Linda Tagie mengirim pesan WhatsApp. Isinya adalah rencana baik. Koalisi Seni Indonesia (KSI) berencana melaksanakan Workshop Keaktoran bagi seniman muda di Ruteng.
Ini adalah bagian pertama dari beberapa kisah di balik Workshop Keaktoran yang diselenggarakan Koalisi Seni Indonesia bersama Saeh Go Lino dan OMK Lumen Gratiae Katedral Ruteng. Kegiatan itu dilaksanakan selama dua hari, 13 dan 14 Oktober 2017.
Setiap bagian akan berisi bahasan tentang orang-orang yang terlibat di balik iven menyenangkan ini. Kali ini tentang Linda Tagie. Bagaimana Linda yang tinggal di Kupang itu bisa sampai ke Ruteng?
Begini ceritanya!
Membaca pesan Linda Tagie tentang rencana Koalisi Seni Indonesia itu, kepadanya saya tanyakan apa maksudnya, berapa orang yang harus terlibat, siapa yang menanggung biaya kegiatan, apa yang harus saya lakukan sebagai orang Ruteng. Lalu datanglah jawaban-jawaban pendek.
Maksud: melaksanakan kegiatan yang berhubungan dengan pelatihan/pendampingan seniman muda/kegiatan kesenian di Ruteng; Jumlah: maksimal 30 peserta karena kegiatannya berkonsep workshop; Biaya: Koalisi Seni Indonesia; Yang harus dilakukan: siap menjadi pelaksana kegiatan lokal.
“Pematerinya kita siapkan, Kak” jelas Linda yang dalam agenda ini mewakili KSI dan bukan Dusun Flobamora tempat selama ini dia bergumul. Bergumul? Apa itu? Gumul itu adalah lawan dari kurus. Seperti badannya Dodo, anggota Saeh Go Lino yang kami tunjuk sebagai LO untuk pembicara pada kegiatan ini. Eh?
Siapa Linda Tagie? Dia adalah gadis muda yang saya kenal pertama kali ketika mengikuti kegiatan Festival Sastra Santarang (FSS) di Kupang tahun 2015. Linda yang adalah anggota Komunitas Sastra Dusun Flobamora, penyelenggara festival, dan menjadi panitia di kegiatan itu. Komunitas Sastra Dusun Flobamora adalah salah satu penanda penting dalam perkembangan sastra di NTT.
Balik ke tawaran Linda. Mendapat tawaran pelatihan gratis, dengan senang hati saya menyatakan kesiapan Ruteng. Linda bilang, Koalisi Seni Indonesia ingin mencoba membangun jaringan dengan LG Corner. Di situ kadang saya merasa bersalah. LG Corner yang oleh cukup banyak pegiat sastra dianggap sebagai komunitas, sesungguhnya adalah sebuah rumah/tempat/bangunan yang terletak di pojok barat pelataran parkir paroki Katedral Ruteng, Flores.
LG Corner ‘menjadi’ komunitas karena beberapa waktu lalu ketika saya diundang ke FSS, saya mewakili Taman Baca yang kami bangun di LG Corner Ruteng. Taman Baca LG Corner itu sempat begitu terkenal di bagian awal karena unggahan tentangnya yang bertubi-tubi di media sosial. Dua tahun setelahnya, geliat taman baca itu agak hilang semangat karena alasan yang mungkin akan saya ceritakan pada lain kesempatan.
Meski demikian, sebagai bangunan, LG Corner tetap ada, koleksi bukunya juga tetap ada walau telah berkurang sangat banyak jauh, tetapi juga tidak pernah menjadi komunitas. Dia adalah rumah bersama, tempat semua komunitas muda di Ruteng boleh berkumpul dan melaksanakan berbagai kegiatan kreatif.
Maka ketika Linda bilang bekerja sama dengan LG Corner, dengan sopan saya jelaskan bahwa komunitas kami sesungguhnya bernama Saeh Go Lino. Di dalamnya beberapa anggota OMK LG juga bergabung. Nah, LG itu adalah akronim dari Lumen Gratiae, ‘merk dagang’ dari beberapa kelompok kategorial di Paroki Katedral Ruteng.
Kekeliruan melihat LG Corner sebagai komunitas seni tentu murni karena saya tidak terlampau berapi-api menjelaskan posisi tempat itu ketika FSS 2015 itu. Yang tidak saya pikirkan ketika membiarkan itu terjadi adalah bahwa ternyata anggapan bahwa LG Corner adalah sebuah komunitas seni begitu terekam di benak Linda sehingga ya akhirnya, itu tadi… Kekeliruan yang sama juga membuat saya harus berbusa-busa menjelaskan posisi LG Corner di tulisan ini, padahal seharusnya saya lebih banyak menjelaskan tentang Linda. Benar sudah, kesalahan yang kau biarkan terjadi, hanya akan melahirkan kesalahan lainnya dan sejumlah waktu yang terbuang untuk usaha memerbaikinya.
