Cerpen di Kumpulan Fiksi
Hari masih pagi tapi antrian sudah mulai panjang. Dia ada di antrian itu. Dia yang sudah lama menyita pikir dan memberi tambahan waktu berjaga setiap malam. Siapa namanya? Aku tak tahu. Aku hanya peduli pada senyum yang memikat, sikapnya yang luwes-santun, kemeja kotak-kotak dan celana jeans biru kehitaman, juga pada sepatu kets merk ternama, pada jam tangannya yang sporty.
Tuhan! Sebegitu detailkah ingatanku tentangnya?
Ini kali ketiga aku melihatnya. Selalu di tempat ini, dengan rentang waktu yang sama dan lama: enam bulan sekali. Selebihnya, seperti yang telah kuceritakan, aku menghadirkannya setiap malam dalam khayal. Sepertinya aku telah jatuh cinta. Sejak pertama melihatnya?
Namaku Venus. Kata teman-temanku, jodohku nanti harusnya bernama Mars. Mereka mengatakannya sekadar mengolok-olok pilihan nama yang tak biasa. Aku sendiri tidak merasa harus bertanggung jawab atas nama itu, juga tidak peduli dengan apa yang mungkin terjadi pada perempuan bernama Venus. Orang tuaku yang memberi aku nama. Setelah itu mereka pergi. Meninggal dunia. Dengan tragis, kata orang-orang.
Mama disambar kilat ketka mengangkat jemuran di samping rumah. Bukan mama yang salah, tapi pohon mangga besar itu yang entah mengapa dengan seksi mengundang sambaran api dari langit. Bapa tewas dalam perang antar kampung ketika dua kampung bertetangga tidak sepakat tentang garis batas kampung.
Baca juga: Mengapa Gratis Kalau Bisa Bayar?Setelah besar aku tahu peristiwa itu sebagai perang tanding. Mereka bertanding dengan parang. Kepala bapa terkulai ketika sabetan parang temannya sendiri yang adalah warga kampung tetangga menghantam tengkuknya.
Setelah peristiwa itu aku tak lagi mengenal rasa sedih. Aku tak menangis ketika kakakku mati ditabrak pick up pengangkut ikan yang berlari sangat kencang mengejar waktu pasar pagi di kota. Saat itu aku masih sepuluh tahun, kelas empat SD. Aku menjadi terbiasa dengan kematian dan cemooh adalah hal yang terlampau sederhana untuk dipikirkan dengan serius.
Aku duduk di kelas dua SD ketika mama meninggal. Setahun kemudian, ketika bapa menyusul istrinya itu, aku dan kakakku pindah ke rumah nenek. Setengah tahun terakhir di kelas empat, aku pergi dan pulang sekolah sendiri karena kakak pergi seketika saat otaknya terburai di aspal. Kelas lima dan enam aku mulai nyaman dengan olok-olokan, juga ketika banyak orang menyebutku anak sial. Toh, aku masih punya harapan akan masa depan yang cerah.
Seorang peramal tua di kampung itu bilang, “Kau akan jadi orang hebat! Kematian bapa, mama, dan kakakmu adalah bayaran untuk suksesmu nanti.” Aku sudah duduk di kelas dua SMA ketika peramal itu membaca garis tanganku dan merasa bahwa peramal itu dan orang-orang yang sepaham dengannya adalah orang-orang yang bodoh; bagaimana mungkin kematian orang yang kau cintai adalah jalan suksesmu? Hanya saja, mendengar penjelasan peramal itu–dan bahwa begitu banyak orang menyepakati hal itu–aku segera merasa sebagai anak sial, mau tak mau. Hanya orang-orang sial yang mengorbankan orang lain untuk kesuksesan pribadi, bukan? Kata peramal itu juga, aku akan sukses maka tak perlu marah dipanggil anak sial.
