Apakah otak bisa dihargai dengan rupiah? Jangan berpikir tentang jual beli otak manusia di pasar gelap. Itu terlalu jauh dan mengerikan. Tulisan ini hanya mau berbagi tentang bagaimana mengukur kreativitas dengan harga yang tepat.
Saya pakai Kaos Wengko Weki Dite | Foto: Ist |
Hitung Harga Otak Anda Sekarang
Sedikit modal sudah dicadangkan dan lalu habis terpakai. Astaga! Dan tibalah kita pada bagian tersulit yakni budgeting, sebuah istilah keren yang kerap dipakai orang-orang yang merasa mereka keren di negeri ini untuk menyebut sesuatu yang sebenarnya sederhana yakni menyusun anggaran.
Tak apalah kami memakai istilah budgeting biar usaha ini terlihat bermasa depan cerah, meski saya tak kunjung mengerti apa hubungan antara istilah asing dengan prospek baik sebuah rencana bisnis, tetapi saya merasa istilah ini mungkin akan ikut membantu.
Bertempo-tempo kemudian bisa jadi orang kaya baru dan untuk tempo selanjutnya bisa jadi calon presiden karena saya kaya meski seharusnya sudah sejak lama saya pake behel biar wajah saya berbentuk sedikit baik (eh… yang harus pake behel kan calon presiden yang siapa itu ya?).
(adsbygoogle = window.adsbygoogle || []).push({}); |
Tetapi sebentar… Yang dihitung tadi ternyata hanya harga bahan mentah yang artinya kaos dari konveksi, cat dari toko, kertas kalkir yang harganya saya tanya ke mahasiswa arsitek, ongkos kirim via bukan Kantor Pos agar lebih cepat sampai, tinta, screen dan beberapa equipment lain. Yang terlupakan adalah menghitung ongkos pembuatan desain. Yang terlupakan adalah membayar otak sendiri ketika merancang desain.
Pantaslah akhirnya tadi ditemukan harga jual kaos yang jauh lebih murah dari produksi sejenis yang diproduksi dan dijual pihak lain. Lalu, terjadilah ini. Bagaimana menghitung harga otak kita?
Dua. Berapa gelas kopi dan berapa batang rokok yang dihabiskan untuk membuat satu design? Hitung harganya dan bebankan biaya itu pada tiap lembar kaos yang ditempeli design dimaksud. Itu ongkos kreatif. Ini tentu saja termasuk biaya SMS beberapa teman untuk mendapatkan tambahan ide.
Tiga. Jangan menghitung biaya latihan atau uang sekolah atau kursus ke dalam biaya produksi.
Empat. Berhentilah berpikir asal balik modal, karena mungkin bisnis ini hanya akan berakhir setelah modal yang ditanam itu kembali. Berpikirlah bahwa bisnis ini akan memaksa kita untuk terus kreatif yang artinya harus terus belajar, tetapi sekali lagi jangan memasukkan biaya belajar itu pada harga jual.
Lima. Sebenarnya saya tidak tahu apakah harus ada poin kelima, tetapi berhubung kita hidup di negara yang meletakkan dirinya pada lima dasar Pancasila, dan demi tanggungjawab yang luar biasa itulah saya membuat poin ini sebagai berikut: Jika perlu, jangan lupa jelasin ke konsumen dengan jujur, mengapa menetapkan harga sekian pada produk. Penjelasan yang sederhana dengan wajah yang sederhana mungkin membantu penjualan.
Kira-kira demikian. Dan setelah dihitung, harga jualnya sepertinya akan bersaing dengan produk sejenis yang sudah lama dibuat orang-orang. Mungkin akhirnya saya tidak memberi harga cukup pada kreativitas demi persaingan dan kemajuan bisnis, tetapi saya tetap memberi harga, dan konsumen wajib menanggung itu jika ingin menggunakan produk yang selalu saya rencanakan akan diproduksi itu.
Hanya saja, yang perlu diingat adalah: dalam kerja-kerja kreatif, kau harus disiplin. Jangan memaksakan ongkos produksi pada target minimal. Misalnya seharusnya kau bisa mengerjakan 25 kaos sehari, tetapi karena kau terlambat bangun sehingga hanya menyelesaikan satu kaos, jangan bebankan seluruh biaya produksi ke satu kaos itu. Kasihan pelanggan. Harus menanggung biaya untuk ketidakdisiplinan kita.
Sebuah refleksi yang kemudian membangkitkan kesadaran bahwa gagasan, itu betapa penting untuk dihargai. Walalu sesungguhnya begitu sulit untuk mendapatkanya. Ai mose cee Manggarai pe Mas… hehehehe…
Kata mama, untuk harga ide itu anggap pengorbanan saja di awal. jadi ide itu dgrtiskan dulu. baru setelah terkenal, ide(otak) itu akan berharga dengan sendirinya
Siiiip… tapi saya rasa saya sudah terkenal hahahaha
Itu sudah kae hahahaha. Mose ce Nuca Lale ho'o, mose one lino dokong ho'o hehehe