Agar kesalahan itu tidak berlanjut, kepada Linda sebagai perwakilan KSI saya jelaskan lagi bahwa komunitas kami bernama Saeh Go Lino dan terhadap tawaran KSI, saya menawarkan keterlibatan OMK Lumen Gratiae. Saya pikir itu adalah leraian yang kerap oleh pengamat politik disebut win-win solution. Komunitas Saeh Go Lino dikenal, LG juga tetap terlibat walau kali ini tanpa embel-embel corner.
Lalu, terjadilah peristiwa itu. Workshop Keaktoran untuk seniman-seniman muda di Ruteng. Penyelenggaranya adalah Koalisi Seni Indonesia, bekerja sama dengan Saeh Go Lino dan OMK Lumen Gratiae Katedral Ruteng. Pembicaranya disiapkan oleh KSI, sedangkan peserta, gedung, dan beberapa hal lain disiapkan oleh Saeh Go Lino dan OMK LG.
Tanggal 13 Oktober 2017, jam 10.00 Wita, Linda Tagie tiba di Aula Assumpta Katedral Ruteng. Pada hari pertama (dari dua hari kegiatan), Linda menjelaskan bahwa Koalisi Seni Indonesia yang diwakilinya saat itu adalah sebuah yayasan yang memiliki misi melakukan advokasi kebijakan publik dalam bidang kesenian, mendorong secara aktif terwujudnya infrastruktur yang berkelanjutan, menggalang dan mengelola sumber daya dari berbagai pihak, dan membangun kesadaran serta dukungan publik atas kepentingan kesenian.
Ruteng dipilih sebagai salah satu tempat pelaksanaan kegiatan KSI karena kota ini dipandang memiliki geliat seni dan sastra yang cukup tinggi, terbukti dengan tumbuhnya banyak komunitas seni yang berisi orang-orang muda, termasuk Komunitas Saeh Go Lino di dalamnya.
Pegiat seni yang terkenal dengan lakon monolog berjudul “Perempuan Biasa” ini juga menyampaikan cerita bahwa KSI membuka peluang bagi semua komunitas seni untuk berjejaring dengan KSI. Harapannya adalah agar perkembangan kesenian di Indonesia bagian timur bisa berjalan seiring dengan yang ada di bagian barat,” jelasnya.
Kehadiran Linda Tagie di Ruteng tentu saja sangat menyenangkan. Tidak hanya bagi Dodo, Sintus, Mozakk, dan Gerry tetapi terutama bagi saya. Cerita tentang penampilan monolognya di beberapa kota selalu saya ikuti. Mendapati kenyataan bahwa Linda Tagie telah ada di depan mata, saya–bermodalkan umur yang lebih tua dan jalinan pertemanan yang sekian lama terbangun–menodongnya untuk tampil: pentas monolog. Dia tidak bisa mengelak.
Maka pada penutupan kegiatan itu, Linda tampil. Di panggung nan sederhana, dengan bantuan slide-slide, Linda Tagie menampilkan monolog tentang nasib perempuan. Dia bermain dengan baik, memberi tontonan sekaligus pelajaran tentang olah tubuh kepada penonton yang hadir di Aula Assumpta Ruteng pada malam Minggu yang seksi. “Tanta Linda kuat sekali. Hebat!” Kata Rana, anak perempuan saya yang selalu bersemangat menonton berbagai pentas drama dan teater di Ruteng.
Linda pulang ke Kupang pada hari Minggu pagi. Dodo mengantarnya ke bandara. Saya tidak tahu apakah ada air mata haru pada perpisahan pagi itu di bandara. Linda tidak sempat menikmati keindahan Lingko Cara dengan spider web rice field yang mendunia itu. Dia juga tidak sempat menikmati Ruteng yang berkabut. Tetapi dia akan datang lagi. Paling tidak, itu yang dia janjikan kepada kami semua, janji yang membuat hati Kojek dan Mozakk berbunga-bunga.
Tentu saja saya berharap Linda Tagie dan KSI-nya bisa datang lagi. Banyak pendampingan yang dibutuhkan oleh seniman-seniman muda Ruteng agar semakin baik dari hari ke hari. Agar kesenian benar-benar menjadi medan perjuangan yang dapat dipakai maksimal untuk membuat Nuca Lale ini semakin hebat.
Linda Tagie berutang membawa pemateri lain untuk kegiatan workshop dengan tema lainnya. Oh iya, pada Workshop Keaktoran kali ini, KSI mengutus Abdi Karya, seorang seniman dari Makassar untuk berbagi. Siapa Abdi Karya dan apa yang dia lakukan pada teman-teman saya di Ruteng? Ceritanya akan hadir pada catatan selanjutnya.
Bagian ini kita akhiri sampai di sini, karena anak-anak Saeh Go Lino sedang sibuk melihat foto-foto kegiatan kami sambil sesekali bercerita tentang Lelaki yang Mati dalam Ekaristi, sebuah cerpen Linda Tagie yang mereka baca berulang-ulang di Jurnal Sastra Santarang.
—
17 Oktober 2017
Salam dari Kedutul, Ruteng
Armin Bell
—
Foto: Dokumentasi Panitia Workshop Keaktoran.