Semesta berbaik hati memberikan segalanya setelah tiga orang penting di hidupku ditelannya dengan keji. Aku selalu meraih juara pertama sejak SD sampai kuliah. Kini kerja di bank terkemuka, menjalani hidup dengan baik, di setiap kesempatan–sampai hari ini–selalu mendapatkan pertolongan pada saat yang tepat.
Kuingat ketika kuliah, dosen Pengantar Psikologi di kampusku beberapa menit lamanya tak bicara ketika kuceritakan sebagian kisah hidupku. Kalimat pertama yang keluar dari mulutnya setelah memulihkan dirinya sendiri dari keterkejutan lebih mirip sebuah tuduhan daripada bimbingan.
“Tetapi saya tidak gila, Bu,” kataku.
“Sepertinya tidak. Tapi paru-paruku mungkin hitam.”
Sejak itu dia tak berminat lagi pada ceritaku. Hanya sesekali memberi hadiah ketika indeks prestasiku selalu yang terbaik setiap semester.
Aku terbiasa mencumbu luka sejak kecil sehingga tak lagi tahu yang mana sakit dan yang mana perih. Semua terasa biasa. Aku terheran-heran ketika teman-temanku menangis lama saat putus cinta. Patah hati. Apa itu? Aku jelas tak tahu. Bagiku, pacar adalah pejantan yang kuijinkan menandak sekali seminggu di atas tubuhku. Ketika mereka terlalu cepat selesai, aku mencari yang lain.
Namun lingkungan selalu punya cara sendiri menilai peristiwa. Teman-teman kuliahku yang menangis saat putus cinta itu malah menganggapku sial karena selalu ditinggalkan pacar-pacarku. Barangkali mereka tidak salah. Aku benar-benar sial karena pacar-pacarku tak istimewa kemampuannya. Aku dan teman-temanku sama-sama sepakat bahwa aku memang anak sial, tetapi kami melihatnya dari sudut yang berbeda.
Kini aku telah bekerja dan tak lagi banyak berharap tentang hadirnya seorang pacar. Aku memutuskan menerima itu sebagai babak baru dari hidupku. Kecil ditinggal mati orang-orang tercinta, tumbuh sebagai anak yang selalu meraih juara, barangkali kini nasib baik memang sedang ingin pergi. Hidup itu ibarat roda, bukan?
“Venus, pergilah ke dukun. Usir sialmu atau kamu tidak akan punya suami,” kata seorang teman di tempat kerja.
“Kamu. Buktinya tidak pernah punya pacar. Jodoh kamu jauh, Venus!”
“Tidak apa-apa. Mungkin memang begitu.”
“Belum ketemu yang tepat.”
“Tidak akan kalau kamu belum usir sial!”
Setelahnya dia tak lagi bicara tentang jodohku. Tidak setelah mantan pacarnya sempat jadi pacarku lalu kucampakkan. Kudengar kabar, lelaki itu menangis meraung di pelukan temanku itu, membabi buta berkisah dalam tangis yang marah tentang caraku mengusirnya di tengah malam. Yang tidak diceritakannya di tengah tangisan itu adalah alasan aku menendangnya: terlalu cepat selesai! Temanku barangkali berpikir bukan jodohku yang lari, tapi aku yang menendang mereka. Saat ini aku punya sudut yang lain melihat kata sial yang disematkan kepadaku; pembawa sial bagi mereka yang menjadi penghalang jalanku menuju bahagia.
Aku memutuskan akan lebih mendengar diri sendiri. Maksudku, lebih banyak dari sebelumnya. Terutama setelah melihat dia, lelaki di antrian itu.
Setahun yang lalu, aku baru sebulan bekerja di bank ini ketika dia datang. Pesonanya menyirapku. Aku berharap semoga nomor antriannya mengantarnya ke bagianku, teller tiga. Tetapi aku sial. Dia di teller satu. Kulirik dia melalui punggung temanku di teller dua. Pemuda itu tampak ramah. Berharap sehari setelah dia kembali untuk transaksi yang lain, aku baru melihatnya lagi enam bulan kemudian. Enam bulan yang lalu. Kali itu aku bertugas di teller satu, dia dilayani teller tiga. Apakah ‘anak sial’ kini tentang aku?
