Kenapa orang harus menyampaikan kritik? Karena kalau ditahan dia akan keluar sesekali seperti pecu lempok, kentut yang sudah setengah mati ditahan tetapi akhirnya lolos juga.
Kalau pecu atau kentut kita lolos alias lempok di tengah orang banyak, kita akan malu. Malu setengah mati (juga). Tetapi kalau dia lolos di ruang privat, there’s the place it belongs. Eh? Kenapa paragraf pertama tulisan ini malah bercerita tentang pecu lempok? Bukankah kita seharusnya bicara perihal kritik?
Kritik …
Kita tentu saja akrab dengan kritik. Kritik adalah masalah penganalisaan dan pengevaluasian sesuatu dengan tujuan untuk meningkatkan pemahaman, memperluas apresiasi, atau membantu memperbaiki pekerjaan. Intensinya yang mulia itu membuat kritik mendapat tempat di mana saja, kapan saja, oleh siapa saja.
Harus diakui bahwa pada masa-masa khusus, kritik dipakai sesuka hati untuk menjatuhkan orang lain. Tetapi itu soal lain, karena sekarang saya hanya sedang ingin menulis tentang 10 situasi yang terjadi saat orang menyampaikan kritik. 10 situasi ini saya buat berdasarkan hasil pengamatan sesuka hati pada (sebut saja) fenomena kritik yang mendadak populer.
Berikut hasilnya:
Pertama: Kita menyampaikan kritik karena tahu sesuatu sedang berjalan tidak semestinya.
Ini adalah alasan paling umum. Seseorang akan menyampaikan kritik ketika dalam pengamatannya beberapa hal berjalan di luar kendali. Contoh: Sampah bertebaran di kota padahal sampah harusnya ada di tempat sampah. Maka kritik perlu disampaikan.
Kedua: Kita berharap yang dikritik akan berubah, minimal memulainya dari tahap kesadaran.
Kritik selalu disampaikan dengan tujuan terciptanya perubahan. Perubahan perilaku adalah sasaran tembak utama, tetapi penciptaan kesadaran bersama adalah tahap paling awal. Barangkali seperti konsep AIDDA dalam periklanan; attention, interest, desire, decision, action. Situasi ini idealnya terjadi ketika si pemberi kritik telah terlebih dahulu sadar dan sangat memahami apa yang ingin diperbaikinya. Tidak dengan motif yang lain seperti balas dendam atau ingin terkenal.
Ketiga: Kita selalu merasa bahwa jawaban yang disampaikan oleh yang dikritik adalah mekanisme pertahanan diri.
Ini situasi umum. Sasaran kritik biasanya akan menyampaikan jawaban. Katakanlah yang kita kritisi adalah cara mengajar seorang guru yang bikin ngantuk. Lalu guru menjelaskan bahwa dia harus mengajar dengan cara demikian karena materinya sangat penting dan dia tidak ingin gegabah. Oleh pemberi kritik, jawaban seperti itu (atau bentuk jawaban lain) adalah self defense mechanism; mekanisme pertahanan diri. Perasaan demikian kadang muncul karena kita berharap kritik kita akan langsung membawa perubahan.
Keempat: Kita (baca: khalayak) akan langsung terbagi dalam dua golongan: prokritik dan kontrakritik.
Meski ini juga adalah situasi umum, sesungguhnya ini adalah masalah besar. Banyak kritik yang sangat baik mendadak hilang arti hanya karena setelah tersampaikan–tanpa alasan yang jelas–khalayak pecah dua. Beruntung jika situasi pro-kontra berkembang menjadi diskusi yang positif.
Baca juga: Pesan Moral Dongeng Anak, untuk Siapa?
Yang paling sering terjadi adalah kelompok prokritik dan kontrakritik berperang dan medan perangnya bukan lagi topik awal kritikan tetapi bergeser ke persoalan-persoalan lain. Serangan-serangan pribadi dilancarkan, kita bakumaki-bakumusu-sampemati. Kedekatan emosional atau kepentingan masih jadi alasan terbesar terbentuknya kelompok pro dan kontra.
Yang ini menarik untuk dicermati karena kadang anggota masing-masing kelompok membangun argumentasi di atas argumentasi orang lain yang sama sekali dia tak paham. Akibatnya seperti menonton pertandingan bola di lapangan lumpur, penonton tidak tahu mana bola mana kepala mana wasit. Semua penuh lumpur dan bernoda cie cieee…
Kelima: Kita memberi kritik dengan lincah dan lugas.
Saya suka kalau ada orang menyampaikan kritik dengan lugas. Tanpa perlu berbunga-bunga menyusun kalimat, pengkritik akan dengan tegas menunjukkan apa yang salah dan langkah apa yang sebaiknya diambil untuk perbaikan. Tetapi jumlah orang yang demikian tidak banyak. Yang paling banyak adalah orang-orang mengkritik dengan terlebih dahulu membuat preposisi yang anggun.
Alasannya barangkali agar yang dikritik tidak tersinggung. Mungkin juga karena orang-orang yang menyampaikan kritik dengan lugas akan dianggap sebagai orang yang memancing permusuhan. Secara pribadi saya cenderung menyukai kritik yang lugas karena yang berbunga-bunga kerap susah ditangkap; tujuan kritik yakni perubahan akan sulit tercapai. Bunga-bunga hanya untuk orang-orang tercinta #eh?
