Om Rafael Umumkan Larangan Terbaru: “Jangan Menggendam!”

Kita tidak boleh dendam. Pada apa saja, pada siapa saja. “Jangan menggendam!” Kata Om Rafael dengan suara nyaring. Saya dan Dar protes, tetapi siapa bisa apa dengan Om Rafael?

om rafael umumkan larangan terbaru jangan menggendam
Pemain sepak bola tunggal putra | ranalino.co

Om Rafael Umumkan Larangan Terbaru: “Jangan Menggendam!”

Ini adalah babak baru dari sekian banyak babak–yang berisi kekeliruan kata-kata, peribahasa campur aduk, dan nasihat-nasihat super Om Rafael–hidup masa kecil saya di Pateng, Paroki St. Markus, Manggarai Barat. Kali ini, yang terlibat di dalam cerita adalah tiga tokoh kita: saya, Dar, dan Om Rafael, dan yang paling menonjol di antaranya adalah Om Rafael.

Saya dan Dar sedang bermain bola. Berdua saja. Saya melawan Dar. Bukan badminton, bukan pingpong, tetapi sepak bola. Ya, kami bermain sepak bola secara tunggal putra. Saya cetak gol ke gawang Dar, berlari-lari melakukan selebrasi, memeluk diri sendiri, tos (hi-five) sendiri, menangis terharu sendiri, ngos-ngosan sendiri. Tak ada teman. Bagaikan para jomlo di malam Minggu yang sepi #halaaah.

Di pihak lawan, Dar menggerutu sendiri, memarahi dirinya sendiri, pungut bola sendiri, lalu omong-omong sendiri; atur strategi dengan dirinya sendiri untuk mengejar ketinggalan satu gol. Saat itulah Om Rafael datang. Tertawa-tawa sendiri menyaksikan dua anak memainkan sepak bola tunggal putra dan merasa aneh karena di saat yang sama, di bagian lain lapangan sepak bola Pateng, sekelompok anak bertanding seru. Dua tim, masing-masing tim berisi lima orang pemain. Cukuplah untuk disebut pertandingan sepak bola.

Di ujung tawanya, Om Rafael berdiri di tengah lapangan kami. Lalu duduk. Lalu memanggil kami berdua. Di tempat itu hanya kami bertiga. Pita hitam pada karangan bung…, halaaah, malah lari ke puisi. Pokoknya begitu. Kami berdua ditanyai alasan memutuskan menggelar pertandingan sepak bola tunggal putra.

“Kami jengkel dengan mereka, Om,” terang saya. Dar menyambung dengan cerita tentang bagaimana anak-anak di sebelah itu mengusir kami dari jalinan pertemanan. “Mereka tidak suka karena kemarin kami dapat hadiah sebombon lidi dari Guru Kepala karena kami kerja tugas benar semua,” kata Dar. Kami memang mendapatkannya kemarin, memamerkannya, sambil mengelus-elus leher dan bilang: “Enaaaaak!” Teman-teman kami meminta jatah tetapi kami sedang sangat menikmati hadiah itu dan tidak rela bagi-bagi.

“Lalu?” Tanya Om Rafael.
“Lalu mereka bilang ‘kita musu’ e. Lalu kami bilang ‘biar to’. Lalu hari ini mereka tidak mau ajak kami main bola sama-sama,” jelas saya menyingkat cerita.
“Lalu kami sepakat main bola berdua saja, Om. Tetapi ternyata tidak enak e aeh. Tapi biar saja tah, daripada mereka minta kami punya sebombon lidi,” sambung Dar.
“Sebombon lidinya masih ada?”
“Sudah habis, Om!”
“Terus kenapa takut mereka minta lagi?”
Kami diam. Kenapa?

(adsbygoogle = window.adsbygoogle || []).push({});

Kemudian Om Rafael memerbaiki posisi duduknya. Kami tahu, ini adalah awalan Om Rafael akan mulai memberi nasihat. Betul saja. Sesaat kemudian muncul kalimat panjang dari mulutnya: “Sebombon lidi itu memang godaan, Nana. Dia bisa menjadi awal permusuhan. Apalagi kalau dinikmati sendiri. Kalau sudah telanjur begitu, Nana dorang harus minta maaf ke mereka. Menikmati rezeki sendiri-sendiri itu baik, tetapi jangan pamer. Karena kamu pamer, makanya teman-temanmu jadi jengkel. Kalau sudah begitu, risikonya kamu ditendang dari pertemanan. Sakit to?”

Saya menganga, Dar mengongo, kami berdua tak tahu ke mana arah percakapan ini. Untunglah Om Rafael melanjutkan penjelasannya dengan lebih sederhana. Dia menceritakan pengalamannya yang mirip dengan situasi kami. Dahulu, Om Rafael pernah memusuhi teman-temannya–alasannya tidak dia ceritakan–dan memutuskan menjadi penyendiri. Lalu dia dipanggil “Orang Aneh”. “Hanya orang aneh yang memutuskan bermain sendiri. Dan di negara ini, orang aneh tidak disukai, meskipun dia benar,” terangnya.

“Lalu kami harus bagaimana?”
“Berusahalah berteman lagi. Minta maaf saja.”
“Tapi mereka sudah omong jelek tentang kami, Om.”
“Mau punya teman lagi atau mau jadi pemain sepak bola tunggal putri?”
“Putra, Om.”
Okay. Tapi kamu berdua bukan putra saya!”
“OOOOOM!”

Singkat cerita, kami memutuskan mengikuti nasihat Om Rafael. Kami mendekat ke kelompok sebelah, meminta maaf–agak menjengkelkan proses itu karena kami terlebih dahulu diolok-olok–dan mereka menerima kami kembali ke dalam kelompok. Om Rafael tersenyum bangga dari kejauhan.

Ketika seluruh proses itu selesai, Om Rafael mengucapkan selamat karena kami telah kembali ke dalam kelompok.
“Jangan menggendam,” katanya.
“Mendendam, Om!”
“Mendendam itu kalau kau pakai kau punya kaki untuk cetak gol. Itu namanya mendendam bola.”
“Itu menendang, Oooooom!” Saya berteriak jengkel.
“Saya ini orang tua, Nana. Saya lebih tahu!”

Dar berusaha mengatasi ketegangan kami dengan mengatakan bahwa mendendam itu adalah proses mencuci baju. “Kalau bajunya terlalu kotor, kita harus mendendam dulu,” katanya. Om Rafael setuju. Tiba-tiba saja saya ingin bermain sendiri lagi. Tetapi saya lalu ingat bahwa di negara ini, bahkan orang benar pun, kalau jumlahnya sangat sedikit (apalagi sendiri), akan dianggap aneh.

Puluhan tahun kemudian, Om Rafael menelepon beberapa saat setelah Ahok dipenjara. Dia bilang, “Ahok terlalu sendiri, Nana. Makanya dia digendam. Di situ kadang saya merasa menyimpan rendam pada mereka. Tetapi kita bisa apa? Jalan kaki di trotoar saja kita tidak boleh.” Saya tanya apakah di Pateng ada trotoar, Om Rafael bilang: “Trotoar itu apa, Nana?” Saya bilang: “Mungkin tempat pertunjukan kebodohan.”

Om Rafael menyadari nada saya yang murung. Di akhir percakapan kami, dia bilang, “Nana, jangan menggendam. Pesimislah bahwa suatu saat negara ini akan lebih baik.” Saya mau bilang bahwa kata yang benar adalah optimis, tetapi itu Om Rafael, orang tua, orang kebanyakan; saya bisa apa?

Salam
Armin Bell
Ruteng – Flores

Ps:
Maaf. Akhir-akhir ini Om Rafael sulit melucu. Dia sedang sibuk meredam dendam #halaaah. 

Kisah Om Rafael dalam model dialog dapat disimak di tautan ini.

2 thoughts on “Om Rafael Umumkan Larangan Terbaru: “Jangan Menggendam!””

Tanggapan Anda?

Scroll to Top
%d bloggers like this: