Dindingmu masih penuh ucapan selamat.
“Hallooooo met ultaaaaah”
“Cantiiiik… HBD, WYATB”
Masih banyak lagi ucapan bertebaran di dinding itu, berbaris menunggu dibalas. Ada juga yang menulis: “Hei… sistA, HBD… ingat umur. Kapan nikah?” Aku berhenti di sana. Membuka kolom komentar. Ternyata hanya tambahan dari pemberi ucapan selamat. “Eh… tambahan, nikahnya sama siapa? Kidding.”
Dua reaksi datang sekali ayun. Kecewa karena ternyata tak ada komentar darimu tentang kapan menikah, dan gembira karena temanmu tak tahu tentang dengan siapa kau akan menikah. Selamat, pikirku.
Kita tak pernah bicara tentang pernikahan. Maka kupikir benarlah kau mengabaikan celoteh ringan temanmu itu. Menikah belum jadi obrolan meski kau telah 30 tahun kemarin, dan aku 33 tahun sebulan silam. Usia rawan kata mereka yang berbaik hati, usia dewasa kata mereka yang menyindir dengan halus dan terasa menyakitkan karena dilisankan dengan ketulusan yang seperti telah disiapkan sebelumnya.
Di Manggarai ini, usia menikah telah masuk dalam daftar bahan-bahan percakapan sosial, sesuatu yang entah mengapa sejak membuatku merasa so sial. Tiga puluh tahun bagi lelaki dan harus telah bekerja mapan, lebih muda dari tiga puluh bagi perempuan dan tidak harus bekerja mapan; sebagian dari perempuan-perempuan itu malah dilarang bekerja setelah menikah.
Bukankah sial ketika sampai hari ini aku belum bisa menjawab pertanyaan: kerja di mana? Dan bukankah juga sial ketika engkau sejak lebih lima tahun terakhir telah bekerja dan mapan?
Kupikir benarlah kau mengabaikan celoteh ringan temanmu itu. Menikah tak harus jadi obrolan ketika kita tidak tahu apa-apa tentangnya. Yang kau tahu adalah bagaimana menjadi orang hebat dengan pekerjaanmu saat ini. Karirmu harus selalu naik. Yang aku tahu adalah bagaimana mencari jawaban yang tepat dan memuaskan ketika mereka orang-orang bertanya tentang pekerjaanku.
Baca juga: Mencari Angga
Tetapi Manggarai masih seperti seperti kemarin, kemarinnya lagi, dan dauhulu kala; di usia tiga puluh tahun seorang lelaki harus telah mapan pekerjaannya dan sudah menikah, seorang perempuan harus menikah sebelum usianya menginjak tahun ke tiga puluh.
Aku masih di depan dindingmu yang penuh ucapan selamat itu dan masih terpaku pada pertanyaan nakal temanmu itu. Kapan nikah? Nikahnya sama siapa? Aku tahu kau juga pasti tahu menikah di tempat ini adalah berhitung dengan umur dan sebilang dengan pekerjaan.
Entah apa yang mereka katakan ketika tahu bahwa ibumu tak pernah menikah dan tak pernah kau lihat mukanya. Meninggal di detik kau pertama kali menangis saat ayahmu yang entah siapa pergi tak tahu ke mana. Orang-orang yang kau panggil Bapa dan Mama hari ini adalah orang-orang dari jauh yang mencari anak dan bertemu engkau di rumah bersalin nan sepi di pinggir kota hujan ini.
Mereka mengadopsimu karena tak ada yang mendampingi ibumu saat melahirkan bahkan bapa-mamanya sendiri, kakek-nenekmu sesungguhnya. Kau tak pernah bertemu mereka kakek-nenekmu itu, dua orang yang memandang hamil ibumu sebagai aib. Kalau kita menikah, kau takkan kuizinkan bertemu mereka. Untuk apa? Kau toh tak tahu apa-apa tentang cerita kecilmu dan tak perlu.
Tetapi aku tahu semua itu karena aku mencintaimu. Setahun silam, saat aku jatuh cinta padamu dengan besar yang sama seperti hari ini, kucari semua cerita tentang kau dan Tuhan selalu baik pada orang-orang yang mencari.