(adsbygoogle = window.adsbygoogle || []).push({}); |
Hari ini aku berharap kesialan segera berakhir. Dia masih dengan tampilan yang sama, kecuali bahwa celana jeansnya terlihat lebih pudar. Dan rodaku sedang ada di atas. Nomor antriannya membawanya padaku di teller dua.
“Selamat pagi. Ada yang bisa saya bantu?” tanyaku ramah. Aku tidak berdebar-debar mungkin karena terbiasa dengan situasi yang lebih sulit. Dia yang kulihat tersenyum canggung.
“Mau transfer ini. Uang kuliah UT.”
“Oh. Mari, saya hitung uangnya,” kataku ramah. Meraih uang dan kertas aplikasi registrasi Universitas Terbuka.
Aku melakukan pekerjaan ini seperti biasa, sesekali melirik dan mengajaknya bicara ketika mesin cetak sedang mengetikkan validasi di kertas aplikasinya.
“Bukan. Eh. Mmm.. Tidak. Ini urus kakak punya.”
“Di kampung. Di Kecamatan.”
“Oh. Ini. Sudah selesai,” kataku menyodorkan lembar bukti transaksi padanya.
Dia segera hendak pergi tetapi aku sedang ingin mengusir sial dan tak akan membiarkannya berlalu secepat itu.
“Mmmm… Maaf, namanya siapa? Saya juga minta nomor teleponnya. Biar nanti kalau ada masalah dengan aplikasinya, bisa mudah dihubungi.”
“Tapi selama ini tidak begitu.”
“Antisipasi saja. Jaga kemungkinan,” jawabku ramah.
Dia setuju. Tersenyum ramah lalu menulis nama dan nomor handphonenya pada secarik kertas yang diambilnya dari dompet kulitnya. Dompet itu kumal, tapi aku suka.
“Lino. Kerja di mana?” Tanyaku setelah menerima kertas itu.
“Wah, sarjana teknik mesin?”
Dia tertawa kecil dan menjelaskan bahwa dia pernah sekolah di STM. “Tapi tidak tamat,” ujarnya malu-malu.
Kalau hari ini aku masih anak sial maka itu pasti karena aku harus menghapus satu poin dari kriteria jodoh yang kutulis di buku harianku.
Jam sebelas malam. Ada Lino di sampingku. Kami baru saja selesai bercinta. Dia menang, tak jadi kutendang. Kuambil buku harianku, mencoret kriteria jodoh nomor lima: Harus Sarjana. Ini kali pertama aku menghapus daftar keinginanku sendiri dengan rela.
Bahwa setelahnya aku tetap dianggap sial, tidak mengapa. Toh, hidup tidak harus masuk akal.
“Sarjana, cantik, kerja bagus, eh, malah pacaran sama anak bengkel. Sial betul hidupmu, Venus” kata ibu kosku beberapa bulan kemudian. Kupikir, dia adalah perempuan yang sial. Ibu kosku itu. Suaminya tidak kuat di ranjang.
aduh…… gubrakkkk 😀
Sukaaaaa…. Tks kae
like…critanya keren..
Hehehehe… apa kabar Dhonabee?
Terima kasihhhh
Sama-sama. Thx sudah mampir 🙂
Terima kasih sudah mampir 🙂 Jangan luipa follow ya hehehehe
Ini kisah mmang bnyak djmpai pd kjdian cinta di Manggarai n Flores, guru dg ojek,bidan dg sopir dll. Mnarik, krn diangkat dgn nada humor yg memukau n cra pndang yg mngglitik ksadaran bru ttg cara pndang kita. Cinta jg bsa mnghsilkan cara pandang yg berbda ttg sial, hehehe. Mantap, bos.
Hahahaha… betul-betul. Pokoknya saya senang betul waktu tulis ini hehehehe
ah pokok e keren (Y)
Hihihihi… terima kasih Dhewy 🙂