Tanggal 11 Oktober 2017 sekitar jam 8 malam, sebuah pesan masuk di telepon genggam saya. Dari Abdi Karya. Dia memberitahukan posisinya saat itu: di Surabaya, menunggu penerbangan ke Kupang untuk selanjutnya ke Ruteng.
Abdi Karya akan hadir dalam Workshop Keaktoran yang digelar Koalisi Seni Indonesia bersama Saeh Go Lino dan OMK Lumen Gratiae. Siapa dia? Term of Reference kegiatan Workshop Keaktoran memberitahukan secara cukup lengkap tentangnya. Abdi adalah seniman teater, tinggal di Makassar, pernah bergabung dengan Riri Reza, mengelola pentas teater, dan lain-lain.
Tanggal 12 Oktober pagi, saya bangun seperti biasa. Menyiapkan sepeda motor, mengantar Rana ke sekolah, lalu ke kantor, dan asyik. Dodo tidur nyaman dengan tim panitia yang lain di rumah kami. Lalu sebuah SMS datang. Dari seseorang bernama Askar Lacapila, memperkenalkan diri sebagai asisten Abdi Karya, sekaligus memberitahu bahwa mereka sudah ada di Hotel Sky Flores. WHAT? Ini tanggal berapa? Tanggal 12 kan? Bukankah mereka baru tiba di Ruteng tanggal 13 Oktober pada hari pertama kegiatan?
Uu la la la la la Beibeh… Saya baru sadar, Sodara-sodari. Semalam sudah ngobrol cukup lama dengan Abdi dan di beberapa obrolan saya bilang bahwa kami akan menjemput mereka di Bandara Frans Sales Lega. Semua tampak benar sampai saya sadar bahwa saya telah keliru tanggal. Abdi cukup jelas memberitahukan bahwa mereka sedang di Surabaya dan akan meneruskan perjalanan ke Ruteng via Kupang. Dia tidak bilang apa-apa soal akan menginap di Kupang atau Surabaya. Artinya, dia memang berjadwal tiba di Kodirut ini tanggal 12 Oktober, saat di mana kami sama sekali tidak mengatur jadwal untuk menjemputnya.
Saya lalu meneleponnya. Meminta maaf karena telah keliru menerjemah percakapan. Panitia macam apa saya ini? Saya mau saja menyalahkan Dodo yang kami tunjuk sebagai Liaison Officer a.k.a LO tetapi dia tidak bersalah. Sayalah yang memegang jadwal ketibaan narasumber. Untunglah semua selesai ketika akhirnya kami bertemu di Dapur de Rossa a.k.a DdR, sebuah tempat makan plus nongkrong yang asyik di Ruteng.
Siang itu kami makan nasi ayam goreng, menu favorit saya di tempat itu. Lalu ngobrol, lalu bermaaf-maafan meski hari raya masih jauh. Saya, Abdi, Askar, koreografer andalan kami Febry Djenadut, dan Dodo yang montok makan siang dengan santai. Kami minta pengelola DdR mematikan musik agar kami bisa ngobrol tanpa harus teriak-teriak karena yang boleh teriak-teriak adalah mereka yang tidak suka disebut pribumi. Eh?
Keesokan harinya Abdi Karya dan Askar Lacapila bertemu dengan 30-an anak-anak muda pegiat seni di Ruteng. Setelah mengikuti ritual tuak curu dan manuk kapu, mereka dikalungi selendang songke. Linda Tagie juga sudah tiba saat itu.
Resmi sudah acara itu dimulai. Para peserta mendapat materi seputar dasar-dasar keteateran, olah tubuh, olah rasa, sampai olah makanan di meja makan.
Secara keseluruhan, interaksi para peserta Workshop Keaktoran dengan Abdi Karya berjalan menyenangkan. Banyak hal baru yang akhirnya bisa ditimba dari sutradara yang kini sedang mengelola sebuah kelompok teater lintas negara, 5ToMidnight International dengan aktor dan sutradara muda dari Singapura, Taiwan, Jepang, Eropa dan Indonesia.
Kepada para peserta, Abdi bilang: “Tidak bisa tidak, teater adalah ilmu. Sebagai ilmu, dia harus dipelajari karena selalu berubah dari waktu ke waktu.” Pentingnya melakukan riset tentang budaya atau cerita-cerita lokal dan memasukkannya dalam pementasan teater sebagai salah satu usaha transfer budaya melalui kesenian, juga Abdi ingatkan.
