Saya selalu percaya bahwa dalam situasi apa pun, kita bisa belajar. Maka itu berarti juga bahwa saya percaya kita bisa belajar dari siapa pun. Sebagai ayah, kita bisa belajar dari anak-anak, sebagai guru dari murid-murid, juga sebaliknya.
|
Dan Bekerjasama | Image: Courtesy of Drama Musikal Ombeng |
Dan Bekerjasama, Belajar dari Usulan Ruben
Mari tinggalkan kamus lama yang seolah mengharuskan mereka yang muda belajar dari yang lebih tua karena faktor pengalaman. Alasan utama ajakan ini adalah karena saya sungguh yakin tidak semua hal telah kau alami dalam hidup ini. Iya to? Berkeliling dunia, mencoba sekian banyak pekerjaan, bergelut di sekian banyak profesi, tidak membuat kita tahu semua hal. Beberapa orang memiliki pengalaman yang tidak pernah kita peroleh. Dari merekalah kita sesekali belajar.
Pada suatu pagi di kesempatan jalan kaki yang jarang bersama istri dan anak perempuan kami, saya bilang, “Rana, apa pun yang kita buat, lakukanlah dengan seni!” Istri saya tertawa, saya juga. Anak kami belum berumur tiga tahun ketika itu. Demikianlah mengapa kami tertawa. Maksudnya, bagaimana mungkin anak umur tiga tahun diajak mengerti pada obrolan seperti itu?
Tetapi selanjutnya kami tertawa lebih terbahak-bahak ketika Rana mengangguk-angguk lalu menyambar kata-kata saya dengan serius dan bilang, “Dan berkeja sama, to Bapa to?” Maksud dia tentu bekerja sama.
Masalah pelafalan kami abaikan karena maksud telah sampai. Persoalannya adalah mengapa kami tertawa terbahak-bahak ketika itu? Mungkin ekspresinya yang lucu. Atau barangkali karena kami tak menduga jawaban itu yang tiba-tiba muncul.
Kami tentu saja akan tertawa juga kalau reaksi Rana adalah: Bapa omong apa? Tetapi: Dan berkeja sama, to Bapa to? Itu adalah sesuatu yang di luar dugaan. Dan adalah di luar dugaan, bahwa tertawa menjelma sebagai jalan keluar atas persoalan yang tak terduga. Itu satu hal.
Hal lain adalah tentang kebenaran yang lugu di balik jawaban yang disampaikan dengan imut dan lucu. Dan bekerja sama. Saya baru ingat tentang hal lain itu hari ini.
Rana telah tiga tahun lebih.
(adsbygoogle = window.adsbygoogle || []).push({}); |
B e k e r j a S a m a.
Tersebutlah seorang anak yang mendapat kasih sayang lebih dari ayahnya dibandingkan dengan apa yang didapat oleh saudara-saudaranya. Nama anak yang mendapat kasih sayang lebih itu Yusuf. Pada kisah yang sama disebutkan Yusuf adalah seorang anak dengan karunia meramal melalui mimpi. Mungkin ini yang membuatnya dikasihi lebih, sesuatu yang seharusnya disadari sebagai alasan munculnya rasa cemburu dari saudara-saudara Yusuf.
Bekerjasamalah mereka, saudara-saudara Yusuf, merancang cara menghilangkan Yusuf sebagai pernyataan kepada ayah mereka bahwa mengasihi seorang anak lebih dibanding anak-anak yang lain adalah salah. Mereka mulai dari rencana membunuh
Yusuf, berpindah ke jalan yang lebih lembut yang diusulkan oleh seorang saudara bernama Ruben yakni: Janganlah kita bunuh dia! Janganlah kita tumpahkan darah. Lemparkanlah dia ke dalam sumur yang ada di padang gurun ini, tetapi janganlah apa-apakan dia!
