Perempuan dalam Pikiran dan Perkataan Para Lelaki

Perempuan Dalam Pikiran dan Perkataan Para Lelaki sesungguhnya adalah cerpen yang diolah kembali dari cerpen saya berjudul “Perempuan Itu”

perempuan dalam pikiran dan perkataan para lelaki
Perempuan | Foto: Kaka Ited

Perempuan Dalam Pikiran dan Perkataan Para Lelaki


Sebuah cerpen Armin Bell


Juni 1986

Lelaki kecil itu genap berusia enam tahun. Tepat di awal tahun ajaran baru. Seminggu sebelumnya Ibu menyiapkan kado ulang tahun. Seragam merah hati. Hari ini dikenakannya dengan bangga. Masuk kelas satu baru dengan seragam baru, tepat di usia yang baru tambah satu.

Kelak ketika dewasa dia tahu betapa sulitnya Ibu menghadapi hari itu. Tentang gaji Ayah yang tak banyak dan harga seragam merah hati yang selalu naik di bulan Juni. Hari itu dia tak tahu apa-apa selain semangatnya yang berlipat ganda mendengar Ibu memanggilnya kencang sekaligus memberi kabar bahwa seragamnya telah disetrika.

17 tahun kemudian – Malang

Siang tadi Ibu menelepon. Menanyakan kabarnya dan kabar skripsinya. Sesungguhnya yang kedua adalah yang paling ingin diketahui Ibu, pikirnya. Dia tidak banyak bercerita tentang pertanyaan kedua dan memilih berkisah tentang betapa senangnya sekarang dia bisa mencari uang sendiri. “Buat tambah-tambah uang belanja,” katanya tadi.

“Terima kasih buat yang sudah gabung dan ikut ngobrol bareng saya di Rendezvous malam ini. Beberapa menit ke depan kita akan tiba di jam 10 malam, artinya tuntas sudah tugas saya malam ini. Semoga kebersamaan kita menyenangkan, dan mohon maaf jika ada hal-hal yang mungkin kurang berkenan. Saya Kali pamit, selamat malam dan sampai jumpa.”

Di belakang suaranya, I Don’t Wanna Miss A Thing milik Aerosmith mengalun perlahan.

Selesai menyiapkan daftar iklan untuk penyiar berikutnya dan merapikan meja siar, aku beranjak keluar.

“Ri, aku udah kelar. Iklanmu udah aku siapin,” kataku pada Ari, penyiar setelahku.

Suwun… Langsung pulang?” tanyanya dan lalu masuk ke kotak siar tanpa menunggu jawaban. Basa-basi yang basi. Tetapi aku memang akan langsung pulang.

Beberapa hari terakhir, lepas jam sepuluh malam adalah saat yang menyenangkan. Suasana Malang yang tak panas juga tak sangat dingin memberi peluang pada tiap penghuninya untuk tak terburu meringkuk di kamar.

Aku dan dua kawanku juga demikian. Mereka teman sekampus, beda jurusan, tetapi dengan kisah cinta yang mirip. Tidak ada yang mau jatuh cinta pada kami bertiga meski kami berkali-kali jatuh cinta: pada teman sekampus, seorganisasi, atau sekelebat pandang di plasa saat perempuan cantik entah siapa sedang berbelanja.

(adsbygoogle = window.adsbygoogle || []).push({});

Temanku yang seorang bernama Vester. Anak teknik sipil yang lebih senang dikenal sebagai aktivis komunitas seni. Pasti sudah menunggu di warung gorengan depan kampus dengan bergelas-gelas kopi. Dia selalu datang lebih awal, paling semangat bicara, selalu berapi-api dan merasa benar.

Senang berdiskusi tentang perempuan, dia menyebut diri sebagai satu dari sedikit feminis pria di bumi Indonesia. Sering membanggakan diri sebagai orang yang mampu melahirkan paradigma baru tentang perempuan. Ini paradigmanya: Perempuan pasti ingin dimanja, sehingga kalau mau mendapatkan perempuan, buatlah mereka merasa dimanja.

Kuatnya keyakinannya pada paradigma yang katanya benar itu, membuatnya ingin menulis skripsi tentang perempuan. Padahal dia anak teknik sipil dan masih semester delapan. Melihat jumlah SKS yang ditempuhnya setiap semester, paling cepat dia baru boleh memulai skripsinya di semester sepuluh atau di atasnya. Lagipula, apakah hubungan antara perempuan dengan tugas akhir teknik sipil?

Konsep yang dibangunnya tentang bagaimana memperlakukan perempuan, bertemu bukti pada dirinya sendiri. Vester bukan tipe orang yang mau memanjakan perempuan bahkan tidak juga berniat pura-pura melakukannya. Vester tidak punya pacar. Konklusi yang sempurna.

