finding forrester armin bell belajar menulis dari william forrester

Belajar Menulis pada William Forrester

Belajar menulis di mana? Belajar menulis sejak kapan? Belajar menulis itu harus pada seorang guru, ka? Saya kerap berjumpa dengan pertanyaan-pertanyaan seperti itu.


Saya kadang mengajukan pertanyaan seperti itu kepada penulis yang saya temui. Belajar menulis di mana? Akan ada banyak jawaban atas pertanyaan-pertanyaan tentang di mana atau kepada siapa sebaiknya seseorang belajar menulis.

Saya sendiri senang menulis dan belajar dari mana saja. Saya senang blogwalking, atau istilah-istilah lainnya yang memungkinkan saya mendapat tips menulis. Bisa dari penulis terkenal, bisa dari novel Manggarai, bisa dari kamu. Ya, kamu yang mencuri hatiku #eh? Pokoknya begitu. Sampai suatu ketika saya bertemu William Forrester. Di film. Judulnya Finding Forrester.

William Forrester marah ketika Jamal Wallace tidak mulai mengetik pada mesik tik tua yang dia berikan. “Ayo, mulailah mengetikkan sesuatu,” ujarnya. Jamal masih terdiam, seperti sedang berpikir hendak menulis apa di atas kertas kosong yang telah dijepit di mesin tua itu. “Tuliskan apa saja. Jangan berpikir,” Tuan Forrester kembali berujar, matanya sedikit mendelik. Adegan ini seksi, ya… yang paling seksi dari semua scene dalam film Finding Forrester itu.

Film yang dirilis tahun 2000 ini adalah satu dari beberapa film Hollywood yang berkisah tentang dunia kepenulisan. Jamal Wallace (diperankan oleh Rob Brown) seorang pemuda kulit hitam, secara tidak sengaja ‘mampu’ berteman dengan William Forrester, seorang penulis yang namanya mendunia hanya melalui satu buku saja. Apa yang terjadi pada Jamal? Dalam film itu diceritakan, setelh belajar dari Forrester (diperankan oleh Sean Connery), Jamal berhasil menjadi penulis muda dengan kemampuan yang luar biasa, bahkan memukau salah satu sekolah bergengsi di negeri itu.

BACA JUGA
Membaca itu Penting bagi Penulis

Beberapa konflik memang dikisahkan, terutama tentang sikap tak adil yang biasanya ditimpakan pada anak-anak Afro-Amerika, tetapi fim ini sesungguhnya menjadi luar biasa karena telah memberikan pelajaran menarik tentang ‘menjadi penulis’. Adegan yang saya tulis di bagian awal tadi adalah yang paling menantang. 

Kalau ada yang bertanya tentang langkah apa yang pertama kali kita lakukan agar bisa menjadi penulis hebat, maka jawabannya: tidak ada. Menulis adalah langkah pertama dan terus menulis adalah langkah selanjutnya dan meningkatkan diri melalui berbagai bacaan adalah langkah-langkah berikutnya. Begitu kira-kira. Menulis bukan soal sistematika berpikir yang cerdas atau tersusun sempurna; tidak harus punya bahan yang lengkap terlebih dahulu sebelum mulai menulis sesuatu. Menulis adalah menulis!

Baca juga: Albert Einstein Jatuh Cinta pada Seorang Pramuria

Misalnya ketika ingin menulis tentang buruh migran, tidaklah mesti harus diawali dengan riset yang mendalam–riset bisa saja terjadi kemudian (untuk data dukung–kau tentu harus mengetahui bagian-bagian besarnya sebelumnya). Maksudnya, ide pertama yang datang di kepala ketika mendengar kata buruh migran itulah yang harus langsung ditulis. Deskripsikan semuanya sembari menulis. Riset dilakukan kemudian untuk menambah lengkapnya tulisan. Hasilnya (barangkali) akan jauh lebih mengalir dan lancar daripada mengawalinya dengan membaca data.

Data dari hasil riset dalam tulisan akan menarik untuk dibaca ketika disajikan dengan jujur, dan menurut yang saya ‘tangkap’ dari William Forrester, tulisan yang jujur adalah yang pertama kali anda tulis dengan hati; bukan dengan berpikir serumit mungkin.

Tentang ukuran menjadi penulis sukses, film tersebut memberi gambaran tak nyata. Meski tidak menjadi titik sentral dalam penokohan, Finding Forrester sepertinya bicara tentang kualitas dan bukan kuantitas sebagai takaran sukses. Penulis sukses adalah orang yang mampu menghasilkan tulisan yang berkualitas dan tembus zaman. Hanya satu buku tetapi menjadi bacaan beda generasi daripada ratusan buku tetapi setiap buku dibaca oleh tak lebih dari 100 orang.

BACA JUGA
Jurnalistik Dasar: Berita (Satu)

Maka, menjadi penulis itu tidak harus dengan bertubi-tubi menghasilkan karya, melainkan menghasilkan karya yang kemudian bertubi-tubi dibicarakan orang. Lalu, apa itu berarti bahwa setelah menghasilkan satu tulisan berkualitas, kita lantas diam atau beralih profesi menjadi pedagang misalnya, juga tidak. William Forrester di film ini tetap menulis, tetapi berhenti mempublikasi karyanya. Film ini mengingatkan bahwa kadang-kadang beberapa tulisan harus kita nikmati sendiri selamanya.

Tips Menulis: Merendam Karya

Dalam ‘kegiatan kepenulisan’, selalu ada godaan untuk cepat populer. Dunia memang menawarkan jalan meraih popularitas instan. Akibatnya, dalam waktu milidetik saja, miliaran tulisan terpublikasi. Apakah tulisan-tulisan tersebut baik? Siapa yang benar-benar tahu?

Saya sendiri percaya bahwa dalam dunia kepenulisan, salah satu tips menulis yang layak dicoba adalah membiasakan diri merendam karya.  Merendam karya adalah kebiasaan tidak langsung mempublikasi tulisan kita pada kesempatan pertama.

Baca juga: Mengapa Gratis Kalau Bisa Bayar?

Penulis harus mampu mengambil jarak antara dirinya dengan karya yang baru saja dihasilkan. Biarkan karya itu diam di sana. Kelak pada saat kita siap menjumpainya lagi, percayalah, kita akan menemukan beberapa kekurangan yang mau tak mau harus diperbaiki agar karya tersebut lebih layak. Saya pernah mencoba dan berhasil, dan akan terus melakukannya: merendam karya.

Tetapi godaan dunia maya memang sulit dihindari.

Kemudahan mem-publish tulisan kita di blog membuat kadang kita seperti kalap membuat postingan, sekali dalam satu jam. Lalu apa itu salah? Siapa yang bilang begitu?

Yang pasti, film Finding Forrester arahan Gus van Sant yang juga menyutradarai Good Will Hunting yang membuat Matt Demon menjadi lebih terkenal itu, bagi saya seperti mau bilang adalah: menulislah. Tulisanmu jadi lebih jujur. Ah… iya kah?

BACA JUGA
Media Massa Online dan Soal-Soal di Sekitarnya

31 Agustus 2012

Salam dari Pertokoan, Ruteng

Armin Bell

PS: Belajar Menulis Pada William Forrester adalah tulisan yang sebelumnya diposting di Kompasiana

Bagikan ke:

5 Comments

  1. makasih bang Armin Bell, menyimak tulisan-2 mencerahkan seperti ini.saya masih belajar meski usia saya sdh 40. malu kadang,tapi saya senang masih bisa belajar.salamHP

  2. Wah… senang dapat kunjungan dari Pak Heru. Terima kasih pak, saya tadi mampir ke blog bapak dan tulisan-tulisannya menarik. Saya suka unsur human interest yang banyak muncul. Sekali lagi terima kasih Pak. Salam hormat 🙂

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *