Dari Tablo Kisah Sengsara Yesus Hingga Anugerah Sastra Litera 2017

Ada banyak hal yang terjadi selama sekitar dua bulan terakhir, mulai dari saya menyutradarai Tablo Kisah Sengsara Yesus di Ruteng sampai ke kisah saya menerima Anugerah Sastra Litera 2017. Ini dia rangkumannya.

dari tablo kisah sengsara yesus hingga anugerah sastra litera 2017
Persiapan pindah rumah, menggambar partisi | Foto: Ngaso Art, Ruteng

Dari Tablo Kisah Sengsara Yesus Hingga Anugerah Sastra Litera 2017

Masa dua bulan yang saya maksudkan adalah periode April hingga Mei, di mana saya tidak lagi serajin Maret dan bulan-bulan sebelumnya dalam hal blogging. Saya meliburkan diri dari blog (atau terpaksa libur?) karena cukup banyak alasan.

Berhubung dunia telah penuh dengan alasan sehingga agak sulit memutuskan mana alasan yang benar dan mana alasan yang asal alasan, saya tidak akan memaparkan pada tulisan ini tentang alasan saya meliburkan diri dari aktivitas blogging.

Yang pasti adalah bahwa pada masa dua bulan itu ada banyak peristiwa menarik yang saya alami. Peristiwa itu saya rangkum dalam satu postingan saja sebagai usaha mengejar kereta blog yang berlalu terus cie cieee… Bahwa ternyata setelah selesai membaca tulisan ini kawan-kawan berhasil menemukan alasan saya berlibur dari dunia blog, percayalah, peristiwa itu hanya kebetulah semata #ehm

Berikut kisah-kisah itu:

Tablo Kisah Sengsara Yesus dan Pertemuan dengan Orang-orang

Saya kembali menyutradarai menyutradarai pentas tablo Kisah Sengsara Yesus di Katedral Ruteng. Tablo itu mempertemukan saya dengan sangat banyak orang yang akhirnya menjadi penting dalam pergumulan (mammamia, ini istilah pergumulan e, aeh…) beberapa waktu terakhir dan semoga seterusnya.

Sesungguhnya saya tidak berniat melaksanakan proyek kesenian apa pun di 2017. Ada dua hal penting yang harus saya lakukan tahun ini dalam hubungannya dengan dunia kreatif, yaitu: mengurus blog ini dan menerbitkan kumcer “Perjalanan Mencari Ayam”.

Hanya saja, kita boleh berencana tetapi beberapa bagian hidup berjalan di luar rencana dan ternyata berakibat baik sekali. Salah satunya adalah tentang saya kembali menangani tablo yang dibawakan oleh OMK Lumen Gratiae Katedral Ruteng. Di luar rencana, tetapi berjalan dengan hebat. Begitu hebatnya sehingga di akun facebook tentang pertemuan dengan orang-orang.

Begini! Bagaimana kau bertemu orang-orang adalah rahasia semesta. Tiba-tiba saja kita telah bersahabat dengan orang baru, bercanda, minum kopi–sesekali sopi, dan menjahit baju untuk kostum pentas. Saya tidak pernah menduga bahwa di pekan suci tahun ini saya akan bertemu dengan seorang lelaki bertattoo yang bisa menjahit.

Baca juga: Gratitude Box, Seribu Sehari Cukup

Paskah sebelumnya saya bertemu lelaki bertattoo yang kemudian ‘menjadi’ Yesus. Pada hari-hari yang lain saya bertemu tukang tattoo yang tidak merokok dan tidak ‘minum’. Ada juga yang tidak bertattoo yang saya temui–karena mereka takut jarum, atau yang tattoonya setengah jadi sehingga saya bingung itu tattoo Dewa 19 atau tattoo ‘rencananya’ Dewa 19. Juga yang tattoo salib tapi salibnya tidak simetris–lupa pakai mistar saat polanya dibuat.

Pokoknya, sampai Paskah tahun ini saya merasa telah bertemu banyak orang. Kita semua tentu begitu. Hanya saja yang saya temui dan sekarang jadi teman-teman saya adalah yang tidak pernah saya bayangkan; orang-orang yang cerita tentang mereka yang saya dengar sebelumnya kurang sedap.

BACA JUGA
Kumcer Iksaka Banu "Semua untuk Hindia", Sebuah Tanggapan Pembaca
(adsbygoogle = window.adsbygoogle || []).push({});

“Sebaiknya jangan berteman dengan mereka. Beda level!” Itu adalah sebagian kalimat yang pernah saya dengar. Kalimat lain adalah peringatan untuk hati-hati, atau pertanyaan, “Apa untungnya berteman dengan orang-orang itu?”

Sejujurnya, saya tidak pernah berpikir bahwa berteman harus cari untung. Kalau berniat cari untung, saya akan dagang minyak kelapa atau jadi calo proyek. Berteman itu artinya berteman, bukan? Bertattoo atau tidak, minum sopi atau kopi, bajingan atau orang baik-baik, kalau sudah ‘dipertemukan’, ya berteman suda to? Syarat utama pertemanan cuma satu: respect! Tidak peduli seburuk apa dia di mata orang lain, kalau itu temanmu, hargai dia.

Saya selalu menyukai Paskah; tentang bagaimana Yesus mendoakan semua orang, juga musuhnya–bahwa kadang teman kita ‘kurang sehat tingkah lakunya’, dia hanya sedang tidak tahu apa yang dia perbuat. Kalau dia tahu bahwa itu salah, dia tidak mungkin buat. Iya, to?

Setiap Paskah di Ruteng, saya selalu dapat teman baru. Semoga setelahnya kami akan terus berteman tanpa niat membuat mereka menjadi serupa dengan kita. Karena kalau begitu, kita hanya bisa berteman dengan diri sendiri.

Setelah paskah tahun ini, sebagian dari teman-teman saya membantu saya menyiapkan kontrakan baru kami. Ada juga rencana memproduksi beberapa karya bersama. Catatan ini untuk mereka; teman-teman saya yang agak aneh tapi enak. Tentang level, apa itu? Angka setelah six sebelum eight? Atau anak yang sering
menangis? Atau?

Pindah Rumah

Dan kami akhirnya pindah kontrakan. Ini sesungguhnya sebab utama mengapa saya melupakan blog ini. Sibuk itu pindah-pindah e, Bro. Kalau tir percaya, silakan tanya sap anak istri.

Terima kasih untuk tukang dadakan, tukang sungguhan, montir, ahli cat, ahli angkut, ahli geri-geri, pemilik oto, penjual sayur, pembuat asbak, ahli plastik, ahli kaleng, ahli yang tidak ahli, pemilik toko, pemilik ban bekas, dan semesta.

Proses pindah kontrakan kami sudah beres. Saya, Celestin, Rana, Lino, dan kakak-kakaknya bukan lagi anak nol kilometer. Kami pulang ke Kedutul, tempat saya dan istri dulu bertetangga ketika remaja tetapi tak saling kenal.

Pasti akan menyenangkan di lingkungan ini, seperti juga kami senang ketika dulu tinggal ruko. Klinik gigi istri saya juga pindah kontrakan baru ini: gang kedua rumah sakit. Ada ruang kecil tempat para seniman-seniman muda-sehat-segar-bugar-anger berkarya.

Dari Kedutul, di bawah bendera Ngaso Art – We Can Create New You, kami berencana bikin ini Ruteng jadi kota yang gemar mengolah bahan bekas menjadi bahan bekas lainnya #eh.

Baca juga: Ivan Nestorman dan Konser Setelah Badai

Ahok Dihukum, Indonesia Menyalakan Lilin

Ini peristiwa paling besar. Sesungguhnya saya malas membicarakannya karena terasa menyedihkan. Pembicaraan tentang sesuatu yang menyedihkan hanya akan menghadirkan tangis dan menghilangkan energi, padahal saya lagi butuh energi baru untuk segera menerbitkan Kumcer “Perjalanan Mencari Ayam”.

BACA JUGA
Menjadi Batu Akik

Tetapi peristiwa itu terlalu besar untuk diabaikan begitu saja dengan alasan emosional dan rasa ingat diri semata. Maka bersama beberapa teman Ngaso Art – We Provide Everything You Need in A Different Way, di bengkel jadi-jadian kami, percakapan tentang karya sejenak hilang.

Ini gara-gara Adie MS. Suami Memes itu pimpin koor di Jakarta, yang hadir adalah orang-orang yang ingin merawat NKRI, dan yang paling penting adalah salah satu lagu yang berkumandang adalah komposisi favorit saya–you know what.

Percakapan tentang bangsa yang ‘mengherankan’ menjadi topik utama. Ada Nathan, Mojak, Sintus, Ando, dan Fensi bersama saya. “WHAT?” Itu kata yang sering muncul pertanda kami begitu heran. Heran pertama adalah bawaan kemarin, tentang Ahok dipenjara. Heran kedua adalah tentang bagaimana Adie MS pimpin koor masal; yang nyanyi adalah orang-orang yang mencintai Ahok dan Indonesia. Rasanya belum pernah kami menyaksikan ada cinta semasal itu di negeri ini.

Saya bilang, “Kalau sakit hati, balas di Pemilu. Siapa saja calon legislatif yang diusung oleh partai yang bla bla bla Ahok, jangan dipilih.” Entah mereka setuju atau tidak, saya akan tetap ceritakan sikap personal ini pada siapa saja.

Setelah memutuskan sikap pribadi itu, di televisi saya melihat GM marah-marah. Dia menyebut kata munafik di akhir wawancaranya. Menurutnya, ini tidak pernah tentang agama. Ini politik. Apakah ada bedanya?

Di negeri yang semua terasa samar. Yang tersisa adalah ruang di masing-masing hati: apakah ikut tergetar dengan cinta sebesar yang kita lihat hari ini? Your heart never lie, it’s a brain’s job. And your pocket too.

Saya dari NTT. Tidak sedang bicara tentang Jakarta tetapi tentang Indonesia. Silakan bilang saya sok ngurusin Jakarta dan lupa tentang NTT. Fine. Masalahnya, kalau orang seperti Ahok ‘dihentikan’, seluruh negeri akan kehilangan contoh–sesuatu yang sangat darurat dibutuhkan NTT. Kelak kepada generasi baru, saya akan ceritakan pentingnya resonansi rayuan pulau kelapa.

(adsbygoogle = window.adsbygoogle || []).push({});

Anugerah Sastra Litera 2017

Tahun lalu saya mengirim satu cerpen untuk dimuat di portal sastra litera.co.id . Eh, dimuat. Judulnya “Orang-orang Tercinta”. Tentang orang yang begitulah…. Lalu saya ditelepon salah seorang editornya yang bilang bahwa cerpen itu masuk dalam nominasi penghargaan sastra tahun ini. Saya kaget tetapi senang. Atau senang tetapi kaget?

Lalu ada berita di beberapa portal tentang kisah itu, bahwa nama saya ada di daftar nominasi nasional. Ucapan selamat berdatangan padahal pengumuman masih cukup lama dan saya tidak tahu apakah akan menang. Saya kaget tetapi senang. Atau senang tetapi kaget?

Bagaimana cerpen saya bisa menjadi salah satu nominasi adalah sesuatu yang tidak saya ketahui. Cerpen Orang-orang Tercinta saya tulis setelah mendapat penjelasan yang menyenangkan, sederhana, mudah dimengerti, tanpa istilah yang ribet dari seorang dokter.

Dokter itu namanya Ronald. Menjelaskan tentang gejala minor dan mayor yang dapat dilihat dari seorang yang menderita sakit jiwa. Pokoknya begitu. Lalu saya menulis cerpen itu, merendamnya selama kurang lebih setahun, menyuntingnya kembali dan mengirimnya dengan berani ke litera.

Lama tak ada kabar, saya pikir cerpen itu tidak lolos. Saya lalu sibuk dengan kegiatan lain ketika di dinding facebook, sebuah postingan menuntun saya ke portal litera, lalu mendapati bahwa cerpen saya sudah ada di situ seminggu sebelumnya. Lalu begitu. Saya share, ada yang baca, terus begitu. Setahun kemudian datanglah telepon itu. Kabar saya masuk nominasi.

BACA JUGA
"Angkatlah Batu Itu!", Renungan Tobat RD Lian Angkur

Pada hari pengumuman, saya tidak sempat melihat litera.co.id. Sedang libur paket data. Satu atau dua hari setelahnya, bermodalkan wi-fi istri, saya mampir ke litera dan nama saya ada di daftar pemenang. Alfabetikal tampaknya, karena nama saya berhuruf awal “A” dan ada di nomor satu sebagai pemenang Penulis Cerpen Terpuji.

Yang ikut mendukung ajang itu tidak main-main. Djarum Foundation yang terkenal dengan program-program beasiswanya dan Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan melalui Badan Pembinaan dan Pengembangan Bahasa.

Bangga? Tentu saja. Plus khawatir. Akan jadi apa saya setelah penghargaan macam ini? Tahun 2013 silam saya mengidap kekhawatiran yang sama ketika diumumkan sebagai salah satu pemenang prospektif pada ajang Lomba Menulis Cerpen Obor Award LMCOA 2013. Am I a good writer?

Jawaban atas pertanyaan itu bernama harapan: semoga saya akan menjadi penulis yang baik. Dalam hal ini, kritik, saran, dan berbagai bentuk apresiasi lain akan sangat baik untuk perkembangan saya di dunia pada hari-hari yang akan datang.

Lalu saya menerima hadiah. Sebuah bukti terbit buku kumpulan cerpen dan puisi pilihan litera berjudul Seutas Tali Segelas Anggur tiba di Ruteng. Saya senang. Nama saya tertulis di sana demikian: “Penulis: Armin Bell, Budi Setiawan, Dedy Tri Riyadi, dkk.” Juga ada sertifikat atas hasil yang saya raih di ajang itu. Itu sudah.

Pada hari saya menerima bukti terbit dan sertifikat itu, Rana meraih juara pertama pada ajang lomba bercerita antar murid TK se-Kabupaten Manggarai. Saya senang bukan main.

Dan Lain-lain

Sampai di bagian ini saya mendapati kenyataan bahwa pada masa saya melupakan blog, peristiwa-peristiwa yang terdapat saya di dalamnya cukup banyak. Tidak muat dalam satu postingan. Mungkin akan saya ceritakan pada kesempatan lain di sini, atau akan saya ceritakan live ketika kita bertemu.

Mengapa akan saya ceritakan? Karena cerita adalah kebutuhan dasar manusia seperti pada makanan, minuman, dan senyuman kekasih #eh.

Salam
Armin Bell
Ruteng, Flores


PS: Jika benar diperhatikan, maka pada tulisan ini ditemukan dua slogan yang berbeda soal Ngaso Art. Apakah terjadi kekeliruan pengetikan tagline? Tidak. Sepertinya tidak hanya dua, tagline Ngaso Art, Ruteng akan sangat banyak seiring berjalannya waktu *smile.

Bagikan ke:

5 Comments

  1. Pencapaian yg luar biasa,pak armin.. semoga pencapaian ini tdk buat ite cepat puas (sa yakin tidak).. maafkan krn br beberapa hari lalu saya temukan blog ini…shg semua artikel ini br saya baca satu2.dan rasanya blm lengkap klo sa tir kasi komen.. hehehehe…selamat!..tabe..

  2. Sebuah kehormatan bahwa blog ini dikunjungi berkali-kali dan mendapat komentar. Saya makin semangat menulis. Doakan buku kumpulan cerpen saya segera terbit #eh malah numpang promo. Still on progress, judulnya: “Perjalanan Mencari Ayam”.

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *