Ada tautan berjudul Anak ini Sukses Meski Ditelantarkan Ibunya. Tulisan itu segera viral. Setiap komentar mengutuk sikap ibu yang menelantarkan anak itu. Ada yang bahkan bilang, anak itu sudah layak menampar ibunya. Kita mengadili judul berita itu.
Pengalaman di atas barangkali pernah kita rasakan. Wah, terkutuk sekali Ibu itu. Untunglah anaknya tetap meraih keberhasilan. Si Ibu harus segera merasa malu. Begitu komentar kita. Komentar lalu berubah setelah kita berhasil menyelesaikan membaca seluruh artikel di tautan itu. Ooo alaaah… Ternyata itu bukan berita. Tetapi review untuk sebuah film yang akan rilis. Malu, to?
Hampir setiap hari kita terjebak pada situasi yang sama. Pengalaman-pengalaman sejenis kerap membuat muka kita merah. Mengadili judul. Atau lebih tepat, mengadili sesuatu atas dasar jumlah informasi yang tidak cukup. Masih beruntung jika dalam proses peradilan itu kita tidak main kasar, omong jorok, maki tir tau diri. Kalau iya, itu pasti sangat memalukan.
Saya percaya, berpikir dan memberi komentar dengan melibatkan banyak sudut pandang itu baiknya minta ampun. Sebagian orang barangkali bilang itu ‘njlimet’, tapi itu sungguh baik–terutama jika intensinya mulia yakni untuk kemaslahatan bersama.
Agar terbiasa menggunakan banyak sudut pandang ketika melihat sesuatu, kita diharapkan menambah jumlah bacaan.
Menempatkan seseorang sebagai sumber referensi itu baik. Apalagi jika itu adalah seorang filsuf.
Seorang teman sangat mengagumi Jacques Derrida (1940 – 2004). Sebagian besar pandangannya dapat di- atau sengaja merujuk tokoh yang melahirkan teori dekonstruksi itu. Tetapi teman yang sama, dalam membaca teks-teks yang dia jumpai, tidak ‘mengandalkan’ Derrida semata. Selain buku-buku tentang atau yang ditulis Derrida, kamarnya penuh dengan buku tentang atau yang ditulis oleh orang lain, baik filsuf, teolog, sastrawan, peneliti, dan ilmuwan.
Akibatnya, pendapatnya lebih banyak benarnya, masuk akal, dan dapat diterima. Sudut pandangnya menjadi banyak. Terutama, pengalaman membaca yang baik telah membuatnya berhasil menempatkan dirinya sebagai referensi baru. Pendapat-pendapatnya atas teks apa saja terasa orisinil sehingga menjadi penting untuk didengar karena tidak mengandalkan pendapat seorang yang lain.
Secara sederhana kira-kira begini. Kalau dalam memberi pendapat kau hanya mengandalkan pendapat dari seseorang terdahulu, atau satu buku saja, maka yang mendengarmu sesungguhnya tidak perlu mendengarmu. Dia hanya perlu pergi ke toko buku dan mencari buku yang kau baca. Selesai.
Itu situasi pertama tentang jumlah bacaan atau kekayaan dunia referensial. Situasi lainnya adalah kemerdekaan. Dalam pengalaman interaksi dengan sekian banyak orang, saya menemukan bahwa umumnya para pembaca (baca: orang yang jumlah bacaannya banyak) selalu jauh lebih merdeka dalam menyampaikan pandangan, opini, views, atau pendapat. Komentar-komentar yang keluar dari mulut atau melalui tulisan-tulisan mereka tidak disampaikan dalam konteks mengadili atau membuat justifikasi.
Karena mereka telah berhasil menjadi referensi baru, setiap pandangan yang disampaikan selalu berarti pengetahuan baru. Akibatnya, yang dikomentari atau dikritik atau ditelaah teksnya tidak merasa diadili atau disalahkan, tetapi justru diperkaya.
