Sore Cerita – Dongeng untuk Anak di Ruteng

Di Ruteng saya menikmati kegiatan berkesenian. Menyutradarai beberapa pentas teater, menulis cerpen dan naskah pentas, dan memutuskan untuk membuat kegiatan khusus untuk anak-anak. Ada mimpi ini: suatu saat mereka menjadi pencerita. 

Sore Cerita – Dongeng untuk Anak di Ruteng | Dok. Saeh Go Lino

Sore Cerita – Dongeng untuk Anak di Ruteng, Manggarai

Ketika memutuskan untuk mewujukan mimpi itu, saya sadar bahwa saya tidak bisa sendiri. Beruntung, kota dingin ini menyediakan banyak sekali orang muda hebat dengan mimpi yang menyala-nyala. Saya share mimpi saya dan mereka berminat untuk terlibat. Akhir tahun 2014 silam kami merumuskan mimpi bersama itu: mengenalkan anak-anak kota hujan ini pada dongeng. 
‘Anak-anak kota’ kami pakai untuk menjelaskan anak-anak yang tidak punya natas (halaman bermain) dan sebagian besar waktu hidupnya diambil oleh televisi. Di kota yang oleh sebuah situs wisata disebut Cool Climate for Relaxing ini, jumlah anak-anak itu banyak.
Tentang mengapa dongeng, alasannya bisa berjuta-juta. Kami hanya mengambil satu saja dari angka jutaan itu: pengalaman. Sebelum menjelaskan tentang ‘pengalaman’ ini, ada baiknya saya perkenalkan terlebih dahulu siapa kami. Kami adalah: beberapa orang muda yang senang berkesenian, pernah bikin pentas teater kecil-kecilan, senang menari dan senang bermimpi. Ini semua berhubungan. 
Begini. Mimpi-mimpi itulah yang membuat kami bisa bikin teater, bisa bikin pentasan, bisa berkesenian, bisa menari, bisa menentukan sendiri apa yang indah buat kami. Nama kami kini dikenal dengan Komunitas Saeh Go Lino, Ruteng.
Apakah hubungan semua itu; dongeng, mimpi, pengalaman?
Ternyata, ketika kecil kami senang mendengar dongeng. Ya, dongeng. Yang dituturkan Nene, Mama, Kakak. Mendengar dongeng membuat kami mampu membangun imajinasi–dalam paragraf-paragraf awal saya sebut mimpi. 

Kami membayangkan bagaimana wajah Pondik, tokoh dongeng paling fenomenal di Manggarai, kami membangun imajinasi berdasarkan kerangka pengalaman masing-masing, kami akhirnya memiliki sedikit kemampuan mengalihkan dunia imajinasi ke dunia pentas, terutama kami berhasil yakin dengan selera kami sendiri.

Absurd? Ya… Nikmati saja dulu. Setelah membaca seluruh tulisan ini, bolehlah kita bersilang pandang. 
(adsbygoogle = window.adsbygoogle || []).push({});
BACA JUGA
Pak Raden dan LG Corner, Sebuah Catatan tentang Dongeng di Ruteng

Begitulah. Pengalaman sendiri membuat kami merasa betapa pentingnya seorang anak mendengar dongeng. Di televisi–yang mencuri sebagian besar waktu anak-anak kota kami kini, seluruh dunia disajikan tanpa sedikit pun memberi kesempatan kepada anak-anak untuk membangun imajinasi personal.

Maka sebagian besar anak lalu mengenal perempuan cantik adalah yang berambut lurus, berkulit putih mulus, memakai celana umpan. Imajinasi mereka tentang cantik berkembang sesuai selera televisi dan bukan selera sendiri. 
Tidak mengherankan rasanya jika kemudian saat mereka besar mereka berlomba-lomba menyetrika rambut dan memburu whitening skin. Mereka tidak sempat meyakini keindahan yang mereka bayangkan sendiri; kepala mereka terlalu cepat dicuri televisi. Apakah itu artinya kami benci televisi? TIDAK. 
Terlampau panjang kalau harus dijelaskan, tetapi maksud sederhananya kira-kira: selain percaya televisi, yang paling penting adalah semua orang harus percaya pada imajinasinya sendiri. Ckckckck… Macam mulia sekali kami punya tujuan im. Begitulah. Kadang hati kami semulia itu. 
Sudahlah. Toh, di awal saya sudah bilang ada berjuta-juta alasan. Misalnya alasan yang saya sampaikan di sini tidak cukup diterima akal, silakan pikirkan alasan sendiri yang kira-kira dapatlah dipakai sebagai jawaban mengapa saya dan beberapa teman dari Saeh Go Lino  bermimpi mengenalkan anak-anak kota pada dongeng. Mungkin juga karena kami ingin terkenal. Iya to?
Januari 2015, mimpi bersama di akhir tahun 2014 perlahan kami wujudkan. Minggu, 25 Januari 2015, teman baik saya Erick “Ujack” Demang tampil sebagai pencerita di hadapan lebih dari lima puluh anak yang adalah anggota kelompok kategorial Putra Putri Altar (PPA) Lumen Gratiae Katedral Ruteng. Betul.
Para pendengar kami adalah anak-anak PPA. Mengapa PPA? Karena mereka masih anak-anak dan sebelumnya mereka telah sering bersama berkumpul menjadi pelayan altar. Pembina mereka Bapak Kosmas Karjiin merindukan agar anak-anaknya itu juga dilibatkan dalam kegiatan lain selain sebagai pelayan altar.
Ketemu sudah. Pak Kosmas punya anak-anak dan kami punya mimpi, Paroki Katedral Ruteng punya satu tempat bermain bersama untuk semua komunitas yakni LG Corner Ruteng. 
Hari pertama kegiatan berjalan baik. Dongeng Brothers Grimm “Tiga Wanita Penenun” diceritakan dengan memukau. Bulan-bulan berikutnya sampai kini Ujack selalu tampil hebat dan membuatnya dirindukan setiap bulan.
(adsbygoogle = window.adsbygoogle || []).push({});
BACA JUGA
Jika KPI Tidak Mampu Televisi Tidak Mau, Siapkan Sensor

Dongeng yang dipilih juga semakin beragam. Ada “Klaudius” yang saya karang dan pernah dimuat di Jurnal Sastra Santarang, ada kisah “Pondik” yang ditulis ulang Pater Verheijen, SVD, ada dongeng-dongeng H. C. Andersen dan banyak lagi. Sesekali anak-anak itu juga menjadi pembaca dongeng atau puisi. Menyenangkan. Beberapa anak lain di luar PPA juga mulai ikut bergabung dan mendengar.

Ada banyak dukungan, minat, komentar dan jenis reaksi lainnya yang kami terima ketika setelahnya kami ceritakan melalui foto-foto di facebook. Yang paling banyak muncul dan bagian ini selalu membuat kami lebih bersemangat adalah pertanyaan tentang bagaimana bisa ada kegiatan seperti itu; apakah tidak sulit?
Karenanya, bagian akhir postingan ini adalah jawaban-jawaban singkat tentang pertanyaan tanpa maksud membagi tips, karena siapalah kami ini selain orang-orang yang terlampau bersemangat?

Syarat-syarat Membangun Komunitas

Pertama, berusahalah menjalin relasi (membangun jaringan). Dalam situasi kami, para pendengar adalah anak-anak yang sudah terlebih dahulu bergabung di sebuah organisasi, sehingga kami tidak harus bekerja keras mengumpulkan anak-anak lagi. Selain itu, Paroki Katedral telah menyediakan ruang, sehingga kami tidak perlu membangun gedung sendiri ketika mau memulai kegiatan ini. 
Jangan pernah berusaha jadi pemain tunggal. Kalau kau punya potensi di satu bidang dan melihat bahwa orang lain punya potensi di bidang lain dan kau membayangkan bahwa jika potensi-potensi tersebut digabungkan akan menghasilkan sesuatu yang lebih besar lagi, bangun komunikasi segera. Jangan berpikir tentang siapa yang akan lebih terkenal. Kita sama-sama. Iya to? 
Kedua, temukan apa yang benar-benar ingin dan kira-kira dapat anda lakukan. Sebaiknya jangan melakukan tindakan copy paste, karena mungkin tidak akan sesuai dengan minat kita. Ingat, berkegiatan itu bukan tentang lifestyle. Karena fotografi lagi dianggap keren semua mendadak menekuni fotografi tetapi tidak bertahan lama, karena sastra sedang diminati semua mendadak berusaha jadi penyair, karena menari terlihat menyenangkan dan dianggap baik semua membentuk grup tari. 
Hendaknya tidak demikian. Siapa tahu anda lebih hebat kalau main bola, baca buku, main kartu, atau malah main proyek. Temukan dulu apa yang benar-benar anda ingin lakukan. 
Ketiga, jangan bicara tentang upah jika yang dipikirkan adalah upah dalam bentuk uang atau kesejahteraan. Upah bisa datang dalam bentuk lain dan mungkin malah lebih berharga. Ujack selalu menikmati upahnya dalam bentuk tepuk tangan dan pandangan anak-anak yang begitu antusias merindukannya setiap bulan. Energinya selalu bertambah karena itu. 
Bahwa kemudian ada pihak yang peduli lalu memberikan ‘suntikan’ setelah beberapa bulan kami berkegiatan, itu bonus–dan karena bonus kami harus berhemat #eh. Tujuan utama adalah membuat anak-anak senang dan kami sendiri dapat melaksanakan mimpi kami. 

Miliki banyak teman yang memiliki mimpi yang senada, bicarakan mimpi itu, wujudkan mimpi itu. Begitu kira-kira! 

Akhirnya kita sampai di bagian akhir catatan ini meski ini bukan postingan terakhir tentang Sore Cerita – Dongeng untuk Anak di Ruteng. Di blog ini, perlahan akan saya unggah naskah dongeng yang telah ditulis ulang khusus untuk dituturkan sebagai panduan bagi siapa pun yang merasa mendongeng untuk banyak orang itu sulit. Sampai jumpa
Salam
Armin Bell
Ruteng, Flores
PS: Komunitas Saeh Go Lino dibentuk entah kapan dan anggotanya banyaaaak. Bergabung juga anggota-anggota itu di cukup banyak komunitas lain terutama OMK Lumen Gratiae Katedral Ruteng, dan selalu siap sedia jika Saeh Go Lino menyiapkan dan menggelar pentasan. Baru-baru ini kami memainkan tarian berjudul Saeh Go Lino Ge (Febry ‘Djiboel’ Djenadut, Putri Dyah, Eltin Damon dan Okta Rewes) dan Labar Cama (Enya Boss, Della Perry, Prisca Reza, Ferdy Mozakk, Ary Kojek) dengan koreografer Claudia Febriani Djenadut di Pentas Seni Pekan Puncak Sinode III Keuskupan Ruteng. Terima kasih untuk yang hadir dan bertepuk tangan.
Bagikan ke:

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *