Pesan Moral Dongeng Anak, Apakah Ada?

Mengapa orang tua sebaiknya mendongeng? Mencari jawaban atas pertanyaan ini mungkin akan membawa kita pada buku-buku psikologi. Saya sendiri khawatir, buku-buku itu membuat kita lari jauh dari alasan sesederhana. Mendongeng itu kegiatan yang menyenangkan.

pesan moral dongeng anak apakah ada
Kegiatan Dongeng untuk Anak di LG Corner Ruteng | Dok. ranalino.co

Untuk yang belum pernah melakukannya–mendongeng untuk anak-anak mereka–, cobalah melakukannya sesekali sebelum mereka tidur. Engkau akan mendapati wajah mereka yang ceria, kenikmatan mereka mendengar cerita, dan tentu saja pertanyaan-pertanyaan kecil; mengapa ini, apa artinya itu, dan lain sebagainya.

Saya menemukan, bahwa dalam sekali jalan saja, dongeng untuk anak adalah kegiatan yang ‘sekali merengkuh dayung dua tiga pulau terlampaui’. Kita mendongeng artinya: 1). Menuturkan cerita, 2). Mengantar anak-anak tidur, 3). Melatih mereka mendengar, 4). Melihat mereka belajar memberikan tanggapan, 5). Melatih kemampuan menjawab pertanyaan dengan cara paling sederhana–memahami bahasa anak sebagai komunikan dalam kegiatan itu, 6). Silakan cari jawaban sendiri dengan segera melakukannya.

Ceritakan sebuah dongeng untuk anak anda sebelum mereka tidur. Dongeng untuk anak itu kegiatan yang menyenangkan.

Apa Pesan Moral Dongeng untuk Anak? 

Apakah ada pesan moral pada dongeng untuk anak? Barangkali iya. Atau barangkali kita kerap memaksakannya dan berharap anak-anak itu paham. Barangkali juga kita memang telah ahli membuat pesan moral lalu lantas lupa apakah kita memang benar melaksanakannya. Begitulah. Namanya juga barangkali.
Nah, sambil mencoba mencari jawaban atas pertanyaan apakah ada pesan moral dan seberapa penting makhluk bernama pesan moral itu dalam kegiatan mendongeng, saya mau bagi cerita. Cerita ini adalah sari dari sekian banyak pengalaman yang kami peroleh dari kegiatan Sore Cerita – Dongeng untuk Anak di LG Corner Ruteng.
Begini ceritanya…
(adsbygoogle = window.adsbygoogle || []).push({});
BACA JUGA
Puasa Ini Saya Ingat Latung Bombo

Dari sekian banyak dongeng yang kami dengar dan kami dongengkan kembali “Gadis Korek Api” milik H.C. Andersen adalah yang rasanya selalu aktual. Dongeng ini aslinya adalah dongeng yang kejam. Kami ‘terpaksa’ mengolahlembutkan bagian leraiannya–seperti juga yang kami lakukan pada dongeng Andersen atau Grimm Bersaudara yang lain, agar lebih heavenly correct

Nah, setiap selesai berbagi cerita dan anak-anak pamit pulang menjelang matahari terbenam, saya dan pendongeng kami Erick Ujack Demang biasanya minum kopi dulu di LG Corner dan melakukan refleksi (atau pura-pura merefleksi) tentang how a story shows our own faces; a story written at tahun tidak enak punya namun yang tidak tampak kuno, selalu bisa ditemukan padanannya pada hidup di sekitar kita. Kadang berpadan dengan hidup kita sendiri. 
Pada cerita Gadis Korek Api, yang tampak adalah wajah kami yang kerap jatuh iba pada beberapa anak kecil yang menjajakan pisang di lemba, pikulan dari bilah bambu. Penjual pisang itu kami jumpai pada saat kami hendak ke swalayan.

Ke swalayan, kami hendak membeli pisang yang telah dikemas baik oleh beberapa komunitas penyedia makanan organik. Setelah dalam hati bilang ‘Betapa kasihan anak itu’, kami lanjutkan perjalanan ke Swalayan. Di swalayan kami membeli pisang lalu merasa begitu sehat karena telah membeli makanan organik. 

Sebagai pendongeng, saya dan Ujack merasa diri agak buruk pada titik itu. Titik di mana kami ingat bahwa di bagian akhir kegiatan mendongeng, kami meminta anak-anak pulang setelah menemukan pesan moral pada dongeng Gadis Korek Api yang telah mereka dengar. Tentu saja yang kami inginkan adalah agar mereka, para pendengar kami, menemukan pesan ini: 
Lakukan kebaikan pada detik pertama kita tergerak melakukannya. Karena jika tidak, atau sengaja menunda, mungkin esok pagi kau akan menemukan seorang gadis kecil mati kedinginan. Korek api yang hendak dijualnya kemarin kepadamu telah dibakarnya satu per satu sebagai usaha terakhir mengusir dingin.
Ketika menemukan anak itu telah menjadi mayat yang beku, kau menyesal. Kau ingat, malam ketika kau menjumpainya sedang menjual korek kepadamu, kau sempat jatuh iba dan ingin menolong. Kau tak jadi menolong karena segera sadar bahwa stok korek api di rumahmu masih banyak.

BACA JUGA
Jika KPI Tidak Mampu Televisi Tidak Mau, Siapkan Sensor

Catatan: cerita ini mengambil setting Malam Natal, orang-orang bergembira, semua kebutuhan melimpah, siapakah yang perlu memberi korek api? 

Selanjutnya bagaimana?
Saya dan Ujack menyadari bahwa dalam setiap kegiatan mendongeng, para pendengar mampu mengambil apa yang oleh banyak kalangan dikenal sebagai Pesan Moral. Ada harapan agar mereka yang telah mendengar kisah “The Little Match Girl” itu menyadari pentingnya segera menolong pada kesempatan pertama kita ingin melakukannya. 
Karena jika tidak, mungkin kita hanya akan menjadi seperti orang-orang dalam cerita itu, demikian: “….Orang-orang yang berkumpul di sekitarnya, menyesalkan kematian gadis itu. Ibu yang menolak membeli korek api pada malam kemarin menangis dengan keras dan berkata, “Kasihan kamu, Nak. Kalau tidak ada tempat untuk pulang, sebaiknya kumasukkan ke dalam rumah.” Orang-orang kota mengadakan upacara pemakaman gadis itu di gereja, dan berdoa kepada Tuhan agar mereka berbuat ramah meskipun pada orang miskin…” 
Begitulah. Sebagai pendongeng kami berpikir bahwa usaha kami berjalan dengan baik. Anak-anak telah berhasil menangkap pesan moral dari dongeng yang telah mereka dengar. Alat ukur kami adalah pada interaksi tanya jawab setelah dongeng dituturkan. Lebih dari lima puluh persen anak mampu menjawab atau memberikan komentar tentang pesan yang mereka tangkap dari dongen H.C. Andersen itu. 
(adsbygoogle = window.adsbygoogle || []).push({});

Ketika menyadari keberhasilan itu pada masa refleksi, kamu kemudian merasa buruk diri. Kami buruk diri karena berhasil ‘menciptakan’ anak-anak yang lebih peduli, tetapi kami sendiri kerap abai. Kami toh tidak pernah sangat peduli pada situasi-situasi seperti itu.

Baca juga: Rangga – Cerpen di Flores Pos

Contohnya ya seperti itu tadi, ketika kami menemui seorang anak yang terbungkuk-bungkuk menahan beratnya pisang di lemba, kami sante sa. Bilang kasihan tetapi tetap melanjutkan perjalanan membeli pisang ke swalayan. 

Atau begitukah tumbuh menjadi tua? Menciptakan generasi baru yang hebat sedang kita sendiri melangkah ke seberang yang sama sekali lain; lalu kita merasa telah berbuat kebaikan karena telah mengajarkan nilai-nilai moral pada generasi baru. Aeh, tidak enak betul rasanya kalau benar demikian e. Macam agak kurang ajar. Tir nyaman. Tapi mau bagaimana lagi? 
Saya selalu mendongeng untuk anak saya Rana. Kegiatan yang saya lakukan jauh sebelum ulang tahunnya yang pertama. Sejak dia dalam kandungan. Untunglah saya berhasil dalam usaha untuk tidak memintanya menyimpulkan pesan moral dalam cerita.

BACA JUGA
Jakarta oh Jakarta, Bagaimana Kau Berubah?

Tentang bagaimana Rana menanggapi dongeng Gadis Korek Api karya Hans Christian Andersen, simak catatan selanjutnya: Pesan Moral Dongeng Anak, Untuk Siapa?


Salam
Armin Bell
Ruteng
Bagikan ke:

2 Comments

  1. Dongeng: kebiasaan lama yg sangat baik tp makin lekang dan tergeser oleh 'dongeng2' yg ditawarkan dalam upin ipin, dkk. LG corner sdh cukup lama memulai, dan tradisi ini mudah2an dpt terawat dg baik.. tabe

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *