Mirah Mini – Hidupmu, Keajaibanmu adalah salah satu buku anak terbaik yang pernah kami baca. Buku yang menyenangkan!
19 November 2020
Kenapa Mirah Mini – Hidupmu, Keajaibanmu adalah buku anak yang baik sekali? Tulisan ini sesungguhnya sudah lama ada, bahkan sebelumnya pernah disiarkan di blog saya yang lain. Blog itu kini ‘dimatikan’ sebab mengelola dua blog seorang diri ternyata sungguh sulit.
Buku anak yang baik adalah buku yang mengantarkan dan berangkat dari kacamata anak. Buku anak (sastra anak) adalah buku yang menempatkan sudut pandang anak sebagai pusat cerita. Dua pengertian tersebut dapat diakses di buku Sastra Anak karangan Burhan Nugriyanto (2010).
Hanya dengan dua pengertian itu saja, dapatlah disimpulkan bahwa Mirah Mini – Hidupmu, Keajaibanmu (selanjutnya Mirah Mini) karya Nukila Amal adalah buku anak, dan merupakan buku anak yang baik. Buku setebal 47 halaman (hardcover) itu diterbitkan pada November 2012 oleh Masyarakat Cipta Indonesia.
Buku ini berisi satu cerita, tentang Mirah Mini dan caranya melihat dunia, yang disajikan dalam dua bahasa, dilengkapi dengan lukisan-lukisan karya Hanafi. Membaca buku ini membawa kita, orang tua dan anak, pada beberapa hal baik sekaligus.
Nukila Amal membantu orang tua mengenal (kembali) hal-hal yang berhubungan dengan dunia dan tumbuh kembang anak. Melalui Mirah Mini, Nukila membantu anak percaya pada kehebatan imajinasi, membentuk empati, mengasihi sesama-lingkungan-alam ciptaan.
Pertama, kehebatan imajinasi. Apa yang seorang anak lakukan ketika dia bersedih, kesepian, atau sedang bermain sendiri? Rana, anak kami mengajak teman-teman imajinernya menemaninya.
“Enu bikin apa?” tanya saya suatu ketika.
“Main dengan teman,” jawab Rana lalu meneruskan dialognya dengan seseorang atau sesuatu di kepalanya, menidurkan boneka lalu meminta seseorang atau sesuatu itu membantunya membuatkan susu. Rana selalu tersenyum sepanjang proses itu. Bahagia.
Maka saya lalu mengerti ketika Mirah memegang erat tangan tapirnya pada suatu ketika. Saat itu Mirah Mini bersedih karena orang-orang dewasa tidak ‘mengakui’ Tapir. Atau ketika Mirah mengagumi bulan yang mengikuti kita–rasa kagum yang dimilik setiap anak.
Bulan di luar jendela mobil, ikut sepanjang jalan pulang dari restoran sampai rumah. Ajaib betul… (hal. 31).
Kedua, membentuk empati. Dalam Mirah Mini, Mirah belajar membangun empati; proses yang tidak bisa diajarkan melalui teori-teori, tetapi dikondisikan agar tumbuh dari dalam diri seseorang. Mirah berhasil membangun empatinya setelah mendengar cerita Mama.
Kata mama, tapir adalah hewan langka. Jumlah mereka tidak banyak, sebab pohon-pohon di huta semakin habis ditebang (hal. 16). Kasihan Tapir, keluarga dan teman-temannya berkurang, terus berkurang, dan berkurang… (hal. 18)
Struktur cerita yang dituturkan Mama membuat Mirah belajar tentang hubungan sebab akibat (rantai lingkungan), yang membuatnya mampu membentuk atau membangun empati. Tapir telah langka, teman-temannya berkurang, dan Mirah memutuskan ‘mengangkat’ seekor tapir yang bernama Tapir sebagai temannya.
Nukila dengan jelas menawarkan kembali ingatan pada konsep pendidikan: anak belajar dari rumahnya–dikenal dengan istilah pendidikan keluarga. Menurut Hasan Langgulung dalam Manusia dan Pendidikan, Analisis Psikologi dan Pendidikan (1986) ada enam bidang pendidikan yang dapat dikembangkan oleh orang tua, yaitu pendidikan jasmani, kesehatan akal (intelektual), psikologi dan emosi, agama dan spiritual, akhlak, serta sosial.
Ketiga, mengasihi sesama-lingkungan-alam ciptaan. Melalui Tapir, teman imajinernya yang kehilangan hutan dan teman-teman bermain, Mirah belajar mengasihi.
“Tapir boleh tinggal di rumah kita. Semua tapir boleh.” Aku bilang pada mama. “Mereka sedikit sama sekali, semua akan muat di dalam rumah.” (hal. 21).
Pada bagian ini saya menjadi mengerti mengapa banyak anak yang ingin mengajak orang-orang yang tidak punya rumah untuk tinggal bersama mereka. Suatu ketika Rana bertanya, “Kenapa kita tidak ajak dia tinggal di kita punya rumah saja, Mama?” Saat itu mereka baru saja selesai mengantar makanan pada seorang dengan gangguan jiwa yang tidur di emperan toko dekat rumah kami.
Berada dalam peristiwa serupa itu, penjelasan yang baik dan tepat adalah hal yang harus dilakukan agar anak-anak mengerti. “Dia punya rumah, Nak. Tetapi dia mungkin senang tidur di situ. Ada beberapa orang yang senang begitu. Seperti Kaka Rana senang tidur di sofa. Iya, to?”
Baca juga: Cerita Rana – Petir
Secara keseluruhan, buku anak Mirah Mini karangan Nukila Amal ini bercerita tentang anak kecil berumur lima tahun yang takjub pada segala hal. Dialog mama-anak membangun seluruh cerita. Nukila menempatkan mama sebagai ideal orang-orang dewasa yang barangkali kerap dibingungkan oleh alur pikir anak-anak mereka.
Bagaimana merumuskan jawaban terbaik agar anak-anak dapat tumbuh dengan baik adalah sebenar-benarnya tugas orang tua. Meski demikian, pada beberapa bagian, orang tua harus tetap membiarkan anak menemukan jawabannya sendiri. Mirah tidak menceritakan apakah kemudian dia diizinkan mengajak semua tapir tinggal di rumah mereka. Mama tidak memberi jawaban. Juga tidak menghakimi pendapat anaknya.
Tetapi mama menjawab dengan baik ketika Mirah bertanya tentang mengapa orang-orang dewasa tidak takjub pada semua hal.
“Mungkin karena sudah sering lihat. Yang ajaib, yang luar biasa, lalu tampak biasa saja.” (hal. 38). “Hidupmu, keajaibanmu.” (hal 42).
Meski menjadi salah satu buku favorit saya, karena ditulis dalam dua bahasa dengan diksi yang sama-sama hebatnya pada teks Indonesia dan Inggris, dan karena lukisan-lukisan Hanafi yang ajaib, namun karena lukisan itu juga, pada sebagian besar pembaca anak yang terbiasa dengan gambar kartun, karakter boneka, dan lain-lain yang (terasa) lebih nyata, gambar-gambar ilustrasi dalam buku ini agak sulit diakses. Atau justru sangat baik untuk imajinasi? Entahlah.
Hal lain adalah bahwa untuk dapat mengakses buku ini, bagi pembaca di pedesaan di Indonesia, akan dibutuhkan narasi lain untuk kesamaan skemata. Restoran, berjalan pada malam hari menggunakan mobil dan melihat bulan dari kaca jendela, dan bahkan tapir sendiri, adalah hal-hal di luar jangkauan anak desa. Bahkan juga orang tuanya.
Baca juga: Cerita Rana – Benda Kesayangan
Selebihnya, Mirah Mini adalah salah satu cerita anak terbaik–merujuk penempatan sudut pandang anak dalam membangun cerita–yang ada di Indonesia. Rana dan Lino menyukainya. Lino senang dan meminta buku ini dibacakan menjelang tidur malamnya. Buku ini layak mendapat 4,5 dari lima bintang maksimal.
Lino baru dua tahun lebih dan selalu bertanya: kenapa dia, siapa, kenapa, dan apa, pada hal-hal yang sesungguhnya tidak benar-benar tepat konteks. Jika sudah begitu, pekerjaan membacakan cerita menjadi panjang karena harus diselingi dengan bermain, menjelaskan hal lain, menunjuk sana-sini tanpa arah; hal-hal yang membuat seluruh proses terasa menyenangkan. Sudah baca cerita apa untuk anak Anda hari ini?
–
Salam dari Kedutul, Ruteng
Armin Bell
—
Yang sudah pernah baca Mirah Mini, boleh berbagi pengalaman membacanya di kolom komentar ya.
pinjam nanti e
Siaaaaap…