Kisah yang sama menuturkan bahwa kalimat Ruben adalah bentuk pengalihan kemarahan kolektif. Dirinya berniat mengembalikan Yusuf ke ayah mereka. Ruben memilih diplomasi pada situasi yang panas, tidak dengan menantang tetapi menawarkan alternatif lain; Yusuf harus hilang tetapi tidak mesti dengan kematian. Si pemimpi yang mendapat kasih sayang lebih ini pada bagian selanjutnya beruntung karena tidak menghuni sumur. Ada situasi lain yang membuatnya akhirnya dijual saudara-saudaranya kepada seorang pedagang.
Teks kuno ini tak sepenuhnya berhubungan dengan tanggapan Rana: Dan bekerjasama. Tetapi hubungan tidak harus penuh, mungkin. Maka bekerjasama juga tidak harus penuh pada beberapa hal.
Baca juga: Televisi 14 Inci
Saya menduga, Ruben seperti juga saudara-saudaranya yang lain tentu saja tidak nyaman dengan perbedaan perlakukan dalam keluarga. Yusuf harus diberi ‘pelajaran’ meski alasannya bukan untuk sesuatu yang dia lakukan. Ruben sepakat. Tetapi (masih dugaan saya berdasarkan resepsi pada kisah itu) pelajaran seharusnya tidak berujung pada kematian tetapi pada proses belajar agar menjadi lebih baik.
Rhoma Irama baru saja mengejutkan Indonesia–sekali lagi setelah menyatakan mencalonkan diri dari Presiden–dengan gelar Profesor yang telah diterimanya beberapa tahun silam tetapi baru diketahui hari-hari ini. Profesor Rhoma Irama. Diperolehnya gelar itu dari American University of Hawaii tahun 2005 silam. Beberapa orang ‘tak rela’ dan lalu begadang dalam perjudian mengajak kerjasama Indonesia untuk mabuk dalam ketakrelaan yang sama.
Sayang, tidak
ada Ruben yang membelokkan penolakan itu dengan alternatif lain: menyodorkan alasan kepada American University of Hawaii bahwa mereka salah ‘menamai’ Bang Haji sebagai Profesor? Depdiknas pada tahun 2005 juga tidak berniat me-Ruben. Mereka hanya menyebut gelar Bang Haji itu sebagai sesuatu yang tidak pantas. Dasarnya adalah undang-undang ‘milik Indonesia’. Saya sih agak heran; universitas pemberi gelar kan tidak ada di bawah undang-undang Indonesia?
Seorang filsuf bernama Karl Raimund Popper menawarkan Falsifikasi. Karl Popper adalah filsuf asal Austria (1902 – 1994). Falsifikasi Karl Popper bermaksud: Fokus penelitian sains bukanlah pembuktian positif, namun pembuktian negatif.
Falsifikasi artinya fokus penelitian adalah untuk membuktikan bahwa suatu teori umum adalah salah dengan menyodorkan sebuah bukti yang membuktikan bahwa ia salah. Bukan verifikasi.
(adsbygoogle = window.adsbygoogle || []).push({}); |
Mungkin memang harus ada Ruben. Pemuda ini melihat bahwa kebenaran umum yang dikumpulkan melalui kerjasama yakni membunuh Yusuf itu salah. Dia tidak berniat melakukan falsifikasi ketika itu. Tetapi tawarannya membuang Yusuf ke sumur dapatlah kiranya dalam pembacaan pribadi, saya anggap sebagai falsifikasi.
Baca juga: Samar – Cerpen di Gita Sang Surya
Bertahun-tahun kemudian Ruben bersama saudara-saudaranya diselamatkan oleh Yusuf yang ketika itu sudah menjadi makmur di Mesir. Israel sedang kelaparan, Yusuf mengundang saudara-saudaranya mengungsi ke negeri barunya.
Mengingat lagi jalan-jalan pagi kami yang manis dan jarang, saya pikir sudah waktunya saya belajar melakukan apapun dengan berkesenian dan bekerjasama dan boleh berbeda.
PS: Kisah Yusuf dan Ruben bersama saudara-saudaranya bisa dilihat di Kitab Keluaran, 37:1-36.