Ruteng ‘dinobatkan’ sebagai salah satu dari beberapa kota kecil paling kotor di Indonesia. Tahun ini. Awal 2019. Berita itu viral. Tentu ‘prestasi’ itu tidak diraih dengan mudah: kita buang sampah sembarang!
Ruteng, 15 Januari 2019
Mendapat cerita bahwa Ruteng jadi salah satu kota paling kotor di Indonesia sungguh mengejutkan. Ingatan saya terbang ke suatu masa. Kami masih tinggal di kompleks pertokoan ketika itu. Kompleks yang sepi sekali kalau semua toko sudah tutup. Jam tujuh malam. Di Ruteng memang begitu. Sebagian besar toko tutup paling lambat jam setengah tujuh malam.
Di deretan pertokoan (lama) di Jalan Katedral, kami biasa menyebutnya ‘tangsi polisi lurus terus ke bawah’ hanya ada tiga ruko yang penghuninya ‘tinggal dalam’. Maksudnya, selain sebagai tempat usaha, ruko digunakan juga sebagai tempat tinggal. Tiga ruko berpenghuni itu bersisian. Tempat praktik drg. Celestin (itu rumah kami), Jakarta Elektronik, dan Toko Sulawesi.
Pagi-pagi sekali, sebelum toko dibuka, kakak-kakak sebelah–panggilan akrab kami untuk pasukan Jakarta Elektronik–biasanya membersihkan pelataran toko mereka. Kami juga. Toko Sulawesi juga. Sebagian besar toko di deretan itu rata-rata begitu. Lalu masuk. Menyiapkan segala sesuatu. Berdoa. Kemudian toko dibuka tepat pukul delapan pagi.
Jika sedang beruntung, pada pukul sembilan pagi, satu per satu pengunjung datang. Rezeki. Disambut senyum yang ramah para penjaga toko. Klinik drg. Celestin belum buka. Karena dokternya harus ke Watu Alo setiap pagi, Senin sampai Sabtu. Bekerja di Puskesmas. Praktik dimulai jam empat sore. Saya yang menjaga rumah. Bermain dengan Rana, sampai mamanya pulang. Waktu kerja saya kala itu masih boleh sesuka hati. Indah im...
Waktu bermain itu kami isi dengan membuka setengah pintu klinik, bermain ke tetangga kiri dan kanan. Nonton tivi layar lebar di toko sebelah, melihat para pembeli dan penjual sibuk berinteraksi, sesekali ke toko kue yang letaknya beberapa meter saja dari rumah kami, lalu kembali lagi ke Jakarta Elektronik. Kakak-kakak penjaga di situ ramah-ramah dan Rana senang berlama-lama dengan mereka. Kakak-kakak yang pagi tadi membersihkan halaman toko mereka.
Baca juga: 10 Plus Satu Hal Paling Diingat tentang Ruteng
Seorang pengunjung datang. Bapak-bapak. Mau beli tivi barangkali. Saya lupa. Toh dia tidak jadi bawa pulang apa-apa hari itu. Dia beristirahat sejenak di antara rumah kami dan Jakarta Elektronik. Bersandar di dinding. Menatap ke segara arah. Mungkin sedang memikirkan rencana perjalanan berikutnya.
Dari kresek belanjaannya dia ambil sesuatu. Makanan ringan dalam kemasan. Disobeknya kemasan itu, dimakannya makanan yang ringan itu, dan dengan ringan pula, tangannya membuang kemasan di halaman kami. Saya marah. Mau menegurnya, tapi terlambat. Seorang dari kakak-kakak sebelah sudah sigap.
“Om, jangan buang sampah di situ ka.”
Bapak-bapak itu asyik sekali. Menoleh ke kakak perempuan yang cantik itu lalu tersenyum. Santai sekali dia. Santai yang bodoh. Lalu tidak melakukan apa-apa.
“OM! SAMPAHNYA ITU KA!”
Si bapak marah karena kali kedua teguran itu datang dalam bentuk bentakan. Saya menunggu detik-detik berikutnya sambil memperhitungkan kemungkinan menendang kepalanya kalau sampai dia bertindak kasar pada tetangga kami itu. Untunglah dia tidak melakukannya. Dia masih tersenyum lalu dengan asyik dan santai dan bodoh malah bertanya: “Kalau saya tidak buang sampah di sini, terus mau buang di mana?” Masuk akal. Memang tidak ada tempat sampah di sekitar situ.
Kakak yang tadi menegurnya langsung melotot. Tanpa kata-kata tetapi saya tahu itu adalah pandangan murka. Itu kemasan makanan kan bisa dikantongin. Disimpan di saku. Saya menduga itu yang dia pikirkan tetapi terlampau lelah menghadapi pertanyaan bodoh si bapak sehingga tidak mampu mengungkapkannya dengan bahasa. Dia masih melotot.
Baca juga: Orang-orang ini Dilarang Mengunjungi Tempat Wisata Kami
Saya meminta Rana masuk ke rumah, lalu mendekati si bapak. Menepuk pundaknya perlahan lalu menjelaskan bahwa membuang sampah di sembarang tempat itu tidak baik. Eh, ternyata si bapak tahu. Dia menjelaskan bahwa dia tahu soal itu tetapi melakukannya karena di sekitar situ tidak ada tempat sampah.
“Kalau saya tidak buang sampah di sini, terus mau buang di mana?” Kalimat itu dia sampaikan lagi. Kali ini kepada saya. Lalu saya menawarkan solusi: “Om tidak perlu buang di sini.” Saya memberinya jeda untuk berpikir. Tetapi dia malah tertawa. Maka saya lanjutkan kalimat saya. “Om bisa makan sekalian dengan ini bungkusan.”
Ketika mengatakan itu, saya memungut kemasan makanannya dan meletakkannya di tangannya seperti seorang penyuap memberi amplop kepada pemeriksa proyek. Penuh kesopanan. Dia tersinggung. Saya tersenyum. Saya tahu dia marah. Tetapi saya sungguh berharap dia mencobanya sesekali. Makan jajanan ringan lengkap dengan kemasannya. Dengan itu kita membantu mengurangi sampah di kota Ruteng ini dan menjadi lebih kenyang.
HOIIIIII! ITU KULIT PERMEN KAN KAU BISA KANTONGI! BAWA PULANG. BUANG DI TEMPAT SAMPAH DI RUMAHMU! ATAU DI TEMPAT TIDURMU JIKA BERKENAN! BODOH SEKALI!
Saya selalu heran dengan kemampuan kita membenarkan diri: karena di sini tidak ada tempat sampah, maka saya buang sampah saya di halaman orang saja. Saya juga heran bahwa ketika Ruteng ‘dinobatkan’ sebagai kota kecil yang kotor, kita langsung tahu bahwa bukan kita yang bertanggung jawab. Asyik sekali kita ini. Asyik sekali kota ini!
–
Salam dari Kedutul, Ruteng
Armin Bell
Foto: Dokumentasi Saeh Go Lino, Aksi Pungut Sampah di Lapangan Motang Rua Ruteng, 17 Agustus 2019.