Tetanggaku seorang perawat tua ternyata adalah yang membantu persalinanmu dahulu. Seorang diri dia ketika itu. Dia juga yang memberimu nama. Dia yang menceritakan itu semua ketika pertama kali kusebut namamu saat dia bertanya siapa calon istriku. Maka aku tahu kau, meski tak kutahu di mana ibumu dikuburkan. Tak sempat kutanya.
Baca juga: FF100K Karina – Kompromi
Perawat tua itu telah meninggal beberapa hari yang lalu dan keinginanku untuk bertanya di mana ibumu dikuburkan baru datang hari ini. Maka selain orang-orang yang kau panggil Bapa Mama itu, aku orang tersisa yang mengetahui tentangmu utuh.
Tetapi tak akan kuceritakan padamu. Engkau akan sakit, terluka, dan menangis, dan beginilah aku ketika jatuh cinta; dua kali lebih sedih ketika kekasihku bersedih. Aku tak mau dua kali lebih sakit, dua kali lebih terluka, dua kali lebih menangis. Cinta yang dipendam saja sudah sesakit ini, tak ingin kutambah dengan melihat kau sakit, terluka, dan menangis.
Aku di sini. Mencintaimu dan berharap kau sadar, pemuda tak dikenal yang jadi salah seorang teman facebookmu, yang setiap saat menyukai status, foto-foto yang kauunggah di facebookmu adalah suamimu di masa depan. Pemuda yang lupa bahwa hari ulang tahunmu telah lewat sehari. Kemarin aku masih sibuk mencari kerja tak sempat online. Selamat ulang tahun, tulisku di dindingmu hari ini.
Aku menunggu notifikasi. Dua jam. Sebuah pemberitahuan: engkau menyukai kirimanku di dindingmu tanpa komentar. Hari ini sudah cukup. Kau tahu aku ada, pikirku. Kututup jendela facebook, di layar komputerku ada gambar bunga kembang sepatu di halaman rumahmu. Kau unggah itu setahun silam, kusimpan sebagai tanda cinta. Kita tak pernah bicarakan tentang pernikahan sampai hari ini. Mungkin nanti.
Ijin share om…hehehe..
Skrng pas sudah menikah lanjut ke “kenapa blm punya anak? Sengaja ka?” 🙁
Hiks…
he.he.h.e.h.e.he.asyik deh..
heeemmmmm… backsongnya: Gigi- my facebook 🙂 paragraf keempat itu manarik banget, Mas…
Hahahhahaha.. Ah emang menikah ini semacam sesuatu yang ah tak bisa digambarkan kata-kata..Menarik kakak hanya bersetting Facebook kemudian menyusuri kehidupan si perempuan yang ternyata rumit dan si penggemar rahasia yang bikin saya berpikir : Astaga jangan2 satu dari teman FB saya ahh sudahlahh :DBTW Ini cerpen (dan saya pikir terlalu singkat untuk cerpen) Keren 🙂
Dalam e, Kaka..
Yang membaca cerita ini harus orang yang gak gaptek, nih. Biar paham ceritanya 😛
Hehehe… gara-gara kelamaan fesbukan saya Om 🙂 Thx sudah mampir. Kemarin saya ke Jogja tapi gak sempat kontak-kontakan hiks
Berawal dari fesbuk barukuuuu hahahahaThx ya… Paragraf empat itu disarikan dari pengalaman pribadi hahahaiiii
Menikah itu… hmmmm… menikah itu baik 🙂 Teman facebook? Hati-hati… lihat gejala pada jempol dan kolom komen, jangan-jangan….. hahahahaNah, gara-gara sering bikin flashfiction jadinya sering mentok ide, makanya agak pendek *alasan 🙂
Semoga tidak merasa diburu waktu hehehehehehe
Setujuuuu hihihi… Ini juga nulisnya dari pengalaman online kelamaan hahahaha
ouwoooo ternyata…
Silakan…Terima kasih sudah mampir:-D