Tidak hanya berbagi, Abdi Karya dan Askar Lacapila juga menunjukkan kepiawaian mereka di panggung teater. Pada malam terakhir kegiatan Workshop Keaktoran bersama Koalisi Seni Indonesia itu, mereka bermain dengan sangat baik. Semua membicarakan bagaimana Askar mengubah kain songke menjadi perahu, pukat, mayat, ayunan bayi, dan arena pertempuran dalam waktu sekejap dan indah. Juga mengagumi Abdi yang dengan sigap mengubah kesalahan teknis sound system menjadi sebuah adegan yang wajar.
Serentak setelah penampilan mereka, sudut-sudut Aula Assumpta Katedral Ruteng berisi beberapa peserta yang memainkan monolog aneh. Mereka ingin menguasai panggung sehingga memaksa diri membuat cerita; Adenk dengan keramik, Celly bergoyang dangdut, Sintus angguk-angguk, sedangkan Mozakk menghilang dari gedung. Dia mengantar Anny kekasihnya pulang, menyusuri gelap malam dan dingin yang memeluk. “Anny, selamat ya, kau sekarang sudah jadi gubernur DKI.” Lalu Anny menjawab: “Itu Anies, Rhoma. Bukan Anny!” Adooh, ini apa?
Yang menyenangkan dari kehadiran Abdi dan Askar adalah kemampuan mereka membagi virus berteater. Selama ini Ruteng adalah kota dengan kegiatan teater yang tumbuh subur. Meski demikian semangat melakukannya kerap tidak terjaga. Workshop kali ini adalah kesempatan terbaik membangkitkan semangat itu; agar lampu panggung tetap menyala. Tetapi sesungguhnya yang paling senang dari semua adalah Geraldo Alamani Ndaur.
Begini ceritanya…
Setelah seharian berkunjung ke Lingko Cara dan Liang Bua di hari Minggu, pada malam harinya Abdi dan Askar mampir ke rumah kami. Ada Kaka Ited sang videografer andalan kota ini, juga para sahabat yang lain. Apa hubungannya dengan Gerry yang senang?
Pada tengah malam, pukul 00.00 Wita, Kojek dan Sintus menyalakan lilin, menyanyikan lagi Happy Birthday. Gerry berulang tahun saat itu. Abdi dengan sigap menyodorkan sepiring kompiang sebagai hadiah ulang tahun Gerry yang menerimanya dengan tangis haru. Uu la la la la la Beibeh… Ada sutradara teater dari jauh yang merayakan ultah Alamani.
Alamani senang. Alamani yang pada malam penutup, ketika peserta workshop memainkan lakon Kelahiran Yesus, berperan sebagai satu dari tiga orang Majus. Dia menyambut Yesus dengan kepok/torok/go’et-go’et Manggarai. Bagaimana cerita lengkapnya, nantikan di catatan selanjutnya.
Bagian ini akan saya akhiri dengan pengakuan bahwa pertemuan dengan Abdi dan Askar pada kegiatan Workshop Keaktoran ini adalah sesuatu yang berada di atas bayangan saya. Selain mendapat pelatihan, saya juga mendapat cerita tentang bagaimana Makassar International Writers Festival (MIWF) dijalankan. Abdi Karya adalah salah seorang dari keluarga besar MIWF. Menyenangkan sekali bukan? Betapa dunia jaringan ini begitu hebatnya.
Dari Abdi saya tahu bahwa di kalangan seniman, rantai terjauh adalah rantai keenam. Maksudnya, ketika kau berjumpa seorang seniman dan menyebut nama seniman lainnya, maka mereka adalah orang yang saling kenal. Bisa dipahami? Jangan paksa kalau tidak bisa. Kadang kita begitu. Perlu ngobrol langsung untuk saling tahu. Maka sebelum mereka pulang ke Makassar, kami ngobrol sampai larut. Askar minum sopi. Saya dan Ited menemaninya sekedar sopan santun hahahahah.
—
19 Oktober 2017
Salam dari Kedutul, Ruteng
Armin Bell
—
Foto: Dokumentasi Panitia Workshop Keaktoran Koalisi Seni Indonesia Bersama Saeh Go Lino