Ahok jadi presiden. Om Rafael melihat peluang itu. Menurutnya, kalau Ahok tidak punya peluang jadi presiden maka dia tidak bisa jadi presiden. Duh!
Ruteng, 27 November 2018
Om Rafael jatuh cinta berat dengan Ahok. Buktinya, ketika film “A Man Called Ahok” tayang, Om Rafael sibuk menjelek-jelekkan film Hanum dan Rangga. Hanya itu yang bisa Om Rafael lakukan untuk membuktikan kecintaannya. Alasannya jelas. Rasa cinta sebesar dunia itu tidak mungkin ia wujudkan melalui pergi ke bioskop dan nonton Daniel Mananta. Bukan karena tidak mampu beli tiket. Om Rafael bisa saja jual seekor babi di kandangnya kalau dia mau. Soalnya adalah tak ada bioskop di kampung kami.
Tentu saja memilih menjelek-jelekkan film lain juga bukan pilihan yang tepat jika mempertimbangkan kondisi tak ada bioskop tadi. Tapi Om Rafael kan cuek, to? Dia bilang, selama Ahok masih hidup, tak ada Hanum dan Rangga. Karena Rangga harus berpasangan dengan Cinta dan cinta Om Rafael hanya untuk Ahok.
“Kalau soal polisi, saya pilih Ahok!” Katanya tegas.
“Hae… Kenapa polisi?”
“Iya to. Yang berurusan dengan pemerintahan dan Pemilu,” jelasnya.
“Haissss… itu politisi, Om.”
“Kurang beberapa huruf saja, Nana su mulai protes.”
Tinggal aku sendiri terpaku menatap langit dan berpikir: begini barangkali yang dipikirkan oleh pekerja media daring yang kerap lupa huruf itu. Tetapi di langit tak ada jawaban. Juga di rumput-rumput yang bergoyang.
Baca juga: Asyiknya Berkelahi di Era Milenial, Tidak Ada Penonton Tak Ada Perkelahian
Nah, soal peluang Ahok jadi presiden ini, Om Rafael angkat bicara. Pakai hipotesis (yang dia sebut hipotalamus) lengkap. Menurutnya tidak ada seorangpun di negeri ini yang membenci Ahok. Semua menyayanginya dan ingin agar beliau jadi presiden. Karena itulah banyak orang yang berusaha mem-bully Ahok dengan harapan beliau dipersepsikan teraniaya.
“Dengan mensalami Ahok, peluangnya menjadi presiden semakin terbuka,” paparnya.
“Zalim, Om. Bukan salam. Menzalimi.”
“Ya. Begitulah. Zamir. Di negara ini berlaku: siapa teraniaya dia dikasihani, siapa dikasihani dia dicintai lebih, siapa dicintai lebih dia dipilih jadi presiden.”
Dengan bersemangat dia bercerita tentang periode pertama Pa Esbeye. Juga Pa Jokowi tahun 2014 lalu. “Yang kuli Ahok itu hanya pura-pura kejam. Mereka cerdas dan berharap Ahok semakin dikasihani atas segala sikap kasar yang dia terima. Hanya saja, Ahok bukan calon presiden. Kalau dia calon presiden, pasti menang talak. Pasti Ahok jadi presiden.”
Saya tahu, maksud Om Rafael pasti bully dan bukan kuli, telak dan bukan talak. Sudahlah. Jangan dipikirkan. Yang paling penting adalah bahwa menurut Om Rafael, siapa disakiti dia dikasihani. Siapa dikasihani dia bisa jadi apa saja yang dia mau. Berarti kalau Pak Prabowo terus di-bully, dia akan jadi presiden?
Baca juga: Dialog Om Rafael – Betapa Kita Merindukan Ahok
Percakapan kami tiba-tiba berpindah ke Hanum dan Rangga. Bukan soal filmnya tetapi soal orang di balik orang yang membuat film itu ada. Maksudnya, orang di balik Hanum Rais. Siapa lagi kalau bukan Amin Rais?
“Nana ingat dulu Pak Amin janji jalan kaki dari Jogja ke Jakarta?”
“Iya. Dan batal.”
“Memang harus batal. Kalau tidak ada batal, bagaimana kita bisa tidur?”
“Itu bantal, Om.”
Om Rafael tertawa panjang. Lalu melemparkan pertanyaan yang dia anggap pamungkas. “Kalau Pak Amin saja mengingkari janjinya, kenapa kita harus percaya pada anaknya?”
Saya ingin sekali bilang bahwa dua hal itu tidak berhubungan. Tetapi Om Rafael segera menyampaikan peribahasa: air cukuran atap jatuhnya ke pelimpahan juga.
“OM! ITU SALAH. YANG BENAR ITU: AIR CUCURAN ATAP JATUHNYA KE PELIMBAHAN JUGA!”
Om Rafael tidak peduli. Baginya, kalau mertuanya kejam, mantan menantunya pasti kejam juga. What? Ini omong Hanum dan Amin atau orang lain? Om Rafael tersenyum saja. Baginya, suatu saat, Ahok pasti jadi presiden. Kalau kau tanya kenapa, Om Rafael akan jawab: “Daripada tidak jadi presiden?”
–
Salam dari Kedutul, Ruteng
Armin Bell
–
Kisah Om Rafael