jogja yang murah dan sudut-sudut kota yang merindukanmu catatan armin bell blogger ruteng

Jogja yang Murah dan Sudut-Sudut Kota yang Merindukanmu

Di Jogja, entah bagaimana, semua harga terasa lebih murah. Jogja yang murah. Harga paling dekat barangkali Malang. Atau keduanya sama?


Ruteng, 8 Juli 2019

Misalkan harus memilih, apakah Malang atau Jogja, saya pikir saya butuh waktu yang cukup lama untuk memikirkannya. Malang jelas telah punya tempat sendiri di hati saya. Kurang lebih lima tahun tinggal di sana, cari uang makan di kota itu, pernah agak terkenal di udara karena saya pernah jadi penyiar di sana, saya sedang tipu diri kalau bilang tidak ingat itu kota. Asli!

Tetapi Jogjakarta atau Jogja atau kota yang oleh Jokpin dianggap terbuat dari rindu, pulang, dan angkringan itu adalah sesuatu yang juga tidak bisa terlepas begitu saja dari lemari ingatan. Cie cieee… Yang pernah punya ‘cerita’ di sana pasti agak memerah mukanya sekarang. Tir apa-apa. Sante. Tirada yang liat. Lanjut?

Begini. Tulisan ini tidak akan membuat dadamu sesak karena rindu yang penuh oleh lampu jalan, Malioboro, Amplaz, atau kamar kos. Eh? Saya hanya sedang ingin mengenang cerita dari beberapa kali berkunjung ke sana.

Beberapa kali saya berkesempatan main ke Jogja. Dalam rentang waktu yang cukup panjang di antara setiap kunjungan itu. Tentu saja akan ke sana lagi suatu saat. Tetapi yang paling diingat adalah ketika akhirnya berkesempatan mengunjungi kota itu bersama Celestin, Mamanya anak-anak. Ehmmmm… Ini adalah perjalanan yang paling saya ingat, selain karena kami pergi berdua saja, juga karena itu adalah satu-satunya perjalanan yang seluruh biayanya berasal dari kantong sendiri. Hihihi…

Baca juga: Dari Ruteng ke Jogja ke Borobudur Writers and Cultural Festival

Begitulah. Beberapa kali mengunjungi Jogja, saya jarang keluar uang sendiri. Kalau bukan ditanggung panitia, ya pasti dibiayai teman-teman, atau, ternyata panitia adalah teman-teman sendiri. Banyak yang begitu. Sante sa. Btw, karena itulah, perjalanan di tahun 2013 itu (What? Itu sudah lama sekali, Roberto!) sejak awal dirancang dengan baik. Maksudnya, merancang waktu liburan yang disesuaikan dengan ketersediaan biaya. Kami tidak ingin jika terpaksa harus pulang jalan kaki karena kehabisan uang. Jalan kaki dari Jogja ke Ruteng dan di tas ada oleh-oleh asbak dari Borobudur. Itu mungkin akan masuk dalam rekor nasional – Pasutri asal Ruteng-Flores berjalan kaki antar-pulau demi menemui anak mereka – tetapi kami tidak ingin begitu.

BACA JUGA
Sepuluh, 12 Juli 2020

Pasal biaya inilah yang membuat saya tiba-tiba merindukan Jogja. Saya pikir, Jogja juga merindukanmu. Ya. Semua yang pernah tinggal di Jogja entah untuk berapa lama, pulanglah sesekali ke sana. Tidakkah kalian merindukan angkringan dan musisi jalanan mulai beraksi mengiring laraku kehilanganmu halaaah…

Sebagai orang yang tinggal di Ruteng, yang biaya makan di warungnya lumayan mahal, saya terkaget-kaget ketika istri saya mengajak banyak sekali ade-ade dorang setiap kali kami hendak pergi makan. Jadi su kami pulang jalan kaki ini ta, pikir saya. Lalu ternyata semua baik-baik saja. Biaya yang biasa kami keluarkan untuk makan berdua di Ruteng (kami biasa sesekali begitu), ternyata bisa untuk traktir cukup banyak orang.

“Mereka punya harga beras di sini berapa, Ma?”
“Tir tau lagi, Pa. Murah im…”
“Iya, Ma. Murah sekali. Berarti sa bisa beli buku cukup banyak im.”
“APA? TIDAK! SA PERLU SEPATU!”
“Tapi, Ma. Buku itu penting.”
“Kalau ada yang diskon sampai 70%, kita beli.”
“Tirada, Ma.”
“SU JELAS TO?”

Begitulah kira-kira dialognya. Kami akhirnya beli sepatu. Haissssh….