Vester seumpama tukang becak di depan kampus yang senang menasihati para mahasiswa agar bicara sopan tetapi obrolannya dengan sesama tukang becak atau calon penumpang yang menawar terlampau rendah hanya berisi pisuhan. Jancuk!

Zack adalah temanku yang lain. Ikut diskusi dengan alasan klise bernama insomnia tetapi selalu berjuang menjadi pemenang perdebatan. Kalau hanya mengisi waktu terjaga, kenapa ngotot?

Bagi Zack, harmoni adalah segalanya. Mungkin karena di nadinya mengalir darah bangsawan. Orang terhormat yang senang dengan kedamaian. Iya, kah?

Tetapi meski selalu tampak ingin menang, Zack membuat iklim diskusi menjadi selalu tenang, tak peduli siapa yang benar dan salah dalam sebuah perdebatan, tiap kalimatnya ditata dengan rapi, sehingga semua pihak merasa benar dan mengakui Zack sebagai penolong abadi. Benar-benar bangsawan.

“Tak apa-apa diskusi kita tanpa hasil, yang penting jangan berantem,” katanya kalau diprotes karena sikapnya seperti plin-plan jika aku dan Vester berdebat seru karena jelas-jelas beda pendapat. Karena itulah kehadiran Zack menjadi penting.

Semoga malam ini dia lebih bersemangat. Kemarin kami pulang dalam keadaan aneh: berpikir tentang lubang. “Perempuan itu misteri. Well, saya akui manusia itu misteri terbesar Tuhan, tetapi perempuan lebih misterius karena hidup dengan lebih banyak lubang dalam dirinya dibandingkan kita laki-laki,” katanya kemarin setengah putus asa setelah bergelas-gelas kopi tandas dan gorengan hanya tersisa beberapa biji.

Baca juga: Menulis Kisah Tentang Mama

“Dieng, Dieng…”

Suara parau sopir angkot membuyarkan lamunanku.

“Kiri, Pak,” kataku.

Beberapa saat kemudian aku sudah terlibat obrolah santai dengan dua sahabat unikku itu di warung gorengan dekat kampus kami di kawasan Terusan Raya Dieng.

“Sebenarnya mau mereka apa?” Vester bicara dengan nada tinggi mendengar cerita saya tentang tuntutan beberapa aktivis perempuan yang berjuang untuk mendapatkan cukup banyak persen kuota perempuan dalam parlemen. Hari ini, siaran Rendezvous yang kuasuh memang membahas topik itu. “Kok seperti memaksa? Padahal kan perimbangan jenis kelamin di parlemen sama sekali tidak mengurangi angka utang kita ke IMF!” lanjutnya gemas.

Zack tersenyum, dan ini adalah bagian yang paling kusuka. Gejala seperti ini menunjukkan bahwa obrolan kami akan berlangsung seru, membingungkan, dan keluar jalur.

“Mungkin memang perempuan Indonesia benar-benar ingin dimanja,” ujarnya masih dengan senyum.

“Tapi nggak kayak gitu dong caranya.” Merasa diserang balik dengan mengutip paradigmanya, Vester terus bicara. Nadanya agak aneh. Keras tapi tak terlampau tegas. Saya tersenyum menebak Vester akan sedikit ngawur.

“Paradigma saya tidak bisa diterapkan dalam konteks politik. Yang ada di parlemen kan harus berkualitas. Nggak peduli dia laki, perempuan, bencong atau yang punya dua-duanya sekaligus, silahkan duduk di sana yang penting bisa buat bangsa ini baik! Sekarang saya tanya. Kalau kuota perempuan di parleman terpenuhi, apa nanti harga sembako bisa langsung turun dan bangsa ini lantas sejahtera?” Vester kembali bicara.

Kopi diseruput melalui lepek, piring ceper kecil yang punya beberapa fungsi. Sebagai tatakan gelas, penyaring, dan pendingin kopi. Zack kali ini mencoba bicara, dengan nada rendah, seperti berusaha menurunkan tensi diskusi. “Saya pikir ada benarnya juga sih tuntutan aktivis perempuan itu. Selama ini, perempuan di negara kita memang seperti termarginalkan.”

“Jangan salah Zack. Presiden kita sekarang perempuan. Kalau toh kamu pikir mereka termarginalkan, sebenarnya itu karena mereka memarginalkan diri mereka sendiri,” Vester sedang semangat berdebat.

“Maksud kamu?”

Baca juga: FF100K Karina – Kuitansi

It’s easy. Selama ini mereka berjuang atas nama emansipasi. Termasuk mematok jumlah per jenis kelamin di parlemen. Saya melihatnya sebagai perjuangan yang berangkat dari rasa termarginalkan yang ada dalam pikiran mereka sendiri. Artinya, mereka termarginalkan oleh pemikiran mereka sendiri, bukan oleh situasi nyata.”

(adsbygoogle = window.adsbygoogle || []).push({});

“Ada penjelasan lebih sederhana?” Zack kebingungan. Dia anak ekonomi dengan IP pas-pasan. Penjelasan Vester terasa terlalu rumit, terutama karena disampaikan dengan cepat dan berapi-api. Aku sendiri merasa yang bingung bukan Zack seorang. Vester juga tampak bingung dengan penjelasannya sendiri.

Aku bertahan menjadi peserta diskusi pasif. Bukan karena tak peduli, tetapi siaran Rendezvous selama satu jam membuat otot rahang sedikit lelah. Program ini memang sialan. Memaksa  untuk terus bicara, berinteraksi dengan pendengar yang bergabung via saluran telefon, membaca bahan siaran, dan baru berhenti pada jeda iklan.

Artinya, empat puluhan menit  bicara, dua puluh menit lainnya dipakai untuk tiga kali break iklan. Lagipula, pandangan Silver tadi juga sempat kudengar dari seorang penelepon.

“Sederhananya begini, Zack,” Vester mulai lagi. “Dalam kepala sebagian aktivis perempuan, emansipasi itu lebih dari sekedar penyetaraan jender. Mereka ingin setara dalam segala hal dengan laki-laki. Kalau laki-laki jadi anggota dewan, perempuan juga harus jadi anggota dewan, tak peduli pertimbangan kualitas dan kapabilitas.”

“Maksud kamu, ada gejala perempuan, maksudku aktivisnya berusaha mengalahkan laki-laki?”

“Sempurna! Dan itu berawal dari pemikiran bahwa laki-laki adalah mahkluk keji yang selalu mengalahkan mereka.”

Kopi diseruput. Tangan menggapai gorengan tersisa. Satu tahu berontak sukses masuk ke kerongkongan. Tamu warung gorengan hanya kami bertiga. Yang lain telah pulang, mungkin tak betah dengan diskusi kami. Tak banyak yang senang diskusi sambil makan. Sebagian menyukai diskusi tentang makanan. Biarlah.

Entah mengapa, aku masih berusaha konsisten untuk tidak ikut bersuara tetapi mulai berpikir tentang obrolan yang semakin lama semakin terlihat terlampau idealis. Semoga terminologi ini benar.

Aku khawatir obrolan santai ini berubah menjadi lebih parah dari proyek kuota jenis kelamin di parlemen. Aku takut kalau-kalau kami bertiga terjebak pada konsep perjuangan maskulin yang memaksa kami mencari formula terbaik untuk bertahan pada status quo: Lelaki Mendominasi!

Sejenak  melarutkan diri dalam kopi gelas kesekian, kali ini pisang goreng dingin punya giliran bertemu gigi, masih dengan kepala yang berpikir.

Ketakutan  wajar. Obrolan warung kopi sebenarnya berawal dari niat baik untuk menyibak sedikit rahasia perempuan. Hanya untuk menyelami mengapa perempuan menarik?

Secara pribadi aku juga ingin sedikit tahu mengapa tak pernah kulihat Ibu mengeluh, meski tahu potongan gaji suaminya cukup besar dan anak lelakinya senang makan ikan yang besar.

Diskusi malam itu berakhir sebagaimana biasa. Membingungkan. Jenis kelamin serentak menjelma menjadi agama.

* * *

Beberapa tahun setelahnya aku bertemu Ibu. Dia membelikanku celana baru di pasar Kamisan di kampung kami. Mengenakan celana yang dibeli Ibu aku menyaksikan berita-berita terkini di televisi.

Seorang bendahara meminta dirinya dipenjara, asal istri dan anaknya perempuannya selamat. Dia menulis surat kepada Presiden. Istrinya berpenampilan mewah dan kaya.

Kasus korupsi di parlemen belum selesai. Beberapa perempuan kabarnya memegang peranan penting dalam penyalahgunaan uang negara.

Seorang perempuan tak memberi ijin pada anak tirinya menjenguk suaminya, ayah anak itu, yang sedang sakit. Dia istri kedua, dahulu dikenal sebagai aktivis perempuan.

Ibu datang membawa segelas kopi. “Kali, jangan nonton tivi terus. Sesekali, pergilah olahraga,” katanya. (Selesai)

Catatan:
Cerpen ini sebelumnya telah disiarkan di beberapa blog keroyokan dengan versi yang hampir selalu berbeda. Versi yang baru saja kawan sekalian baca adalah suntingan atas “Perempuan Itu” yang disiarkan di blog Kumpulan Fiksi.

Tanggapan Anda?

Scroll to Top
%d bloggers like this: