Penyandang Disabilitas di Ruteng: Tuna Netra Baca Puisi, Tuna Rungu Mengarang Cerita

Di SLB Karya Murni Ruteng, saya menyaksikan beberapa anak tuna netra membaca puisi dan yang tuna rungu/tuna wicara mengarang cerita. Ini pengalaman baru yang asyik. Saya menceritakannya sebagian untuk teman-teman ranalino.co dalam rangkaian peringatan Hari Disabilitas Internasional tahun ini.

penyandang disabilitas di ruteng tuna netra baca puisi tuna rungu mengarang cerita
Marcelus Ungkang di kelas menulis untuk penyandang disabilitas di Ruteng | Foto: ranalino.co

Penyandang Disabilitas di Ruteng: Tina Netra Baca Puisi, Tuna Rungu Mengarang Cerita

Hari ini, 1 Desember 2017 saya dan teman saya di baca-membaca Marcelus Ungkang kembali mendapat kesempatan berbagi di kelas yang sama. Sebelumnya kami sering berduet di beberapa program. Terakhir ketika Wahana Visi Indonesia (WVI) Manggarai ‘membantu’ panitia Jambore Anak GMIT Klasis Flores beberapa waktu lalu di Rumah Retret Wae Lengkas.

Kisah dari Wae Lengkas dapat dibaca di sini: Menjadi Blogger Tidak Akan Buat Seseorang Mendadak Keren Bagian Keempat.

Hari ini, dalam rangkaian peringatan Hari Disabilitas Internasional (HDI) 2017 di Ruteng, WVI Manggarai kembali mengajak kami terlibat dalam kegiatan serupa. Mereka membuka empat belas kelas peminatan, salah satu kelasnya adalah “Menulis dan Menjadi Blogger”.

Di kelas inilah saya dan Celus berduet, sekaligus menemukan pengalaman yang sama sekali baru: berbagi dengan para penyandang disabilitas. Kegiatannya berlangsung di SLB Karya Murni Ruteng.

Tidak memiliki pengalaman tentang bagaimana harus berhadapan dengan murid di sekolah luar biasa membuat kami (terutama saya) sempat keringat dingin. Bagaimana menjelaskan blog kepada anak-anak tuna rungu dan tuna netra? Saya yakin di kelas lain juga, para praktisi seni lukis, public speaking, jahit-menjahit, masak-memasak, rias wajah, paramedik, musik, dan lain-lain, mengalami situasi yang mirip.

Saya masuk terlambat, Celus telah mulai berbagi kepada tiga anak tuna netra, empat anak tuna rungu, dua anak dari kelompok dampingan WVI. Yang dua ini bukan penyandang disabilitas. Ada dua orang lain di dalam kelas itu, Pak Elias dan Ibu Rinny, keduanya adalah guru di SLB Karya Murni, Ruteng. Tugas mereka adalah menjadi jembatan manakala kami berjumpa dengan kesulitan-kesulitan kecil dalam proses berbagi.

Saya datang, duduk, menyimak, dan lantas membayangkan tentang hal-hal yang mungkin akan saya lakukan jika giliran saya telah tiba: berbagi tentang menjadi blogger. Celus berjibaku, memakai isyarat tangan dan berusaha membuka mulut lebar-lebar ketika menjelaskan ke anak tuna rungu, dan mendeskripsi dengan jelas setiap benda yang dipegangnya. Ini untuk anak tuna netra, tentu saja.

Semua teori yang sangat dia kuasai–dia seorang dosen sastra, menulis puisi, naskah teater, skrip film, dan esai dengan sangat baik–disederhanakan formulasinya, dicarikan padanan yang lebih kontekstual, dengan tujuan: anggota kelas melahirkan karya puisi yang akan dipentaskan keesokan harinya pada Puncak Peringatan Hari Disabilitas Internasional Tingkat Kabupaten Manggarai di Aula Katedral Ruteng. Tugas yang sulit tetapi Celus tampak menikmatinya. “Saya belajar hal baru hari ini,” katanya dengan tersenyum.

(adsbygoogle = window.adsbygoogle || []).push({});

Seperti biasa, setiap kali Marcelus Ungkang mengajar, saya yang turut hadir selalu mendapat sesuatu yang baru. Kali ini adalah usaha membuat padanan kata yang tidak biasa, kemudian mengolahnya menjadi puisi.

Kata jendela biasanya dekat dengan atau kerap dipadupadan dengan kaca, kayu, kelas, ilmu. Padanan yang tidak biasa adalah dengan waktu, kenangan, hatimu. Masukkan padangan kata tak biasa itu ke dalam puisimu. Ceritakan sesuatu di sana. Cool! 

Mereka, beberapa anak yang berminat pada puisi, anak-anak tuna netra, akhirnya bisa bikin puisi. Mereka langsung berlatih membaca setelahnya. Hebat! Mereka siap tampil di acara puncak.

Giliran saya datang juga. Berbagi tentang menjadi blogger. Ckckck… Harus mulai dari mana? Akan sangat teknis, penuh dengan istilah-istilah yang tidak akrab bahkan di telinga saya sendiri, seumpama: SEO, edit html, perang keyword, dan lain sebagainya. Maka saya dan Celus sepakat, tentang blog kita persingkat saja menjadi cerita tentang apa itu blog. Blog adalah halaman pribadimu di internet. Dia hampir seperti bergabungnya buku harian dan koran tetapi di halaman maya. Aiiih… ini teori macam apa?

Tentang apa itu blog, dapat dibaca di sini: Menjadi Blogger Tidak Akan Buat Seseorang Mendadak Keren Bagian Pertama

Selebihnya, tugas saya adalah membantu beberapa anak tuna rungu menulis cerita. Mereka menulis, saya membaca, membuat pertanyaan, lalu membantu mereka menyunting tulisannya sendiri.

Dari hasil pembacaan singkat saya menemukan bahwa para pencerita masih gemar menulis kesimpulan mereka tentang suatu peristiwa ke dalam karangannya. Ini bukan hanya soal penyandang disabilitas. Ini soal sebagian besar penulis. Seorang anak misalnya bercerita bahwa di sebuah swalayan dia melihat seorang ibu yang kurang berada.

Saya bilang, kurang berada itu kesimpulan penulis.  Mengapa tidak ceritakan saja ciri-cirinya dan biarkan pembaca yang membuat kesimpulan? Saya tidak bilang apa-apa tentang to show dan to tell, dan memilih membuat tabel, sekaligus menyarankan agar mereka lebih sering menuliskan peristiwa ke dalam cerita daripada menulis kesimpulan mereka.

penyandang disabilitas di ruteng tuna netra baca puisi tuna rungu
Tabel sederhana tentang to show dan to tell dalam penulisan cerita | courtesy of ranalino.co

Setelahnya, seorang peserta tuna rungu menulis ceritanya. Saya siarkan di ranalino.co atas persetujuannya, sedangkan karya puisi beberapa anak hasil percakapan mereka dengan Njeuk akan dibaca di hadapan ribuan peserta kegiatan Puncak Peringatan HDI 2017 di Ruteng.

Sebuah langkah lanjutan yang saya pikir adil untuk kehadiran kami di sana: menulis dan menjadi blogger. Percayalah, kelas seperti ini butuh waktu berhari-hari agar dapat sampai di titik pencapaian minimal. Tidak ada yang bisa membuat blog dan menghasilkan tulisan yang luar biasa hanya dalam waktu sehari berbagi.

Tetapi hari ini tetap luar biasa karena kami (atas bantuan WVI) telah memulai sesuatu. Langkah awal selalu penting untuk ribuan langkah berikutnya. Menjadi luar biasa karena yang kami ajak berbagi adalah anak-anak luar biasa. Saya menulis catatan ini dengan penuh semangat. Semoga semakin banyak kelas awal seperti ini di Ruteng.

Selanjutnya, simak cerita karangan anak tuna rungu itu berikut ini.

Pemberian Ibu


Oleh: Paulinus Risky Lebhe


Pengalaman yang berharga ini kuperoleh ketika aku berusia 16 tahun. Waktu itu aku sedang berbelanja di swalayan kecil di kotaku. Ketika antri membayar aku melihat ada perempuan di depanku yang pakaiannya sobek, badannya kurus, mukanya pucat pasi, dan sandalnya hampir putus.

Aku menghampiri perempuan itu sementara Ibuku di belakangku melihat-lihat hal-hal di sekitarnya. Perempuan itu membawa banyak barang. Ketika kasir menjumlahkan, ternyata uangnya tidak cukup. Perempuan itu mengeluarkan barang belanjaannya untuk dikembalikan. 

Aku memberitahu Ibuku tentang perempuan itu. Ibuku segera menghampirinya. Perempuan itu tampak kaget.
“Ini uang untuk memenuhinya,” kata Ibu perlahan.
“Tidak. Saya tidak mau menerimanya,” ujar perempuan itu.
“Anggap saja ini hadiah. Saya yakin Anda menerimanya,” balas Ibuku.
Perempuan itu lalu menerimanya, “Terima kasih banyak. Baru kali ini saya menemukan ada orang baik seperti Anda.”

(adsbygoogle = window.adsbygoogle || []).push({});


Kejadian itu membekas dalam sekali di hatiku. Satu minggu kemudian aku melihat ada anak kecil yang meminta dibelikan tas. Dia menangis. Ternyata Ibunya selalu berkata: “Besok, bulan depan, kalau Ibu sudah punya uang.” Kuhampiri anak itu dan memberikan tasku padanya. Esok harinya aku melihat anak itu sudah ke sekolah dengan senyum ceria.

Satu tahun kemudian, sewaktu pulang berbelanja dari swalayan, aku dihajar oleh pria mabuk. Aku langsung lari dan mengalami kesulitan mencari tempat perlindungan. Aku berteriak minta tolong. Tiba-tiba datanglah seorang pria menolongku. Pria itu lalu membawaku ke rumahnya untuk melindungiku.

Aku menceritakan kejadian itu kepada keluargaku. Aku teringat, Ibuku pernah menolong orang. Ternyata memberikan sesuatu kepada orang yang membutuhkan itu dapat mendatangkan kebahagiaan yang luar biasa.

Tamat

Ketika menulis final cerita ini, Risky (19 tahun), siswa SLB/B Karya Murni, Ruteng, memakai beberapa bahan dari materi kami, termasuk tidak memasukkan kesimpulannya ke dalam cerita. Saya tentu saja sangat menikmati situasi ini. Sebelum pulang, kepada Risky saya bilang bahwa dia hebat. Tentu saja saya menggunakan jempol untuk menegaskan maksud.

Seorang tuna rungu yang bisa menulis cerita dengan baik adalah hal yang sangat hebat. Anak-anak tuna rungu memiliki kosakata yang terbatas. Maka marilah kita memberi hormat setinggi-tingginya kepada para guru yang mengenalkan mereka pada bahasa. Setelah mereka mempunyai, mereka mampu berbagi. Hidup itu sesederhana itu barangkali. Kalau kau punya, berbagilah. Kalau kau tidak tahu, belajarlah. Kalau kau ingin menulis, bacalah.

Saya berjanji akan memberi Risky satu buku bacaan. Semoga nanti terwujud. Saya juga sedang berpikir untuk merancang satu kegiatan baru. Entah kapan, saya mauuu sekali bikin audio book untuk anak-anak tuna netra. Ada yang mau bergabung dalam rencana ini?

Salam
Armin Bell
Ruteng, Flores

Ps:

  • Saya berterima kasih kepada Marcelus Ungkang yang mengajak saya dalam duet ini. Beberapa tulisan Celus dapat dibaca di blog ini.
  • Terima kasih kepada Wahana Visi Indonesia (WVI) Manggarai yang kurikulumnya sangat bagus dan ingin saya pakai untuk kesempatan pendampingan lain. Senang bisa bekerjasama dan saling belajar.

2 thoughts on “Penyandang Disabilitas di Ruteng: Tuna Netra Baca Puisi, Tuna Rungu Mengarang Cerita”

Tanggapan Anda?

Scroll to Top
%d bloggers like this: