Surat untuk Ibu tentang Surat dari Ibu Menjelang Peringatan Hari Ibu

22 Desember adalah hari Peringatan Hari Ibu. Linimasa akan berisi ucapan-ucapan selamat. Foto-foto para Ibu akan penuh di dinding-dinding media sosial. Begitu cara kita, anak-anak zaman now merayakannya. Seperti saya yang merayakannya di blog ranalino.co ini. Dan, Ibu-ibu merayakannya dengan berdoa. Doa bagi anak mereka.

surat untuk ibu tentang surat dari ibu menjelang peringatan hari ibu
Ibu merayakannya dengan berdoa. Doa bagi anak mereka.

Surat untuk Ibu tentang Surat dari Ibu Menjelang Peringatan Hari Ibu

Waktu kecil dua celana merah hati robek. Milik saya dan milik Hasmudin. Mama masih simpan mesin jahit itu? Menyulap celana-celana yang menganga itu menjadi kembali sempurna. Saya tidak ingat urutan waktunya karena selain geografis dan nama orang, daya ingat saya juga sederhana di bagian kronologi.

Kejadian pagi ini saja saya sudah lupa urutannya–manakah yang lebih dahulu; minum segelas air putih atau menyebut namamu dalam doa? Ah, saya bahkan lupa apakah ada namamu di doa pagi yang pendek itu. Tetapi kau tidak lupa, karena kau Mama.

Mama adalah yang tidak pernah lupa. Maka, melalui surat ini saya ingin tanyakan tentang peristiwa waktu itu.

Apakah saya memakai celana dalam ketika celana merah hatiku dulu robek besar di bagian selangkangannya? Pertanyaan ini penting karena muka saya sering memerah sendiri mengingat peristiwa itu. 

Masih tentang celana, apakah dulu Hasmudin sempat berterima kasih ketika Mama selesai menjahit celana seragamnya yang robek ketika kami bermain di lapangan?

Yang saya ingat adalah celana saya robek sehingga saya harus berlari pulang ke rumah dengan posisi dua paha merapat. Yang tidak saya ingat adalah apakah peristiwa itu terjadi setelah atau sebelum peristiwa saya menjadi juara dua dalam lomba deklamasi antar-SD sekecamatan. Yang saya ingat adalah puisi yang dilombakan saat itu adalah “Surat dari Ibu” karya Asrul Sani. Yang tidak saya ingat adalah apakah peristiwa celana Hasmudin menganga itu terjadi pada rangkaian sepekan lomba antar-SD itu atau pada agenda lainnya?

Baca juga: Menulis Kisah Tentang Mama

Sudah saya bilang, bukan? Ingatan kronologis saya buruk sekali. Tetapi, Mama tidak. Karena Mama adalah yang tidak pernah lupa. Maka ketika sekarang sudah besar dan sesekali ke rumah Mama saat liburan, saya tidak perlu lagi memberitahu kopi seperti apa yang ingin saya minum. Dari dapur, Mama datang dengan segelas kopi dengan takaran sebagai berikut: setengah sendok gula, dua sendok kopi. Kopi yang benar. Kopi dari kebun kalian.

(adsbygoogle = window.adsbygoogle || []).push({});

Tetapi kapan terakhir kali saya ke rumah itu? Sudah lama sekali, dan sebentar lagi kita akan merayakan Hari Ibu. Mama masih bisa menjahit? Maksud saya bukan itu, tetapi apakah masih tegas memasukkan benang ke lubang jarum di mesin jahit Mama?

Semoga kacamata yang saling-pinjam dengan Bapa belum tergores lensanya. Karena kalau iya, bagaimana Mama membaca beberapa novel yang saya belikan untuk Mama? 

Tidak ada penerbit yang mencetak novel-novel Marga T., Maria A. Sardjono, dan Romo Mangun dengan huruf ukuran 18. 12 paling besar, yang lebih kecil dari itu paling banyak. Hemat ongkos produksi kata mereka.

Buku-buku dengan ukuran huruf 18 hanya untuk anak SD. Untuk Rana. Cucumu yang kini bisa membaca, dan senang membaca buku. Mama pasti masih ingat bagaimana kita berbaring di tempat tidur, lampu gas menerangi kamar, Mama membaca apa saja dan saya pura-pura membaca.

Baca juga: Piala Pertama Kita yang Patah dan Terlupakan

Bapa tidur karena tugasnya selesai setelah membelikan kita buku. Lalu setelahnya saya tidak pernah bisa tidak membaca; selalu menganggap bahwa kegiatan itu saya pelajari dari Mama. Lino, anak kedua saya juga senang bermain di sekitar lemari buku sekarang.

Waktu berlari cepat sekali, bukan? Saya sudah beristri-anak sekarang. Setiap kali mengenang kemenangan saya pada lomba deklamasi “Surat dari Ibu” ketika SD, berikut beberapa peristiwa di sekitarnya termasuk celana-celana yang robek itu, saya selalu membayangkan Mama yang bilang ini:

Pergi ke dunia luas, anakku sayang
pergi ke hidup bebas!
Selama angin masih angin buritan
dan matahari pagi menyinar daun-daunan
dalam rimba dan padang hijau.

Pergi ke laut lepas, anakku sayang
pergi ke alam bebas!
Selama hari belum petang,
dan warna senja belum kemerah-merahan
menutup pintu waktu lampau.

Jika bayang telah pudar
dan elang laut pulang ke sarang
angin bertiup ke benua

Tiang-tiang akan kering sendiri
dan nakhoda sudah tahu pedoman
boleh engkau datang padaku!

Kembali pulang, anakku sayang
kembali ke balik malam!
Jika kapalmu telah rapat ke tepi
Kita akan bercerita
Tentang cinta dan hidupmu pagi hari.

Itu puisi Asrul Sani yang saya deklamasikan ketika kecil, Mama. Tetapi selalu terdengar seperti surat darimu. Mama tak pernah mengirim surat untuk saya. Tetapi pasti mengirim doa setiap malam tentang saya. Karena Mama adalah yang tidak pernah lupa, dan tangannya adalah yang terbuka lebar menanti anak-anaknya untuk dipeluk sepanjang liburan. Tetapi tahun sedang sibuk dan liburan mungkin tak jadi singgah di rumah kami, Mama.

Celana saya tidak robek sekarang. Kalau robek juga tidak apa-apa karena saya senang memakai celana berlapis-lapis. Karenanya surat ini tidak bermaksud memintamu menjahit. Betapa sulit memasukkan benang ke lubang jarum pada usia seperti Mama sekarang. Surat ini hanya bermaksud menyampaikan: Selamat Hari Ibu, Mama. 22 Desember. Tetap sehat. Salam buat Bapa.

Oh, iya. Kopi yang beberapa waktu lalu Mama kirim ketika Bapa datang mengambil gaji, itu kopi yang enak sekali. Terima kasih.

Salam
Armin

NB: Surat ini tidak beraturan. Sebagai alasan, izinkanlah saya bertanya: “Siapakah yang mampu membuat tulisan yang baik jika itu tentang Ibunya?”

2 Comments

  1. Berkisah ttg ibu tak kan pernah selesai, seperti ibu yg tak pernah selesai mendoakan anak2nya…terima kasih sdh berbagi surat yg indah ini..