Catatan ini dibacakan pada peluncuran antologi puisi Putra Niron dan Cici Ndiwa berjudul Penyair Bukan Kami (2018) di SMAK St. Fransiskus Saverius, Ruteng tanggal 11 Februari 2018.
Identitas adalah karakteristik paling menentukan, yang menjelaskan tentang siapa itu seseorang atau apa itu sesuatu. Dalam kalimat lain, identitas adalah suatu ciri paling determinan atau tanda-tanda yang melekat pada diri seorang atau sesuatu–yang membuatnya lebih mudah dikenang/diingat; peran dan fungsinya.
Identitas biasanya bersumber pada: pertama, keadaan yang sudah ada pada seseorang/sesuatu (Manggarai: ruku tana, mede mai’n, puung du wangka’n dengkir tedeng le’n); kedua, hasil penyematan pihak lain; dan ketiga, gabungan keduanya.
Yang paling sering muncul atau dipercakapkan adalah identitas yang disematkan oleh publik atau pihak lain, karena melihat sesuatu sebagai yang paling sering muncul. Misalnya, orang Flores bersuara bagus adalah identitas yang disematkan oleh orang di luar Flores karena sering melihat anak-anak asal Flores menjadi anggota paduan suara di gereja. Atau, warung Padang lebih enak adalah identitas yang disematkan karena dia ada di semua tempat dan buka sampai larut malam pada saat kita lapar dan harus makan pada malam yang larut itu.
Persepsi yang seragam atau disepakati bersama adalah akibat yang kemudian muncul dari identitas yang disematkan. Sesuatu atau seseorang menjadi tidak merdeka memberi definisi untuk diri mereka sendiri. Pada tahap selanjutnya mereka menjadi percaya bahwa mereka adalah seseorang/sesuatu sebagaimana persepsi outsiders.
Dalam situasi bahwa pandangan orang adalah sesuatu yang baik, maka mereka menjadi lebih percaya diri, dan atau berjuang menjadi lebih baik sebagaimana disematkan. Namun dalam situasi sebaliknya, persepsi akan menggiring seseorang menjadi lebih buruk.
Sebagai contoh, mitos bahwa seorang anak yang memiliki unyeng-unyeng atau pusaran rambut dua di kepalanya pasti nakal, secara tak sadar dapat membuat anak berciri demikian tumbuh dengan kecenderungan menerima setiap perilaku nakalnya sebagai akibat dari unyeng-unyeng dua itu. Begitu kira-kira lingkungan membatasi “peluang identitas lain” tumbuh dengan merdeka.
Identitas yang kita sematkan pada orang/sesuatu akhirnya memenjarakan. Kita membuat peta-peta tertentu dan memberi peran-peran tertentu pada pihak lain berdasarkan persepsi atau kesepakatan bersama.
Tentang ini, Arie Kriting salah seorang komik Indonesia pernah bercerita: Di setiap susunan kepanitiaan sebuah kegiatan, orang Papua selalu ditempatkan di seksi keamanan. Suatu saat dia protes keras. Protesnya didengar sehingga pada kesempatan berikutnya dia tidak lagi ditempatkan di seksi keamanan. Dia pindah ke seksi konsumsi. Tugasnya di seksi konsumsi adalah menjaga keamanan makan. Masih kemananan juga.
Identitas pada Kata
Mendengar kata tertentu, kita langsung memberi identitas yang seragam. Gelas pasti wadah minuman. Buku pasti untuk dibaca. Ini membuat kita sulit melihat fungsi lain gelas seperti menjadi tempat menyimpan balpoin, atau fungsi lain buku sebagai alas kaki meja.
Beberapa kata identik dengan hal yang kurang/tidak baik. Debu itu kotor, mengganggu, kecil, harus dibersihkan. Debu yang menempel adalah sesuatu yang salah. Pada situasi inilah kesenian terutama kepenyairan muncul untuk menawarkan/memaksakan alternatif; memerdekakan.
Chairil Anwar dalam “Aku” memerdekakan binatang jalang dari sesuatu yang liar (dalam persepsi umum liar berarti nakal, mengganggu, ditakuti) menjadi sesuatu yang memiliki semangat juang tinggi (sesuatu yang selalu disarankan oleh orang-orang tua kepada anak-anak muda; jangan menyerah).
Dalam antologi puisi Penyair Bukan Kami usaha memberi identitas lain pada beberapa kata dilakukan oleh Putra Niron dan Cici Ndiwa. Lihatlah dua puisi :
Puisi Putra Niron
SEPI
Kertas-kertas di atas meja
Semakin tebal dengan debu.
Sudah seharian ia tidak berkutik.
Laparnya lupa untuk kembali,
Angin pun hanya datang untuk
Menumpuk debu di atas kertas.
Entahlah, tapi bisa jadi dia
Kekenyangan meyantap debu
Dari angin sialan itu.
Mungkin.
Maumere, 15 Oktober 2014
…
Puisi Cici Ndiwa
DEBU
Jika engkau menjadi debu
Aku akan menjadi telapak kaki
Yang bisa merasakan hadirmu
Lalu menyimpanmu pada guratan-guratan telapak kaki
Seperti tatkala aku menjadi kata
Yang engkau tutur pada doa pagimu di bali bantal
Pagi terlalu dingin untuk kita berjumpa di pintu Gereja
Sementara debu menjadi alas kakiku
Dan kata menjadi alas kepalamu
Ruteng, Mei 2016
Perhatikan kata “debu” pada dua puisi di atas. Putra dan Cici berusaha mengeluarkan debu dari persepsi umum. Debu yang biasanya didahului oleh kata “hanya” untuk menegaskan kesannya sebagai sesuatu yang tidak penting-rendah-bukan apa-apa, tampak sedang dimerdekakan oleh Putra Niron dan Cici Ndiwa.
Pada “Sepi”, debu yang mengganggu justru menjadi sumber energi, menjadi makanan bagi para kertas …./ Angin pun hanya datang untuk/ Menumpuk debu di atas kertas./ Entahlah, tapi bisa jadi dia/ Kekenyangan menyantap debu/ ….
Sementara pada puisi “Debu”, Cici menawarkan konsep baru tentang debu di telapak kaki. Debu yang oleh Yesus diminta untuk dikebaskan di depan rumah orang-orang yang tidak menerima pewartaan para rasul (bdk. Markus 6:11), justru oleh Cici dipandang sebagai penegas identitas telapak kaki, sesuatu yang tidak boleh dilepas/dikebas. Jika engkau menjadi debu/ Aku akan menjadi telapak kaki/ Yang bisa merasakan hadirmu/ Lalu menyimpanmu pada guratan-guratan telapak kaki/ ….
Tugas debu “yang lain” juga dapat dibaca dalam puisi “Debu” karya Emha Ainun Nadjib. Debu yang menempel di keningmu/ Biarkan, jangan diusap/ Jika usai rakaat terakhir/ Teruskan berdzikir// Disuruh oleh Allah butir-butir debu itu/ Agar menyerap kotoran dari gumpalan otakmu/ Jika telah penuh muatannya/ Akan tanggal dengan sendirinya/ ….
Artinya, kekayaan sudut pandang atau kebiasaan melihat sesuatu dari sudut pandang yang berbeda adalah hal yang harus dipunyai semua orang agar dunia yang merdeka dapat terwujud; orang-orang berkembang atas keputusannya sendiri, sesuatu yang dianggap buruk belum tentu buruk.
Barangkali, tugas kepenyairan–dan kesenian pada umumnya–adalah untuk menawarkan (atau memaksakan?) sudut pandang yang berbeda ketika khalayak terlampau berjuang untuk tampil seperti orang lain atau sebagaimana diinginkan oleh orang lain. Tentang apakah penyematan identitas baru atau usaha memerdekakan kata itu berhasil dilakukan, tentu saja akan menjadi milik pembaca.
Pada saat yang sama, usaha yang harus dilakukan oleh penulis Penyair Bukan Kami adalah menciptakan identitas diri melalui cara mereka bersuara, sebagaimana kita mengenal Joko Pinurbo sebagai penyair yang bercerita dengan gaya yang lincah, Mario F. Lawi yang kental dengan nuansa biblis, Sapardi Djoko Damono yang menjadi identik dengan puisi-puisi cinta, Norman Erikson Pasaribu yang berjuang membebaskan orientasi seksual, atau Wiji Thukul yang kental dengan nuansa protes yang keras.
Dalam kumpulan puisi Penyair Bukan Kami, identitas tersebut barangkali masih samar. Apakah rindu, apakah ibu, apakah kitab suci, atau apakah nasib orang-orang kecil, antologi ini rasanya belum cukup tegas menyampaikannya. Benang merah karya menjadi cukup sulit ditemukan karena ada dua orang penulis dalam satu buku dan setiap penulis menceritakan banyak hal.
Tetapi bagaimanapun, buku ini adalah bukti bahwa sikap konsisten akan membawa siapa saja pada identitas baru. Bagi Putra Niron dan Cici Ndiwa, identitas baru itu adalah: orang-orang muda yang berkarya. Apakah identitas tersebut benar, ada hal konsistensi di belakangnya.
Bagaimanapun, negeri ini membutuhkan lebih banyak golongan itu, orang-orang muda yang berkarya, dan bukan orang-orang muda yang menggerutu di media sosial.
—
10 Juni 2018
Salam dari Kedutul, Ruteng
Armin Bell
—
Gambar dari Facebook Toko Buku Naimata.
Mari sama-sama belajar 😀
bahan belajar untuk saya dn fr Putra ne kk Armin