Di masa seperti sekarang ini, hari-hari politik, beberapa aktivis akan sering tampil di linimasa kita. Menawarkan perubahan dengan wajah lama. Aktivis juga manusia.
Ruteng, 19 November 2018
Ketika pertama kali mendengar kasus hoax yang melibatkan seniman dan aktivis Ratna Sarumpaet, saya sempat menduga bahwa Bu Ratna baru saja selesai membaca buku Tanah Air yang Hilang.
Di buku itu, Martin Aleida menulis hasil wawancaranya dengan beberapa aktivis di era Sukarno. Yang kehilangan bangsanya. Bangsa Indonesia. Bagi sebagian pembaca, kisah-kisah dalam buku itu tentu saja mencengangkan; negara mencabut hak anak-anaknya sendiri pulang ke tanah air. Tetapi bagi yang lain, kisah-kisah yang ditulis Martin Aleida di sana akan mengingatkan mereka pada cerita-cerita lainnya.
Membaca satu kisah di buku itu, saya langsung membayangkan kecantikan Lintang Utara di novel Pulang karangan Leila S. Chudori. Juga tentang ayahnya yang rindu pada bau tanah selepas hujan di Karet, setelah sekian lama mengganti identitasnya sebagai orang Prancis. Ayah Lintang adalah aktivis yang kehilangan kewarganegaraan Indonesia menyusul gonjang-ganjing politik sekitar tahun 1965.
Baca juga: Novel Pulang karya Leila S. Chudori, Melawan Lupa
Kisah lain yang mirip juga ada di Larung. Di novel itu, Ayu Utami menggambarkannya dengan sangat dramatis. Ada aktivis (tahun 1998) yang terpaksa dilarikan ke luar negeri agar tidak hilang. Belakangan saya menduga, lelaki yang ditulis Ayu itu sesungguhnya sudah kembali. Jadi orang partai. Namanya Pius Lustrilanang. Atau? Namanya juga dugaan. Bisa saja salah.
Seperti ketika saya menduga bahwa Ratna Sarumpaet baru saja membaca buku Om Martin tadi. Bu Ratna mungkin belum membacanya, tetapi kisah-kisah tentang aktivis yang mengalami kekerasan dia tahu dari riset. Tentu saja Ratna Sarumpaet sering melakukan riset. Jika tidak, bagaimana dia bisa menulis sejumlah naskah yang bagus? Ingat! Ratna Sarumpaet adalah penulis naskah sekaligus sutradara teater. Kisah Marsinah pernah dipentaskannya. Marsinah, aktivis buruh yang dibunuh itu. Juga kisah-kisah heroik lainnya.
Atas hasil interaksinya dengan riset-riset itu, Ratna meyakini bahwa aktivis barulah aktivis kalau dikasari negara. Entah bagaimana, keyakinan itu selanjutnya tumbuh menjadi obsesi. Wow! Karena itulah Ratna mengarang cerita itu. Kebetulan dapat momen yang tepat. Beberapa saat setelah operasi plastik, wajahnya bengkak-bengkak. Mirip korban pemukulan. Pas sudah!
Wajah bengkak ini akan menjadi gerbang ke kesahihan saya sebagai aktivis. Tinggal karang cerita, sebar ke media daring pemburu klik, akan ada pihak yang diserang. Syukur-syukur kalau itu adalah pemerintah. Barangkali begitu pikirnya. Pikiran macam apa itu? Para aktivis dalam arti sebenar-benarnya pasti terluka sekali.
Baca juga: Ratna Sarumpaet, dari Seniman ke Aktivis ke Bandung dan Dipermalukan Generasi Z
Tetapi perkiraan Ratna tepat. Sebagai sutradara teater, dia tidak mengalami kesulitan berperan sebagai korban di depan kamera. Serentak kabar tentangnya menyebar. Ungkapan iba datang dari berbagai kalangan. Juga dari politisi senior asal NTT, Benny K. Harman, yang menyampaikan kemungkinan tentang mengapa negara diam pada kasus pemukulan Ratna.
Di Twitter dia menulis tiga kemungkinan itu dalam satu cuitan. Termasuk menduga bahwa Ratna dipukuli preman-preman Presiden Jokowi. Ckckckck… Di kemudian hari, setelah Ratna bercerita bahwa kisah heboh itu adalah karangan belaka, politisi kami ini menyesal. Di Twitter, beliau bilang bahwa dia masih berpikir Ratna adalah aktivis tetapi ternyata sudah tidak lagi. Menyesal kemudian tidak berguna, Om!
Tetapi sekarang saya yang kesal. Apakah menjadi aktivis itu ada masa berlakunya? Kalau benar Ratna dipukuli, apakah itu karena dia aktivis? Astagaaa. Ada apa dengan obsesi kekerasan ini? Haissss….
Baca juga: Hamka, Cinta Kami Sering Kandas
Saya kira, bahaya terbesar dari para aktivis zaman now adalah menyiapkan skenario bahwa dirinya akan dikasari negara. Ketika negara tak kunjung kasar, skenario itu lalu dimainkan sendiri agar negara dapat dituding. Kan uaseeem itu namanya.
Mereka harusnya tahu bahwa di era yang sangat terbuka ini, akan semakin sedikit jumlah kekerasan fisik pada aktivis. Yang paling mungkin hanyalah pengabaian. Seperti diabaikannya begitu saja kematian pemilik lahan di Sumba, atau di beberapa tempat lainnya.
Yang mengabaikannya adalah wakil-wakil mereka yang dulu aktivis dan sekarang jadi anggota dewan. Yang ketika kampanye mengaku akan berjuang untuk rakyat kecil dan ketika terpilih menjadi pejuang untuk kelompok kecil. Yang jurkamnya adalah mantan aktivis mahasiswa juga. Kadang, aktivisme bisa selucu itu.
Jadi begitu. Aktivis juga manusia. Mereka berhak tampil sangat lucu. Pilihan ada di tangan kita. Mau pilih aktivis yang jadi politisi dan menjadi lucu, atau yang aktivis dan mengerjakan ide-idenya dengan sungguh-sungguh. Demikian.
–
Salam dari Kedutul, Ruteng
Armin Bell
–
Gambar dari Islami.co