Baca juga: Koalisi Politisi untuk Mereka Sendiri

Di Jogja yang murah itu, kami bisa jalan ke mana saja dengan santai. Terlihat sebagai orang kaya karena selalu bisa traktir Dion, Ronys, Djiboel, Danil, Iwan, Induk, Ican, Endak, Uchy, dan masih banyak lagi. Padahal, asli, kami tir kaya. Itu uang yang dipakai untuk traktir itu adalah uang yang sudah dianggarkan untuk biaya makan berdua; kami pakai standar harga Ruteng dan beberapa kota lain ketika merancangnya.

Kelak, ketika sekali lagi mengunjungi kota itu sendiri, saya juga tetap berlaku sama pada Ronys, Jento, Dion, Fadfad, Andrian, dan Colin. Trakteeeer. Beli bukuuuu. Sambil terngiang-ngiang pesan di telinga: INGAT! SEPATU! Hadeeeeh… Mamanya anak-anak juga tetap bisa tampil sebagai horang kayah ketika mengunjungi kota itu sendiri.

BACA JUGA
Tour de Flores, Perdebatan di Media Sosial, dan Nasib Seekor Kambing

Sampai sekarang, saya tetap merasa, Jogja adalah salah satu destinasi yang ramah kantong. Entah bagaimana pemerintah di sana melakukannya, tetapi rasanya selalu lebih murah biaya hidup di Jogja daripada di kota-kota lainnya. Jogja murah, seperti di Malang. Kira-kira begitu. Secara biaya. Karena alasan itu, saya kira, dalam setiap pencarian dengan kata kunci destinasi wisata murah di Indonesia, Jogja ada di urutan pertama dan Malang ada di urutan berikutnya. Tidak jauh. Bisa cek di sini dan di sini.

Yang mengherankan adalah, kenapa keramahan biaya seperti itu tidak bisa diterapkan di tempat lain padahal kita masih sama-sama Indonesia? Tentu saja akan ada yang dapat menjelaskannya secara rinci; soal ekonomi makro dan mikro, pasokan bahan, jalur distribusi, dan lain sebagainya. Tetapi, bisakah kita belajar dari sana?

Oh, iya. Jika biaya barangkali adalah soal lain yang rumit, keramahan adalah soal penting yang harus dipelajari. Saya dan Celestin tidak merasa sebagai orang asing di kota itu. Karena itulah saya selalu berusaha membuat siapa saja yang berkunjung ke Ruteng tidak diperlakukan sebagai orang asing. Memangnya bagaimana?

Begini! Setiap orang wajib mendapat harga yang sama, apakah dia baru berkunjung atau sudah lama tinggal di sini. Itu berlaku untuk semua. Dari ojek, penginapan, kopi, dan lain-lain. Jangan karena yang datang itu ‘muka baru’, kita mulai pasang harga lebi-lebi. Itu namanya cari untung sembarang. Jangan begitu!

Baca juga: Selesaikan Sekolahmu, Tidak Semua Orang Seberuntung Bill Gates

Setiap orang yang melakukan perjalanan, sesungguhnya tidak melakukannya karena dia telah kaya. Tidak! Dia sedang ingin menikmati suasana yang lain. Karenanya dia menabung lama. Menghitung seluruh biaya hidupnya di lokasi yang hendak dikunjunginya secara cermat dan membawa uang yang cukup untuk itu. Cukup, ya! Bukan berlebih. Karena itu, ketika mereka merasa dirampok akibat kebijakan harga sekenanya karena model cari untung sembarang tadi, dia tidak akan berkunjung lagi. Su mengerti?

BACA JUGA
Main Bola Paskah

Kalau belum, mungkin kau perlu jalan-jalan. Ke Jogja-lah sesekali. Lalu kau akan pulang dengan rindu pada angkringan yang murah. Yang membuatmu tampak kaya, sebuah perasaan yang membuatmu liburanmu akan terasa lebih menyenangkan.

“Ma. Asyik ini liburan im.”
“Iya. Menyenangkan.”
“Kita liburan dalam rangka apa, Ma?”
“Wisudanya Djiboel tah!”
“Oooo… makanya kita traktir dia terus im. Maka dia lagi yang pilih menu. Issshhh!”

Begitulah. Di Jogja, kami merasa senang. Jogja yang murah—terima kasih—juga seharusnya merasa senang karena kami termasuk orang yang tertib sampah. Setiap kota pasti senang jika yang berkunjung tidak menyampah di sembarang tempat. Bukankah begitu? Harusnya begitu!

Salam dari Kedutul, Ruteng

Armin Bell

Gambar dari Kompas.com

Bagikan ke:

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *