Oleh: Armin BellCerpen di Gita Sang Surya
“Kadang saya merasa seperti orang Samaria. Manusia berdarah campuran, sebagian orang pilihan dan sebagian lagi bukan. Persisnya, manusia setengah. Samar,” katanya padaku senja itu. Kami sedang berjalan keluar dari pelataran Gereja.
Beberapa saat sebelumnya kami mengikuti Misa sore di Gereja Paroki kami. Pastor dalam homilinya sedikit berkisah tentang orang Samaria yang dianggap sebagai orang asing, bukan orang-orang pilihan. Orang-orang Farisi menganggap mereka tidak layak di hadapan Tuhan.
Aku tahu mengapa dia tiba-tiba berkata demikian.
“Saya lahir di sini, besar di tanah ini, makan dari hasil bumi di tempat ini, tetapi tetap saja saya tidak pernah dianggap sempurna sebagai anak asli wilayah ini. Pasti ada embel-embel keturunan,” katanya lagi. Gerbang Gereja perlahan tertinggal di belakang, kami berjalan santai seperti biasa, berdua. Kami bersahabat sejak kecil. Dan aku tahu, beberapa kalimat lagi baru boleh bicara. Selalu begitu.
Dia tak mau disela jika belum merasa lengkap menyampaikan pendapatnya, dan aku kini mengerti itu sepenuh hati.
“Kau ingat kan? Ketika SD dulu, teman-teman suka mengolok-olok dan menyebut saya pendatang. Saya dipaksa membelalak, lalu mereka tertawa terbahak-bahak karena saya tidak berhasil membuka mata lebar-lebar. Saya pendatang karena mata saya sipit, padahal saya tidak tahu apa-apa tentang Tiongkok,” ceritanya lagi. Kami sudah sampai di jalan umum, tetapi rumah masih beratus-ratus meter lagi.
Aku ingin sekali bilang bahwa dulu aku tidak masuk kumpulan itu, meski tidak ikut membelanya tetapi juga tidak masuk kelompok pengolok. Tetapi dia masih ingin bicara, ku tahu dari tarikan nafasnya.
“Dan sampai sekarang, sampai setua ini saya tetap disebut Cina, entah apa maksudnya panggilan itu saya tidak mengerti. Saya juga tidak tahu bagaimana caranya agar sesekali saya disebut sebagai orang sini, orang asli. Saya bahkan lebih tahu dari kau tentang adat istiadat tempat ini. Darah saya tumpah di sini.” keluhnya. Ini waktu yang tepat untuk bicara; kalimat pertamaku mengundang diam yang lama.
“Kalau kau Samaria, siapa yang kau anggap sebagai Farisi?” tanyaku.
Dia tak bicara, sesekali sepeda motor melintas, pengendaranya menoleh sejenak lalu tersenyum. Mungkin sedang berpikir, betapa anehnya pemandangan ini. Seorang berkulit putih dan bermata sipit, sedang berjalan beriringan dengan yang lain yang hitam dan berambut keriting. Ini bukan kali pertama kami mendapat lirikan sedemikian, tetapi hari ini seperti menegaskan galaunya.
“Hei, siapa yang kau anggap Farisi?” tanyaku lagi.
“Yang pasti bukan kau,” katanya sambil memaksakan senyum.
“Untuk apa? Supaya saya yakin bahwa kau layak disamakan dengan The Good Samaritan itu!”
“Maksudmu?” “Apakah harus selalu ada Farisi ketika ada seorang Samaria?”
Giliran saya yang kini terdiam. Gereja telah jauh di belakang. Sang Pastor mungkin sedang bersantai di pendopo pastoran menyimak angin sore sambil menunggu jam makan malam. Tugasnya telah selesai hari ini, memimpin misa dan memberikan homili tentang alasan mengapa orang-orang Farisi tak begitu menyukai orang-orang Samaria.
Baca juga: Ketika Badai Berlalu
Saya tiba-tiba teringat kisah lain tentang orang Samaria yang baik hati, yang menolong orang asing yang terluka.
