Om Rafael Ingin Curhat dan Minum Obat
Dia datang dari arah matahari terbenam, di bawah gerimis senja, melintasi lapangan sepak bola, menendang begitu saja
bola rokod–terbuat dari kertas-kertas bekas yang ditumpuk bulat diikat tali rafia–yang tergeletak di lapangan dan telah basah karena hujan siang tadi. Bola itu melayang jauh dan kertasnya tercabik-cabik bertebaran.
Tali rafia pengikatnya tersangkut di jemari kakinya yang ukurannya sulit dibedakan, jempol dan kelingking balapan gemuk. Agak kerepotan dia melepas tali itu, hilang keseimbangan, jatuh terduduk, menendang-menendang membebaskan kakinya dari lilitan temali itu. Tangannya memukul-mukul tanah.
Setelah perkara itu selesai, Om Rafael bergegas mantap melintas lapangan menuju halaman rumah Guru Don. Rumah kami. Sebelum badan, suaranya yang tiba lebih dahulu, menggelegar.
“Nana, mana Armin?” Tanyanya pada saya dengan suara yang lantang.
“Eh, mmm… Aduh. Ini saya, Om,” jawab saya dalam keraguan. Dia cari Armin yang mana?
“Aduh, sorry. Maksud saya, Armin, mana Nana?”
“Haeee, ini masih saya, Om,” saya mulai cemas. Ada apa ini?
“Aeeeh,” katanya sambil memukul dahinya, “maksud saya, Nana Armin, mana Guru Don?”
Haleluya. Om Rafael mencari Guru Don rupanya. Mungkin karena terlampau terburu-buru, koordinasi mulut dan maksudnya menjadi agak kacau. Om Rafael kadang begitu dan kami semua maklum. Saya juga kadang begitu ketika
belajar menulis. Maksud hati menulis mantan presiden, yang tertulis malah kantung mata.
#eh Saya katakan bahwa Guru Don masih di kebun belakang, sedang memotong kingres untuk dicampur di makanan babi. Om Rafael terkejut sebentar lalu berkomentar bahwa tidak seharusnya Tuang Guru Don ada di kandang babi mengurus babi karena beliau itu pegawai negeri dan di negeri ini pegawai harus bersih.
Saya mau bilang bahwa Guru Don memang bersih karena dia hanya guru SD dan dengan uang manakah guru SD di kampung dapat kotor, tetapi saya urungkan niat itu karena yang Om Rafael maksudkan pasti kotornya kandang babi. Dia sudah khatam dengan urusan kandang babi dan tetek bengeknya maka saya percaya saja bahwa mengurus babi itu kotor.
(adsbygoogle = window.adsbygoogle || []).push({}); |
Lagi pula wajah Om Rafael sedang menegang pertanda dia tegang. Kalau wajahnya mengendur maka dia sedang kendur, kalau mengilat barangkali dia sedang khilaf halaaah… Di langit kilat berkelebat dan mulai terdengar lirik …kilat sambar pohon kenari… dari lagu Hujan Sore-Sore. Om Rafael melihat saya. Saya melihat Om Rafael. Kami dua lihat-lihatan, bertukar cakap tanpa suara, hanya mata yang mendelik-delik mengirim dialog.
Baca juga: Membaca itu Penting Bagi Penulis
“Iya, makanya tadi Om tanya to?”
“Betul juga e. Terima kasih.”
“Ah, itu maksudnya. Harap maklum. Kami sudah tua. Demikianlah…”
“Syukur kepada Allah,” pesan Om Rafael lewat delik matanya dan langsung membuat tanda salib.
Tangan saya terentang seperti pastor hendak memberi berkat ketika lagu Hujan Sore-sore tiba-tiba berhenti dan berganti kalimat tanya: Kamu dua ini kenapa?
Itu suara Guru Don yang ternyata mendendangkan lagu Hujan Sore-sore itu. Om Rafael lega telah mengetahui sumber sumber nyanyian. Katanya kemudian: “Kami tadi telenovela, Tuang Guru. Percakapan dari hati ke hati dengan Armin. Iya, to Nana?”
“Iya, Bapa. Kami berhasil telegram,” jelas saya bangga. Guru Don tersenyum lalu menjelaskan kata yang tepat untuk kegiatan seperti itu: teletubies, upsss, telepati maksudnya.
“Ada apa, Om Rafael gerimis begini datang ke mari?” Tanya Guru Don kemudian.
“Maksudnya pohon kenari?” Om Rafael melakukan konfirmasi. Guru Don tertawa kecil lalu mengulang pertanyaannya tetapi mengganti ke mari dengan ke sini. Om Rafael tersenyum lebar karena merasa dugaannya benar. Ya Allah, Tuhan YME. Ada apa dengan Om Rafael?
“Begini
Tuang Guru. Menurut saya bahaya paling lampin dari kebodohan adalah jika yang bodoh itu juga pendendam. Itu lampin sekali,” katanya memulai curhat senja itu. Saya bingung dengan kata lampin itu lalu bertanya apa artinya dan Om Rafael menjawab bahwa lampin itu sama dengan terpendam.
Terpendam itu lampin. Sesuatu yang bisa muncul sesewaktu. Karena itulah dia berkesimpulan bahwa orang bodoh yang pendendam atau pendendam yang bodoh itu masuk dalam kategori bahaya lampin dan berpeluang menimbulkan kekacauan.
Saya protes karena mengetahui bahwa lampin itu adalah kain pembungkus bayi. Saya baru saja jadi salah seorang pemain aktus natal dan kenal betul kata lampin itu. Om Rafael akhirnya sadar bahwa bahaya lampin bukan kata yang tepat dan menggantinya dengan sesuatu yang lebih mirip: bahaya lakban. Saya masih protes karena merasa itu salah dan Om Rafael berulang-ulang menggantinya dengan kata yang mirip; laskar, lambung, lampion, dan terakhir bahaya la nina.
Untunglah ada Guru Don yang akhirnya menjelaskan kata yang tepat yakni laten. Bahaya laten pendendam yang bodoh. Kira-kira begitu. Meski demikian, Guru Don tetap sulit menangkap maksud curhatan Om Rafael hari itu. “Bahaya laten bagaimana maksudnya ta Om Rafael?” Tanya Guru Don kemudian. Om Rafael lalu berkisah tentang pertemuannya dengan seorang teman lama.
Suatu waktu di masa lalu, keduanya pernah terlibat masalah pembagian keuntungan penjualan babi. Om Rafael selaku pemelihara babi merasa dirugikan karena temannya yang bertindak sebagai distributor salah menentukan harga jual. Om Rafael hampir rugi besar, lalu mengatai temannya sebagai orang yang bodoh. Temannya terluka dan melaporkan perbuatan tidak menyenangkan itu ke polisi hutan.
Polisi hutan bingung karena itu bukan ranahnya tetapi berbaik hati melaporkan masalah itu ke
Tua Golo. Setelah persidangan adat, Om Rafael didenda dua ekor babi. Masalah selesai.
“Tetapi tadi kami ketemu lagi, Tuang Guru. Dia marah-marah. Masih dendam karena saya pernah bilang dia bodoh. Untuk apa dia ringkas lagi itu masalah?”
“Maksudnya ungkit?” Sela Guru Don dengan lembut.
“Ringkas dan ungkit kan sama saja to, Tuang Guru?”
Saya hampir saja berteriak bahwa ringkas dan ungkit itu perbedaannya jauh sejauh langit dan jamban tetapi Om Rafael sedang tidak enak hati dan hukum utama menghadapi orang yang sedang tidak enak hati adalah berusaha tidak menyampaikan kritik atau dia akan tersinggung, mengamuk, dan curhat membabibuta, playing the victim manipulation, menempatkan diri sebagai korban.
Guru Don tampaknya menyadari peluang playing victim itu sehingga memutuskan untuk tersenyum saja lalu bercerita tentang dunia yang penuh dengan orang-orang dengan tipe bodoh tapi pendendam, atau pendendam tapi kurang pintar.
“Dulu saya punya teman kerja. Kami pernah berdebat dan dia kalah. Sejak saat itu, dalam setiap perdebatan, apapun yang saya usulkan, dia pasti bantah. Pokoknya saya bilang A, dia pasti bilang B,” Guru Don berkisah. “Saya sampai heran. Ini orangnya maunya apa? Suatu kali atap rumahnya bocor, saya usulkan agar kami sekantor membantu membeli sing baru agar atap yang bocor segera diganti. Dia menolak.
(adsbygoogle = window.adsbygoogle || []).push({}); |
Menurut dia, yang paling baik adalah membeli semen dan pasir, supaya lantai rumahnya semakin kuat dan tidak lekas rusak meski kena air hujan terus. Pokoknya dia memang memilih untuk selalu kontra dengan saya,” lanjutnya.
Menurut Guru Don, ketika berhadapan dengan orang seperti itu, langkah yang tepat adalah tidak ambil pusing. Abaikan saja orang-orang seperti itu.
“Apa?” Om Rafael berteriak garang. “Baikan? Puiih… Saya tidak sudi berbaikan dengannya,” lanjutnya dengan kemarahan yang telah sampai ke ubun-ubun.
“Abaikan, Om. Abaikan. Tidak usah dipedulikan. Jangan diambil hati. Nanti juga sadar sendiri,” terang Guru Don dengan sabar.
Untunglah Om Rafael lekas mengerti. Dia lalu melihat ke arahku dan berkata, “Kau ingat itu, Nana. Kau punya Bapa punya pesan. Kalau ketemu pendendam yang bodoh, kau harus mampu ambilkan.”
“Abaikan, Om,” kata saya memerbaiki.
“Dee ndeee, aeh. Ini Om Rafael bisa sampai di antalgin ini plesetan sebentar,” kata saya dengan khawatir bahwa dialog ini akan sangat lama di ‘mencari kata yang tepat’.
“Antalgin? Oleee, betul e. Ada antalgin, Tuang Guru? Saya agak kurang enak badan e. Kalau diabaikan ini gejala, bisa sakit parah saya,” pinta Om Rafael lalu pulang setelah mendapat sepapan antalgin.
Badannya mungkin meriang memikirkan temannya yang penuh dendam dan bodoh, atau bodoh dan penuh dendam. Masalah di tempat lain, mau diselesaikan di kasus yang sama sekali berbeda. Hari sudah mulai malam. Saya teringat cerita Bapa tentang temannya yang pernah kalah debat.
“Bapa, ada orang seperti itu, ka?”
“Ada. Tetapi rata-rata mereka sendiri tidak sadar. Kalau toh sadar, mereka tidak mau akui. Sudahlah, abaikan saja.”
“Bellarminus! Kau mulai macam Om Rafael lagi sudah. Tapi tidak apa-apa. Tolong andaikan handuk. Bapa mau mandi,” jawab Guru Don lalu melanjutkan lagu Waktu Hujan Malam-malam. Halaaah…