Keenam: Kita dikritik maka kita wajib membela diri.
Ini paling sering terjadi. Sebagai orang yang dikritik, reaksi yang pertama kali muncul adalah pembelaan diri. Ini tentu saja adalah laku yang keliru. Seharusnya, sikap pertama saat kita dikritik adalah mengendapkannya, melihat diri, melakukan perbaikan.
Tetapi berhubung dunia telah berpindah ke jempol, kita selalu merasa wajib membela diri bahkan tanpa berpikir. Akibatnya aksi pembelaan diri kita malah seperti memupurkan lumpur ke muka kita yang penuh noda jerawat. Jerawat tertutupi, tetapi wajah kita mirip kakus aeh!
Ketujuh: Kita berharap tidak akan mendapat kritik dari orang yang pernah sepandangan karena itu menempatkan kita pada dilema besar; memaki tidak tega, tidak menjawab tidak tahan.
Ini situasi yang unik. Sebagian orang berharap bahwa jika kita pernah sependapat pada masalah A, maka sebaiknya kita sependapat juga pada masalah B. Karena jika kita yang pernah sama kemudian menjadi berbeda pandangan, kita lantas menjadi manusia yang aneh. Kenapa kau berubah? Dulu kita sepaham. Kenapa sekarang beda?
Pertanyaan itu seharusnya bisa dengan mudah dibantah dengan frasa people change! Hanya saja pada situasi tertentu kita kerap tidak rela kalau tiba-tiba berbeda pendapat dengan sahabat. Situasi ini membuat kita menjadi makhluk yang tanggung. Mau kritik tidak enak, tidak kritik bahaya. Mati suda!
Kedelapan: Kita dikritik berarti kita dilecehkan/dipandang remeh.
Ini bibit paling buruk tetapi justru tumbuh paling subur di sekitar kita. Kritik selalu dianggap sebagai pelecehan apalagi jika kita merasa bahwa yang menyampaikan kritik adalah orang yang lebih kecil dari kita. Astaganaga! Kalau bibit seperti ini mulai tumbuh di hati kita, matikan sekarang.
Baca juga: Kita adalah Komentator Sepak Bola
Orang-orang yang merasa kritik terhadapnya adalah pelecehan, sesungguhnya adalah orang-orang yang sombong: merasa bahwa dia tidak pernah bisa salah. Please, Om. Kau tidak selalu keren seperti yang kau duga e. Pada beberapa situasi akuilah bahwa ada orang-orang yang lebih tahu. Jan hanya baca satu buku ka!
Kesembilan: Yang memberi kita kritik harus bawa dengan solusi, jika tidak maka dia hanya ‘orang yang sakit’.
Yang ini judulnya harapan. Harapan itu kemudian bermetamorfosa menjadi keharusan. Kita mewajibkan seorang pengkritik hadir dengan solusi. Padahal kita semua tahu: a critic is a man who knows the way but can’t drive the car (Kenneth P. Tynan, Kritikus Teater di Inggris). Ulasan tentang ini sudah dibahas sebelumnya di “Kritik Tak Pernah Sepedas Kripik”.
Kesepuluh: Kita menunggu pemberi kritik di ‘tikungan’; suatu saat dia pasti salah, kita hantam dia di sana.
Ini namanya dendam. Karena kita merasa bahwa kritik adalah pernyataan kebencian atau ketidaksukaan, kita berharap suatu saat memiliki peluang emas untuk mempermalukan pemberi kritik. Rasanya ini adalah sikap paling primitif. Kita harus bolak-balik lagi membaca tujuan kritik yang telah saya sampaikan di awal tulisan ini: meningkatkan pemahaman, membantu memperbaiki pekerjaan. Kritik, sekejam apa pun disampaikan tidak pernah berniat mematikan. Jangan bikin diri menderita hanya karena pernah dikritik. Dendam itu lebih banyak mudaratnya, Tanta!
10 situasi ini tentu hanya sebagian kecil dari situasi yang berkembang saat kritik muncul ke permukaan. Ada banyak situasi lain yang kita lihat di sekitar kita. Barangkali benar bahwa Indonesia adalah negara yang mengakui keragaman tetapi orang-orangnya lebih nyaman dengan keseragaman.
Kita mengalami apa yang disebut sebagai different-opinion-phobia: the fear of others having opinion that differ from your own. Satu-satunya usaha penyembuhan untuk itu adalah: Get over yourself, you are not the center of the earth. Kalau saya omong tentang kita, itu sesungguhnya berarti saya. Ya, saya.
Saya banyak menulis tentang kritik, memberi kritik, dikritik. Kritik itu fana dan yang abadi adalah kelentingan, eh, kepentingan. Bagaimana pun, kritik mestilah disampaikan. Menyampaikan kritik itu kewajiban. Jangan diam. Tak selamanya ooo, diam itu emas.
–
31 Januari 2017
Salam dari Kedutul, Ruteng
Armin Bell
–
Gambar dari Calmsage.com.