Pentingkah Memberi Maaf?

Pertanyaan pentingkah memberi maaf tidak dapat diajukan kepada orang yang sedang marah. Atau barangkali, orang yang sedang marah tidak boleh diajak bicara soal apa pun. Mereka akan tetap marah-marah hadeeeh…

ilustrasi memberi maaf

Adegan di Drama Musikal Ombeng “Memberi Maaf” | Foto: Frans Joseph

Ini adalah tulisan lama. Tidak penting-penting amat. Ketika menulis catatan ini, saya sebenarnya juga sedang tidak tahu apa yang sebenarnya hendak saya sampaikan. Sehingga, misalkan setelah selesai membaca seluruh catatan ini kalian tidak menemukan apa-apa, harap maklum. Tetapi berbaikhatilah membacanya sampai selesai karena kalian orang baik yang mendukung segala niat baik termasuk belajar menulis  cie cieee… 
 
Mari…

Manusia adalah makhluk sosial, dengan konsekuensi logis bahwa setiap hal yang diciptakan seharusnya mempetimbangkan kepentingan orang lain agar tak ada yang merasa tersakiti atau disisihkan atau teralienasi.

Sulit memang, karena kerap beberapa hal sengaja atau tidak malah membuat pihak lain merasa tersakiti. Dalam logika yang dibalik, tak jarang kita berada dalam posisi tersakiti. Pada situasi inilah kita berada pada pilihan memberi maaf atau tidak.

Baca juga: Agama Apa Saja adalah Agama yang Baik

Maaf adalah kata ajaib yang muncul dari kesadaran pentingnya memperbaiki situasi agar semua kembali berjalan normal. Tanpa kata ini, maka yang tercipta adalah musuh. Padahal manusia adalah makhluk sosial yang jika mempunyai musuh maka akan mempersempit ruang gerak.

Apa indahnya menjadi makhluk sosial tanpa ruang gerak yang bebas? Dan kita lalu termangu di sudut ruangan, menggigit sandaran kursi yang menampilkan kenangan ketika kita hidup tanpa musuh. Sedih e aeh.

Tetapi harus diaku, memberi maaf bukan soal yang mudah. Kerap kita berlindung pada kalimat ‘jika tak ingin punya musuh, jangan sakiti orang lain’. Maka kitapun merasa sah untuk tidak memberi maaf; kau telah menyakitiku dan itu membuatku luka; sah!

BACA JUGA
Mengapa Kita Harus Membalas Senyum Ramah Para Caleg Jelang Pemilu?

Tak ada yang salah dengan keputusan itu. Semua menyadari, situasi tersulit manusia adalah ketika dia harus berbuat baik dengan orang yang telah menyakitinya, dan karenanya pilihan paling nyaman adalah melupakannya atau dalam terminologi saya: memusuhi.

Sayang memang, lingkaran sosial kita menjadi mengecil, tetapi sebagian orang akan menganggap itu sebagai hal terterima. Mau bagaimana lagi? Saya sulit memaafkannya, dan sepertinya tidak bisa.

Maka, kita pun berjalan nyaman dengan itu, melupakan (baca: memusuhi) orang yang bersalah kepada kita dan memulai hidup baru tanpa dia. Lalu, siapkah kita ketika situasi serupa berbalik kepada kita? Artinya, siapkah kita dimusuhi karena orang lain tidak bisa memaafkan kita?

Baca juga: Seni itu Band Melayu?

Beberapa mungkin siap, tetapi sebagian besar saya yakin sulit. Alasannya sederhana, “Saya sudah meminta maaf, dan berikan maaf itu agar kita bisa seperti semula lagi”, demikian pikir kita. Akankah sesederhana itu bagi dia?

Merujuk pada paragraf sebelumnya ketika kita berada pada posisi tersakiti, mungkin tidak akan sesederhana itu. Tetapi ego kita cenderung besar dan merasa kesalahan yang kita lakukan sangat kecil sehingga dia tak cukup punya alasan untuk langsung memusuhi kita. Nah, jika demikian bukankah adil jika manusia menggunakan logika terbalik untuk setiap soal termasuk memberi maaf?
Maka pertanyaan: pentingkah memberi maaf mungkin dijawab demikian: Saling memaafkan menjadi penting agar lingkaran sosialmu tak mengecil, karena tak elok rasanya menjadi mahkluk sosial dengan lingkaran sosial yang sempit; agar kita tetap layak berdoa: …dan ampunilah kesalahan kami, seperti kamipun mengampuni yang bersalah kepada kami.
Salam
Armin Bell
Ruteng, Flores
Bagikan ke:

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *