Koalisi Politisi untuk Mereka Sendiri?
Sedang ramai negeri kita ini. Sedang berpesta,kata sebagian orang. Sementara lainnya juga merasa sama: negeri sedang berpesta, tetapi mereka tak terlibat di dalamnya. Hanya menjadi penonton. Orang-orang lalu bertanya, “Siapa gerangan yang berpesta?”
Pemilihan Umum Legislatif baru saja usai. Yang terpilih sudah menjahit jas dan kebaya baru untuk persiapan pelantikan. Yang tidak terpilih sibuk dengan aneka kegiatan. Yang kecewa, keluarganya yang sibuk menenangkan. Yang lain serentak meninggalkan lingkungan pergaulan lama lantaran tak dipilih oleh famili mereka sendiri. Yang besar sibuk menyiapkan diri untuk pesta baru lagi: Pemilu Presiden.
Koalisi dibentuk. Sikut sana sikut sini. Yang dahulu membenci sekarang bercinta. Yang kemarin habis-habisan bercerita busuk tentang lawan, kini khusyuk berbagi cerita baik tentang kawan mereka; orangnya sama–lawan dan kawan itu. Betapa waktu punya cara sendiri memilih siapa pun untuk dipisah untuk disatukan.
Untuk siapa mereka sibuk begitu? “Untuk kepentingan rakyat banyak!” kata seorang. Yang lain bicara mirip dengan kalimat yang berbeda: “Kita perjuangkan kemakmuran masyarakat negeri ini!” Nyaring mereka bersuara. Nyaring sekali. Sampai pekak telinga banyak orang, lalu tuli. Tak mampu (atau tak mau?) mendengar.
Saya ingat sebuah teater. Judulnya: “PILIHAN”. Anak-anak Seminari Pius XII Kisol yang mementaskannya di Gedung MCC Ruteng tanggal 14 Mei 2014 silam. Saya suka. Juga lupa. Maksudnya lupa bertanya siapa yang menulis naskah itu. Tetapi ya itu tadi. Saya suka.
Dikisahkan, seorang Tua Adat Manggarai membawa sekelompok orang. Masyarakatnya sendiri. Dari kelompoknya yang kecil. Naas, kelompok yang kecil itu mendadak terbelah dua.
Bagian pertama mendukung seorang politisi berbaju hitam dengan latar belakang akademik yang sensasional, bagian lainnya mendukung seorang politisi berbaju putih yang tampak sederhana dari segi akademik tetapi mempesona dalam tutur kata dan tingkah.
Tua Adat itu susah payah mengingatkan masyarakatnya untuk tidak lantas percaya pada janji-janji politik itu. Ya, susah payah karena dia ditempeleng, ditendang, dilecehkan masyarakatnya sendiri yang sedang sibuk saling ejek. Dalam hati saya membela politisi berbaju putih.
(adsbygoogle = window.adsbygoogle || []).push({}); |
Dalam hati juga saya merasa betapa butanya penulis naskah teater “Pilihan” ini sehingga membiarkan tokoh-tokohnya terpengaruh oleh politisi berbaju hitam padahal di panggung ada yang memakai baju putih. Bukankah putih selalu tampak sebagai suci?
Naskah ini seperti memaksakan diri menciptakan konflik yang tak nikmat sekaligus tak masuk akal di saat bersamaan. Bisa dibayangkan bukan? Sesuatu yang tak nikmat dan tak masuk akal hadir dalam satu rupa: reaksi yang tepat adalah PENOLAKAN!
Saya menolak ide cerita ini. “Maksa!” kata saya pada diri sendiri. Dan adegan sampai di bagian akhir. Ini teater satu babak. “Akhirannya mestilah kacau,” gerutu saya.
Tetapi lihatlah. Di panggung, politisi berbaju hitam memberi komando kepada pendukungnya untuk merebut tiang kuasa–sebuah tiang yang di ujung atas membentuk kepala kerbau (di Manggarai tanduk kerbau diletakkan di bubungan rumah adat, simbol kekuasaan), si politisi putih juga melakukan hal yang sama kepada para pendukungnya.
Mereka bertengkar dalam gerakan teatrikal yang baik. Memegang tiang kuasa, saling tarik, berupaya merebut. Tua Adat tak berdaya. Dua politisi terus memberi semangat pada masing-masing pendukungnya. Masyarakat dan Tua Adat sampai di titik akhir, jatuh terkapar semuanya.
