Seperti Sungai Colorado dan Beberapa Puisi Lain

Ada tujuh puisi di sini, yakni Seperti Sungai Colorado, Sampai Esok Pagi, Lelaki Tua di Hadapan Buku Hijau Warna Toska, Sampai Kita Lahir, Setelah Janji, dan Sakral. Selamat menikmati. 

seperti sungai colorado dan beberapa puisi lain
Ruteng, Manggarai | Foto: Armin Bell

Puisi-Puisi Armin Bell – Ruteng, Manggarai

Seperti Sungai Colorado


“Colorado river is the only river no longer reaches the sea.”
(Home, Documentary)
Yang diinginkan sungai adalah berjuang memeluk laut lalu bercinta sampai ke langit
Sepi adalah aku yang tak lagi tahu di mana laut
Kau
Seperti sungai Colorado yang sendiri di puncak bukit
Aku memeluk diriku dalam kelimpahan yang tak pernah mencapai laut
Kau
Cendana, 2016

Sampai Esok Pagi

Apa yang kau inginkan pada gelas kopiku?
Pergilah
Telah bergelas-gelas kusesap kau
Nadi mana lagi yang ingin kau sesaki?
Telah berulang di sana kau menari dan aku
Dapatkah kunikmati kopi itu sendiri?
Telah bertahun lamanya
Siapa yang jatuh cinta?
Lingkari jawaban yang benar: kau pada segelas kopi yang kuminum, atau aku pada engkau yang menari-nari
Tunjukkan jawab padaku eesok pagi ketika
Aku bangun dan minum kopi
Ruteng, 2016 

Lelaki Tua di Hadapan Buku Harian Warna Toska

Sebelum malam ini semua baik adanya, kemudian
Kutemukan lagi kau tersenyum manja pada beberapa halaman di hadapan 
Di jendela yang muram ada purnama yang bulat sempurna, dan 
Lampu kamar menegaskan wajahmu dan indah senyuman
Wangi meruap di tiap halaman yang kusibak 
Cahaya dari purnama yang bulat sempurna kuingat 
Adalah malam yang kejam menelanmu sebelum aku sadar semua terlambat 
Berjuangku bertahun setelahnya agar tegar-tegak 
Seberapa besar inginku mengenang engkau sebagai yang marah–agar tak selalu berdarah luka
Halaman di hadapan yang sekarang kubaca 
Hanya tentang engkau yang tersenyum manja 
Padaku dan hari-hari yang mengejar senja 
Purnama yang bulat sempurna
Adalah pertanda engkau tiada
Telah ratusan (atau beribu?) dia
Mengulang irama
Kututup pintu toska membungkus halaman-halaman senyummu yang manja, dan 
Jendela muram yang menampilkan cahaya bulan 
Kubuka kitab suci yang lama diam di sudut kamar 
Kisah seorang yang mesti meninggalkan bahan-bahan persembahan di altar 
Kaukah itu yang akan pulang menemuiku yang bertahun lamanya menunggu pelukan 
Atau hanya senja yang menjelang, tanpa kusempat meminta ampunan
Seperti ini akhir kisah ini barangkali: Setelah wajahmu yang tersenyum manja, halaman-halaman di buku harian warna toska ini hanya menyisakan harapan. Tak dapatkah kau meninggalkan sejenak persembahanmu di altar dan kembali padaku mendengarkan mea culpa yang tak sempat kuucapkan? 
(adsbygoogle = window.adsbygoogle || []).push({});

Sampai Kita Lahir 

Kaupikir telah sempurna menghilang hanya dengan sembunyi di kota tak bernama yang kutahu ada. Kaupikir telah sempurna melupakan hanya dengan membakar gambar-gambar yang kita di dalamnya ada. Kautahu dirimu salah karena kita tetap ada pada ingatan satu tentang yang lain. Kautahu bahwa laku paling sia-sia adalah berpikir–menghilang melupakan. Kita sepakat saja bahwa bagaimana musnah kisah yang telah bersenyawa dengan darah dan pelukan adalah pertanyaan yang abadi, sampai tiba saatnya mati. Di hidup baru kita lahir sebagai bunga untuk kolibri datang mengambil nektar.

Setelah Janji

Kelam kita di balik jendela sepi-gelap seperti malam
Bingkai jendela adalah hati yang rapat tertutup, tebal 
Bukan cahaya semata, juga suara 
Tak kuasa sampai ke seberang kita 
Kelam kita di balik jendela sepi-gelap seperti malam 
Aku ingat kesiur angin di pelataran Katedral pada pagi saat kita bersama menjemput matahari
Kita berjanji akan bersamanya sempanjang hari sampai dia tenggelam di balik barisan bukit-bukit dan suara angin merdu sebagai teman
Datang tengah hari, panas
Kita pulang; kau ke rumahmu, aku ke rumahku
Bingkai jendela kita adalah hati
Kita tutup. Masing-masing. Rapat-rapat
Kelam kita di balik jendela sepi-gelap
Tak ada kabar janji berjalan bersama matahari sampai dia tenggelam di barisan bukit-bukit
Terlampau pagi diucapkan barangkali, dan kita 
Kepada apakah takut?
Aku di sini, mengetuk
Bukakan bagiku seperti telah kubiarkan diriku meluruh untuk kaurengkuh
Karena kita telah berjanji: Kita takut hidup sendiri, kelam, di balik jendela, sepi-gelap, juga janji yang terlampau pagi diucapkan
Setelah janji, kita berjanji 

Sakral 

Ada seorang penari hebat di dalam tubuhku. Di sebuah pesta ketika kau melihatku duduk diam sedang tamu lain melenggak-lenggok, kumohon jangan mengusik. Aku sedang membiarkannya menari.
Puisi-Puisi Armin Bell 
Ditulis di beberapa tempat yang berbeda. Terima kasih telah berkunjung ke ranalino.co.

Tanggapan Anda?

Scroll to Top
%d bloggers like this: