akrab dengan kita.
Yeris berkisah tentang anak-anak kampung, kehidupan petani, dan lain-lain. Pada seri Anak Gunung, Sepatu, dan Burung Besi di Langit Kampung ini, Yeris memperlihatkan cara anak kampung memandang dunia: “Cerita tentang dunia luar itu, sebenarnya asing untuk anak gunung ini. Tapi, kami sudah terlanjur berpikir, semua hal yang kami belum tahu itu keren.” Selamat menikmati!
Jadi Petani, Anak Gunung, Sepatu dan Burung Besi di Langit Kampung
Oleh: Yeris Meka
Tempat-tempat dingin selalu punya romantisme bagi penghuninya masing-masing. Di Bolivia ada kota dataran tinggi La Paz, di Sumatera ada Bukit Tinggi, dan di Flores ada satu kampung yang letaknya persis di jalan lintas Flores yang membentang dari Larantuka sampai Labuan Bajo–lepas dari kota Ende, menjelang sepuluh kilometer masuk Kota Dingin Bajawa. Itu kampung paling dingin sudah. Namanya Mangulewa, kampung saya.
Ini kampung, dulu pernah jaya sebagai penghasil buah ata voka. Itu lafal daerah kami untuk buah alpukat. Jalanan jadi kuning kalau bunganya sudah mulai gugur. Kau pasti akan lebih percaya kalau sudah ada yang foto selfie zaman itu. Pasti di Facebook akan ada hestek #selamatdatangatavoka di #MangulewaKotaAtavoka. Itu macam di Kupang sekarang kalau bunga Flamboyan mulai tampil menjelang Desember.
Ah, sudahlah! Saya lupa. Tidak usah kau bayangkan tentang selfie-selfie itu. Tivi saja masih satu-satunya di Guru Yan punya rumah. Hitam putih pula. Kami biasa ramai-ramai di sana nonton tivi sambil luruh jagung. Jagung sekarung habis, itu tivi masih muat pasir saja. Waktu mata sudah berat, baru itu Om-Om mulai omong-omong di forum dialog sampai kami bosan lalu pulang.
Sebagai anak yang berbakti kepada kampung sendiri, setidaknya ada beberapa hal yang harus dengan bangga saya pertahankan, bahkan bila perlu sampai titik darah penghabisan. Ha-ha-ha…
Hal yang paling kecil misalnya, kalau ada pertanyaan di lembar soal: Kampung paling dingin di Pulau Flores? Saya akan bilang Mangulewa, kampung saya. Biar Ata Ende bilang mereka punya kampung Moni yang paling dingin, atau Kraeng dari Manggarai bilang Wae Rebo, saya tetap bilang Mangulewa itu dinginnya lebih supeeer.
Alasannya sederhana: Agar reputasinya sebagai yang ter-cool menurut saya, tidak tergeser atau malah terjatuh dan tidak bisa bangkit lagi. Ha-ha-ha… Tapi itu pertanyaan, saya tunggu dari dulu sampai sekarang tidak pernah muncul eee. Masih lebih sering pertanyaan tentang es di kutub yang mencair itu. Kenapa e? Padahal saya belum pernah ke kutub e. Sampai hati skali yang buat itu soal. Mereka tidak tahu kah, kalau satu-satuya pengetahuan kami tentang kata itu (atau yang mirip dengannya) cuma sebatas kata “kutu’’, binatang yang selalu diburu Ibu-Ibu di teras rumah. Kutu-b? Itu, apa sudah?
Begitu sudah kita. Macam sudah tradisi e. Mengekor saja dari belakang. Sampai akhirnya ada perusahaan yang cari ata voka untuk kosmetik baru kita kanga ranga. “Kalau dulu banyak. Ngeri!” Paling mentok kita jawab begitu. Bangga sambil menguap. Nah, itu kan? Dulu kau belajar apa? Tentang kutub itu kan? Tentang Taj Mahal lalu ke Roma, kan? Sampai tidak di kisah Aleksander yang pulang dengan tangan kosong? Terlalu jauh engkau berjalan. Caaahhh… Padahal pulang sebentar harus bantu Mama pegang pacul. Ini macam su tidak nyambung eee.
Cerita tentang dunia luar itu, sebenarnya asing untuk anak gunung ini. Tapi, kami sudah terlanjur berpikir, semua hal yang kami belum tahu itu keren. Patut dicoba. Dipelajari. Karena keseharian kita itu membosankan yang kadang-kadang terpaksa dinikmati.
Kisah miris itu, sudah dipercaya punya sisi romantisnya, Man! Misalnya kalau kau hanya punya sepasang sandal untuk kau pakai setiap hari ke sekolah dan kau tetap pakai yang itu, walaupun tumitnya sudah bolong. Waktu kau punya Mama beli satu lagi yang baru, kau jadi terharu minta ampun. Dan senangmu jadi berlipat-lipat menjelang sambut baru*. Akan ada sepatu baru, warna hitam.
Kau senang, walaupun kau lebih luwes pakai sandal bolong. Maka demi hari yang istimewa itu, dengan terpaksa kau pakai. Jalanmu agak sedikit terseret-seret dan kaku. Sebab itu kali pertama kau pakai sepatu. Kau tetap cuek, sebab sehari ini kau jadi raja. Sebuah pesta sudah disiapkan. Bahkan kata Bapakmu, Pamanmu yang Kau dengar sudah sukses di Ibukota akan turut pula. Gembiramu berlipat kali. Aizzz… gampang kali kau dibikin senang dan dikibuli.
Baca juga: Jadi Petani, Bermula dari Pertanyaan Guru Marta
Atau seperti hari yang sudah lewat pada masa lebih muda lagi. Kalau pesawat melintas di langit kampung, kau berteriak, “Om, kasih kami baju laa!” Karena kau percaya salah satu penumpang itu adalah Om Toyib yang tidak pulang-pulang sejak pertama kali keluar kampung dan belum juga pernah pulang. Tentu kau dikibuli lagi. Padahal itu trik paling yang paling ampuh untuk mengalihkan perhatian bocah kampung yang sedang merengek minta sesuatu.
Masing-masing bocah lupa pada apa yang sedang dituntut kalau burung besi itu melintas di langit kampung. Itu sekali-sekali saja, Man, kau menjadi sedikit ketinggalan dan kurang up to date. Waktu orang jaman now tunggu gerhana matahari kemarin, mungkin sama rasanya. Iya to? Kalau melewatkan momen itu, kau batal menjadi keren. Apalagi tidak turut memanggil Om Toyib untuk memberimu baju. (*)
—
4 November 2017
Yeris Meka | Anak Mangulewa yang sekarang tinggal di Kupang.
Catatan:
Sambut Baru: Perayaan penerimaan komuni pertama di Gereja Katolik. Seorang anak berhak ambil bagian dalam ekaristi dengan menyambut tubuh dan darah Kristus dalam rupa roti dan anggur. Biasanya diterimakan kepada anak usia kelas empat sekolah dasar.
—
Ilustrasi: Foto Kaka Ited.