Arie Hanggara meninggal dunia pada tanggal 8 November 1984. Dia korban kekerasan dalam rumah tangga.
11 November 2019
Tanggal 8 November 2019 kemarin, Tirto menyiarkan satu tulisan menarik. Kisah Arie Hanggara dan Kekerasan yang Menghantui Anak-Anak. Begitu judulnya.
Artikel itu membahas kisah Arie Hanggara, seorang anak yang menjadi korban kekerasan dalam rumah tangga. Arie Hanggara, yang lahir pada tanggal 31 Desember 1977, meninggal dunia pada tanggal 8 November 1984.
Saya berumur 4 tahun lebih beberapa bulan ketika peristiwa itu terjadi sehingga tidak tahu persis berlangsungnya kejadian itu. Selain alasan umur yang masih terlalu kecil, alasan lain adalah karena kami tinggal di Pateng, kampung yang begitu jauh dari sumber-sumber informasi atau bacaan-bacaan lain. Maksudnya, misalkan peristiwa duka itu terjadi pada saat saya sudah bisa baca-tulis, rasanya akan tetap butuh waktu lama setelah kejadian baru saya bisa dapatkan ceritanya.
Maka ketika pada tahun 1985, kisah sedih Arie Hanggara itu diangkat ke layar lebar, butuh waktu beberapa tahun lagi setelahnya sebelum akhirnya cerita itu sampai ke Pateng. Sejauh yang saya ingat, kakak perempuan saya, Lumini Alwi Petronela (almarhumah) adalah yang pertama membawa cerita itu ke rumah. Dia sekolah di Ruteng kala itu. Ruteng adalah ibukota Kabupaten Manggarai, dan karena dia kota maka lebih cepatlah segala informasi sampai ke tempat itu.
Muder Yuliana adalah orang berikutnya yang menceritakan kisah Arie Hanggara. Mama kami itu membaca kisahnya, mungkin di koran Suara Karya atau di Majalah Kartini, dan membagi ceritanya pada suatu kesempatan.
Saya sedih sekali kala itu, dan oleh sebab itulah rasanya, mau tidak mau, saya mengingat Arie Hanggara hingga sekarang: seorang anak jadi korban kekerasan orang tua–kisah yang saya anggap adalah anomali (terjadi satu di antara seribu, sepuluh ribu, atau seratus ribu lebih rumah tangga) dan karena itulah dia meninggalkan luka, ada anak mati disiksa.
Baca juga: Menolonglah Seperti Ibu Piara
Setelah menjadi orang tua, juga setelah berteman dengan sangat banyak anak (muda), saya sadar bahwa kekerasan dalam rumah tangga oleh sebab relasi kuasa bukan anomali melainkan hal yang ‘sehari-hari’. Yang anomali dari kasus Arie Hanggara barangkali adalah akibatnya yakni kematian, sedangkan kekerasannya terjadi begitu sering. Dalam bentuk verbal atau siksaan fisik, kita sering menemukannya di sekitar kita, atau bahkan kerap melakukannya.
“Kau bodok skali tah!”
“Anak tir ada guna!”
“Bikin malu keluarga!”
“Kau tidak seperti si X anak tetangga yang rajin itu!”
Kalimat-kalimat seperti itu adalah beberapa contoh kekerasan verbal orang tua pada anaknya yang semula ditujukan sebagai motivasi namun pada waktu-waktu berikutnya justru seperti pisau tumpul yang diasah dengan rajin dan akhirnya menjadi pembunuh yang cepat.
Saya beruntung bahwa Guru Don dan Muder Yuliana tidak tergoda membanding-bandingkan kami dengan anak-anak dari keluarga lain; yang lebih rajin, misalnya. Mereka punya cara lain (entah apa) yang membuat kami berjuang menjadi baik tanpa harus berusaha ‘mengejar secara memaksa kemampuan’ prestasi anak-anak lain.
Kalau saya diminta mendeskripsi Guru Don dan Muder Yuliana dalam satu kata, maka kata itu pastilah demokratis. Maksudnya, sejauh yang saya sadari hingga sekarang, dua orang itu membiarkan kami menjadi apa saja dan tugas mereka hanyalah mengingatkan dan tentu saja mencurahkan cinta kasih secara terus menerus.
Baca juga: Mora Masa, Menabung Rumput Menuai Rupiah
Soalnya adalah, saya sekarang menjadi orang tua dari dua orang anak. Oleh karena merasa bertanggung jawab atas masa depan mereka serta keterbatasan kemampuan mendidik atau pendeknya kesabaran, saya pikir saya kadang melakukan kekerasan. Verbal, tentu saja. Dan saya menjadi khawatir. Kekerasan verbal juga berbahaya, bukan? Sulli merasakannya beratnya (dari para netizen) dan memutuskan mengakhiri hidupnya. Kisah kematian Sulli dapat dibaca di sini. Beberapa cerita di sekitar saya juga menguatkan fakta itu: orang-orang menjadi patah arang karena dirisak orang dekat mereka.
Membaca lagi kisah Arie Hanggara ini membuat saya sedih sekali. Entah pada bagian apa? Tetapi, menjadikan seseorang lebih baik (sesuai yang kita pikirkan), bukankah dapat saja menempatkan orang itu pada situasi yang buruk sekali? Solusinya? Saya tidak tahu. Maksud saya, saya tidak tahu persisnya. Tapi saya kira, cinta kasih yang tulus dan memerdekakan adalah panduannya. Semoga kita semua bisa. Amin!
Oh, iya. Tirto.id menyiarkan artikel tentang kisah sengsara tersebut sebagai peringatan atas hari kematian Arie Hanggara. Saya merasa, itu adalah keputusan yang baik sekali. Bahwa, kita, dalam posisi sebagai apa saja, penting mengenang hal-hal demikian; agar menjadi lebih mawas.
–
Salam dari Kedutul, Ruteng
Armin Bell
Foto: Ist.
Arie Hanggara… Kalau dia masih hidup berarti kami seumur. Waktu masih SD dulu nonton filmnya di Cipta Ria.. nonton dg berurai air mata dan jadi susah tidur. Sekarang sdh jadi orang tua.. dan artikel ini kembali mengingatkan bahwa kekerasan pada anak apapun bentuknya akan mempengaruhi masa depan anak. Tak henti belajar jadi orang tua yg baik. Salm sukses, Om..
Semoga kekerasan terhadap anak dalam bentuk apa pun tidak terjadi lagi. Tabe.