“Lalu apa masalahnya menjadi seperti Orang Samaria? Toh, di Kitab Suci juga diceritakan betapa mulianya seorang Samaria yang menolong seorang asing. Kisah ini mengajarkan kita tentang betapa pentingnya membantu sesama yang kesulitan tanpa memandang suku, agama, ras atau berat badan. Dan kau sudah melakukannya selama ini” kataku.
Langkahnya terhenti, aku ikut berhenti.
“Tidak ada masalah. Saya hanya merasa banyak di antara kita yang terjebak pada hal-hal yang tampak muka dan mulai melupakan kedalaman. Orang seperti kami ini, seperti juga orang Samaria dalam perikop yang kau sebut tadi, hanya akan dianggap ada dan diakui sebagai orang asli jika mampu melakukan hal besar atau mulia,” nada suaranya berat.
“Jika kami biasa-biasa saja, akan tetap dianggap sebagai orang asing. Pendatang. Bandingkan dengan kau, tidak berbuat apa-apapun sudah disebut orang asli. Tidak harus melakukan hal-hal besar untuk membuktikan eksistensi diri. Padahal kita sama-sama lahir di sini,” katanya lalu mulai melangkah lagi.
(adsbygoogle = window.adsbygoogle || []).push({}); |
Kami semakin dekat sampai ke rumah. Tinggal beberapa ratus langkah lagi. Aku tahu alasan keresahan besarnya ini. Beberapa saat lagi akan ada Pemilu. Dia berniat maju sebagai calon anggota legislatif. Sebagai lulusan ilmu politik dari universitas ternama, saya yakin dengan kemampuannya.
Pengalamannya di organisasi setelah sekian lama menjadi bendahara partai adalah alasan yang kuat mengapa saya ikut mendorongnya maju sebagai calon. Tetapi pembesar partai punya alasan lain.
“Kami mohon maaf, tapi secara elektabilitas, Pak Vincent kemungkinan besar tidak akan mendulang banyak suara. Ya… kita sama-sama mengertilah, pemilih kita itu primordial. Akan lebih suka memilih orang-orang asli sini,” demikian kata ketua partai ketika kami berdua menghadap dan membicarakan rencana pencalonan itu. Dia kecewa. Pak ketua tahu hal itu lalu berbasa-basi menghibur.
“Alasan lain mengapa kami berpikir untuk tidak mendaftarkan Pak Vincent sebagai calon adalah karena dapur partai ini butuh orang-orang seperti bapak. Kami khawatirnya kalau bapak maju dan terpilih sebagai anggota legislatif, tidak ada lagi orang hebat yang mengurusi dapur partai,” katanya lagi. Dia tidak terhibur.
Aku mengerti karena kami bersama sejak lama. Memahami seseorang memang jauh lebih mudah jika kita memiliki waktu yang cukup untuk berbagi cerita. Dan demikianlah aku mengerti dia. Kalau bukan karena fisiknya, dia jauh lebih asli dari rata-rata penduduk di sini. Minatnya pada budaya dan politik membuatnya selalu belajar tentang tanah kami.
Baca juga: Jejak Langkah di Atas Pasir
Kuakui dia lebih layak menyandang predikat orang asli. Dia mengenal wilayah ini sama baiknya dengan mengenal dirinya sendiri. Dan aku selalu terbata-bata jika harus mengisi kolom warna kulit pada formulir identitas diri. Hitam? Sawo matang? Aku selalu ragu.
“Persis seperti orang Samaria yang baik itu. Berbuat istimewa pun, saya tetap dianggap tidak cukup pantas. Dan saya bingung, harus buat apalagi agar layak disebut bukan pendatang,” katanya lagi.
“Mungkin bukan kau yang harus berjuang, tetapi cara kami melihat yang harus diubah,” kataku.
“Apa itu artinya kau masuk dalam golongan Farisi?”
Aku memandangnya kesal. Kupasang muka cemberut, dia tersenyum dan matanya semakin mengecil. Mau tak mau aku tersenyum. Kami telah sampai di gerbang rumah. Dua anak kecil yang lucu menyambut dengan ceria, “Horeee… Bapa Mama sudah pulang dari Gereja,” teriak mereka lalu menghambur di pelukan. Satu di gendongannya dan satu menggandeng tanganku. Kami sampai di rumah, senja telah hampir tiba di ujung. Siang, seperti juga malam, sekarang samar. (Selesai)