Jika berhasil sampai di level itu, kritik-komentar-saran tidak akan melahirkan debat kusir tetapi mencapai tahap tertinggi: refleksi. Yang dikritik tidak lagi merasa sedang diadili tetapi diingatkan bahwa teks yang telah dihasilkan masih dapat dikembangkan, perlu diubah secara total, dan lain sebagainya. Interaksi demikian selalu menghasilkan kemajuan. Bandingkan jika kritik datang dari orang yang hanya membaca satu buku dalam hidupnya.
Baca juga: Kritik Tak Pernah Sepedas Keripik
Yang memembaca banyak buku akan mengawali komentarnya dengan ‘kemerdekaan’–melupakan sejenak niat justifikasi atau menjadi pengadil. Mereka tidak mengadili judul tetapi memberi kesempatan pada dirinya untuk mengambil jarak dari soal dan tidak berada pada posisi cenderung (untuk tidak menyebut ekstrim) kiri atau kanan. Ada masa ‘merendam pendapat’ sebelum mereka menyampaikan komentar.
Tetapi harus diakui, dunia digital yang serba cepat membuat banyak orang menjadi tidak sabar. Mereka barangkali banyak membaca, tetapi hanya membaca judul. Terlalu banyak waktu yang harus dihabiskan kalau harus membaca satu artikel penuh. Kalau judul telah cukup jelas, mengapa harus membaca seluruh teks? Buat saja pengadilan dari judul itu.
Judul lalu menjadi semacam shortcut peradilan. Jalan pintas menuju pengadilan bersama. Jangan heran kalau kemudian kita ramai-ramai memberi cap seseorang sebagai kafir setelah membaca judul provokatif dari sebuah postingan yang memang diniatkan memprovokasi publik.
Entah apa reaksi mereka ketika membaca dongeng Gadis Korek Api karya H.C. Andersen. Mungkin mereka akan merasa seluruh penduduk kota itu kejam karena tidak membeli korek api yang dijual the little match girl itu.
Sampai di sini saya bingung. Ini tulisan tentang apa? Tentang pentingnya membaca atau tentang tips agar kita tidak menjadi hakim dengan keputusan-keputusan prematur?
Bagaimanapun, tulisan ini telah sampai di bagian akhir. Semoga tidak terjadi banjir informasi dalam penerimaan sodara-sodari sekalian. Yang perlu dilakukan hanyalah: Jangan segera bereaksi atas apa saja yang sudah Anda terima dari catatan ini. Bandingkan dengan sumber-sumber lain sebagai konfirmasi. Perbanyak sudut pandang, berani ngobrol dengan semua orang, atau merendamnya sejenak di kotak refleksi. Itu baik.
Sembari melakukannya, mari belajar mengunyah informasi dengan cara yang sederhana, perlahan saja, agar tidak terlampau kaget ketika ‘pengalaman’ kita pelan-pelan bertambah. Tentang sederhana, saya benar-benar kaget ketika Rio Febrian menyanyikan lagu Broery Marantika. Terlalu ‘banyak’ rasanya dia menyanyikan lagu itu. Saya lebih nyaman dengan kesederhanaan mendiang Broery. Halaaah.
—
29 Juni 2018
Salam dari Kedutul, Ruteng
Armin Bell
—
Gambar dari Wisom Quotes.
Soal cuma baca judul saja, mungkin karena di jaman sekarang orang sudah malas baca artikel panjang-panjang ya. Saya sendiri, karena males jadi korban click-bait, kadang baca komentar orang dulu sebelum masuk ke tautan. Kalau orang-orang komentarnya jelek, ya mendingan nggak usah masuk.
Wah… pilihan membaca komentar orang dulu itu salah satu cara tepat menghindari artikel-artikel click-bait. Menarik juga jika ini dibahas dalam tulisan lengkap. Coba, ah…Terima kasih sudah mampir. Salam.