Baca juga: Rosario – Cerpen di Pos Kupang
Tiang kuasa di luar jangkauan. Tidak berhasil dikuasai baik oleh pendukung politisi berbaju hitam, pun pendukung politisi berbaju putih. Mereka jatuh, tak lagi mampu bangun. Merangkak saja meninggalkan panggung.
Tiang kuasa dipegang dua politisi itu bersama-sama. Mereka terbahak-bahak tertawanya. Yang berbaju putih membuka bajunya itu. Dibuangnya. Dia kini berbaju hitam. Dua politisi kini berbaju hitam. Bersama-sama memegang tiang kuasa. Terbahak-bahak mereka tertawa, meninggalkan panggung. Ada beberapa dialog akhir yang mereka ucapkan, tentang betapa rakyat itu bodoh, tentang boleh putih di luar namun hitam di dalam, tentang betapa baiknya mereka berhasil membodohi rakyat.
Adegan selesai. Teater itu ditutup dengan derai tawa yang masih jelas terdengar ketika panggung telah kosong. Derai tawa dua politisi itu, yang kini sama-sama memakai baju berwarna hitam. Dan dari bangku penonton terdengar tawa yang ditahan. Antara setuju, diam-diam kagum, atau merasa malu. Saya merasa malu. Semula menduga naskah teater satu babak ini tak baik, tetapi ternyata begitu menariknya.
Sekedar tambahan informasi, sebagian besar pemeran teater itu masih SMP. Ya, Sekolah Menengah Pertama di Seminari Pius XII Kisol. Masih SMP dan sudah memiliki kesadaran panggung yang baik. Mungkin baik juga menyebut memiliki kesadaran politik yang baik. Memotret realitas politik negeri ini dalam naskah satu babak.
Saya merasa, teater berjudul Pilihan itu benar adanya. Mereka yang dahulu saling membenci sekarang bercinta habis-habisan. Yang kemarin bercerita busuk tentang lawan, kini berbagi cerita baik tentang kawan mereka. Dan rakyat dapat apa?
(adsbygoogle = window.adsbygoogle || []).push({}); |
Di Manggarai kami mengenal ungkapan ini: caling mori meu, bom celung mendi ami. Pergantian pemegang kekuasaan tak mengubah apa pun pada hidup masyarakat kebanyakan. Sepertinya ini tentang kepasrahan. Betapa kesibukan para politisi berkoalisi tidak mengubah apa pun. Kami tetap seperti ini: terpecah-pecah dan berkelahi dengan sesama, berkelahi dengan waktu.
“Koalisi politisi untuk mereka sendiri?” tanya saya dalam hati hari ini. “Perkelahian politisi adalah isyarat awal mereka akan bercinta. Mungkin mereka mengalami penyimpangan seksual. Orang-orang sado. Lalu mereka pamer senyum berlebih, mestilah mereka eksibisionis. Koalisi politisi untuk mereka sendiri. Mungkin begitu.
Di politik, tak ada yang abadi juga koalisi. Di Indonesia, rakyat selalu begitu: berkelahi untuk tak pernah benar-benar tahu siapa yang menang. Mungkin sama-sama kalah. Mungkin terus berkelahi. Berkelahi dengan waktu.
Saya ingat Iwan Fals pernah menulis sebuah lagu yang di dalamnya berkisah tentang anak kecil yang berkelahi dengan waktu. Dalam pembacaan saya, anak kecil yang dia ceritakan adalah kami: rakyat kecil, wong cilik.
Betapa sedih melihat dua orang bermusuhan karena melihat dua orang lain yang bermusuhan. Terakhir, dua orang terakhir bercinta dan dua
orang pertama terus bermusuhan. Mereka butuh waktu lama untuk berdamai. Betapa sedih. Terutama di negeri di mana pelajaran sejarah tidak dengan baik diajarkan sehingga kami tak mengenal sejarah. Maaf, Bung Karno. Sepertinya kita masih akan jadi bangsa yang kecil karena kami tak banyak belajar dari sejarah.
Siapa pun nanti yang jadi pemenang, dia telah membuat yang seorang kalah. Dan siapa pun yang merasa kalah, sepanjang umur hidup melihat pemenang sebagai musuh. Perhatikan: Merasa Kalah. Bukan kalah. Orang kalah punya waktu untuk bangkit, tetapi orang yang merasa kalah hanya punya waktu untuk mencari kesalahan pemenang.