Catatan ini dibuat setelah beberapa menit berlalu dari tanggal 12 Juli 2020. Tengah malam sekali. Saya terbangun lagi setelah pengaruh sopi benar-benar hilang.
14 Juli 2020
Sesekali pada saat kumpul-kumpul dan saya ikut minum sopi, ada saja yang tanya: hae, ibu dokter tida marah ka? Biasanya saya bilang: jan kasitau dia ka. Tentu saja mereka tidak akan kasitau Mama Rana sebab mereka teman yang baik. Dan, tentu saja kalau mereka kasitau, saya tidak akan dapat marah yang begitu hebat.
Kami, saya dan istri, sejak awal telah bongkar-bangkir seluruh cerita. Dari yang paling ingin disembunyikan hingga ke yang paling mewah dan harus diketahui seluruh dunia oleh sebab kami dua punya jiwa mau tampil agak mirip-mirip frekuensinya.
Saya dengan bangga pernah cerita bahwa saya ‘sudah puisi’ sejak SD. Saya memang merayunya dengan beberapa puisi kala itu, dan agar bagi dia puisi saya meyakinkan, saya tambahkan CV soal saya juara dua lomba deklamasi puisi “Surat dari Ibu” ketika saya masih kelas dua SD. Juara dua tingkat kecamatan. Saya sempat merasa hebat sampai dia bilang bahwa dia sudah masuk TV dan jadi reporter cilik ketika SD.
Baca juga: Paskah di Ruteng, Seorang Perempuan Memakai Gincu yang Lembut
Maksud saya, jika hal-hal membanggakan telah kau ceritakan pada istrimu, mengapa kau takut dia mengetahui hal-hal tidak membanggakan yang kau buat? Menikahi seseorang adalah menerima dia dalam satu paket utuh. Kami memutuskan menyepakati itu sejak awal dan berjuang menjaganya. Marah-marah tentu saja ada, karena siapakah yang kuat hidup menikah tanpa marah-marah?
Saya pernah marah karena dia tidak segera sadar bahwa saya sudah gunting rambut. Dia tertawa saja. Lalu bilang, “botak atau gondrong, kaka min su ganteng sejak dulu.” Sa bisa apa kalau begini? Ah, iya. Saya kira itu. Yang membuat kami senang. Kalau satu marah, yang lain lebih sering memilih diam. Bisa diam yang singkat, bisa diam yang sehari dua. Lalu berbaikan dan saling minta maaf. Mau lari ke mana? Kita serumah, sekamar, seranjang, terlalu kalau tidak pernah bekelai, tidak pernah saling minta maaf, tidak pernah bilang terima kasih.
Terima kasih, Ma. Sa bilang begitu tiap kali dia bikin kopi untuk saya dan tidak tergoda ikut meminumnya juga. Sama-sama, Pa. Dia bilang begitu sambil minum itu kopi lalu buru-buru minta maaf. Deee… ndeee…
Baca juga: Menjadi Lelaki Tanpa Kata
Itu kira-kira. Bahwa rebutan kopi masih terjadi di pernikahan kami. Bahwa kami baik-baik saja juga karena kami ada di lingkungan yang baik; orang-orang yang sesekali memberitahukan kepada istri saya hal tidak membanggakan yang saya buat, juga sebaliknya, sehingga kami, di kamar, bisa saling mengingatkan. Bahwa kami telah sepuluh tahun menikah dan berterima kasih kepada siapa saja yang telah turut serta membesarkan kami sekeluarga melalui tegur-sapa-kritik-saran dan doa-doa.
Baca juga: Mengunjungi Jakarta itu Baik
Pada ulang tahun pernikahan kami, saya menghadiahi diri sendiri dengan sopi dan dia dengan sepatu baru. Kami saling marah. Dia marah karena saya limbung–dia mengkhawatirkan kesehatan saya–dan saya marah karena dia membeli sepatu yang murah–saya mengkhawatirkan kemungkinan bahwa dia akan beli sepatu baru lagi dalam waktu yang tidak terlalu lama.
Lalu kami saling memaafkan dan saling bilang: terima kasih sudah ada untuk saya selama ini. Selamat sepuluh tahun, Celestin.
–
Salam dari Kedutul, Ruteng
Armin Bell