Yeris Meka, seorang veteriner, berbagi pengalaman perjalanannya dalam usaha Flores bebas rabies. Simak bagian pertama (dari tiga bagian) ini.
Oleh: Yeris Meka
Setelah operasi vaksinasi rabies di Madawat, Kecamatan Alok, Kabupaten Sikka tuntas, kami ke tempat berikutnya. Menurut informasi petugas kabupaten, tersisa dua kecamatan yang populasi anjingnya belum divaksin rabies tahun ini. Kecamatan Palu’e dan Mapitara.
Jatah kami di Mapitara. Kecamatan di bagian selatan Sikka. Berjarak sekitar 80-an kilometer dari Maumere. Kira-kira tiga jam perjalanan. Dengan sepeda motor. Maumere – Waigete – Mapitara. Titik tuju adalah kaki gunung Egon. Di desa Egon Gahar, tim pertama ditempatkan. Tugas mereka menyisir populasi anjing di dusun-dusun desa ini. Kami tim kedua. Masih harus melahap beberapa kilometer lagi. Ke Natakoli. Desa di sebelahnya.
Hari sudah gelap. Medan juga ekstrim. Curam. Tebing di kiri, jurang di kanan. Jalan masih berupa rabat beton. Daya cengkram ban tidak sama di jalan aspal. Saya rasa begitu. Kami perlu lebih hati-hati. Salah perhitungan, tergelincir. Beberapa petugas yang biasa di Mapitara menjadi penunjuk jalan. Malam gelap begini, salah jalan bisa bikin keadaan jadi lebih buruk. Jangankan pemancar sinyal telepon seluler, tiang listrik saja baru dipasang. Sinyal tak ada, bagaimana menghubungi kawan kalau nyasar?
Baca juga: Mora Masa, Menabung Rumput Menuai Rupah
Dua kilometer setelah tim pertama ditempatkan, kami berbagi jalan dengan petugas setempat. Mereka ke kiri. Kami ke kanan. Kawan-kawan petugas Mapitara ini harus ke desa selanjutnya lagi dengan tugas yang sama. Melakukan vaksinasi rabies di daerah ini. Berharap Flores bebas rabies. Bebaslah segera. Kenapa? Apakah kami lelah masuk keluar kampung? Tidak. Sama sekali tidak. Itu bukan masalah.
Setelah medan berat ini, saya mengimani, tugas ini berat. Bukan karena medan yang kami lalui. Meyakinkan pemilik anjing untuk dengan sukacita menyerahkan anjingnya divaksin lebih menguras emosi. Pengalaman di Alok, cukup membuat kami percaya.
Pada hari sebelumnya, di Kelurahan Madawat, Kecamatan Alok, kawan-kawan vaksinator yang beberapa hari giat melakukan vaksinasi harus kembali ke rumah-rumah yang karena beberapa alasan dilewatkan pada jadwal sebelumnya. Kami ikut.
Pemilik rumah adalah seorang perempuan yang menolak anjing miliknya divaksin. Enggan kami berlama-lama. Bahkan untuk sekadar berdiri di halaman rumahnya. Bertanya-tanya apalagi. Kesal. Pasti.
“Anjingnya mau ada acara. Anak saya ulang tahun,” katanya singkat. Tangan kanannya menahan jendela. Tangan yang lain membelai ujung rambut. Matanya sibuk mencari wajah sendiri dalam kaca jendela. Ya Tuhan, makhluk apa kami ini diabaikan sampai begini rupa?
“Mama, sudah banyak yang mati gara-gara rabies. Baru-baru ini mati lagi. Anak kecil. Karena rabies.” Kami coba menjelaskan. Ia keukeuh. Berbusa-busa percuma kami ini. Di beberapa rumah, sama alasannya. “Anjing mau dipotong. Anak saya ulang tahun. Dua hari lagi.” OK! SELAMAT ULANG TAHUN! Ada juga alasan lain yang membuat mereka ‘kepala batu’. Tidak mau anjingnya divaksin. Nanti mati, setelah divaksin. Sudah sering terjadi. Kata mereka. Pokoknya tidak mau anjingnya divaksin. SELAMAT JUGA BAPAK. SELAMAT.
Saudara-saudari sekalian, digigit anjing—kalau ada kemungkinan anjingnya sudah terinveksi—lalu korban tidak ditangani dengan benar, lalu gejalanya muncul, tak ada jalan kembali. Nyawa sudah diijon. Apa itu tidak cukup mengerikan? Berapa sih harga seekor anjing dibanding biaya yang harus digelontorkan bila sudah ada korban gigitan? HITUNG!
Baca juga: Kampanye HIV/AID, Konsep atau Resep?
Berangkat dari pengalaman beberapa hari lalu itu, saya pesimis. Mungkinkah masyarakat di pedalaman akan lebih peduli dengan misi ini? Tugas kami teknis sekali. Kalau ini adalah perang, kami adalah pasukan di garda paling depan. Mengisi amunisi lalu ditembakkan ke sasaran. Kemungkinan diserang balik? Ada. Ketakutan digigit? Ada. Kami belum di-VAR.
Bertemu Om Serafim
Beberapa kebetulan terjadi. Medan baru, gelap-gelap, satu kilo rasanya jauh sekali. Setiap bertemu warga pasti tanya.
“Rumah Bapa Desa Natakoli, masih jauh ka?”
“Dekat saja.” Beberapa menjawab.
Yakin? Di sini, dekat bisa berarti masih beberapa kilo meter lagi. Kalau masih siang bolong, kata itu bisa saja merujuk sebuah tempat di sebelah bukit yang masih kebiru-biruan itu. Masih jauh. Jauh sekali. Saya tiba-tiba lebih suka mendengar yang lebih spesifik meski itu berarti masih sangat jauh. “Lima puluh kilo lagi!” Misalnya. Itu lebih membangkitkan semangat. Sudahlah. Mungkin ada yang bisa lebih membantu di perpapasan selanjutnya. Yakin saja.
Dan benar, kami bertemu Om Serafim. Beliau alumnus SPMA Bo’awae. Lulus tahun 1994. Sudah 9 tahun jadi relawan vaksinator yang bertugas di lapangan. 2015 kemarin diangkat jadi honorer Kabupaten Sikka. Beliau mengantar kami ke rumah Kepala Desa Natakoli. Di Wolomotong. Om Serafim bilang, Mapitara sudah jadi wilayah tugasnya. Masyarakat di sini sudah mengenalnya. Sering, beliau bermalam di rumah warga kalau memang tidak memungkinkan kembali ke rumahnya di Kecamatan Bola.
Ok. Lelah ini harus dibebat dulu. Kami mau istirahat. Om Serafim juga mau ke desa sebelah. Masih beberapa kilo lagi. Perjalanannya agak terhambat karena tadi kami ‘membajaknya’. Istirahat dulu. (bersambung)
Bagian selanjutnya: Menuju Flores Bebas Rabies (Bagian 2): Mapitara, Ahu Noran Koe ‘On
–
1 November 2018
Yeris Meka, dari Mangulewa, tinggal di Kupang, seorang petugas medik veteriner. Dapat dijumpai di Facebook: Yeris Meka.
–
Gambar dari Republika.co.id.