Ini kasus besar. Om Rafael merasa panitia Hardiknas salah menulis namanya di undangan upacara bendera. Meski demikian, dia tetapi hadir. Mengikuti upacara sampai selesai, dan sempat meneteskan air mata.
![]() |
Image: Courtesy of Drama Musikal Ombeng | Foto: Frans Joseph, Ruteng |
Om Rafael Ikut Apel Hardiknas Sebagai Orang Lain
2 Mei pada suatu ketika, kami semua sudah berbaris rapi jali di lapangan upacara. Saya di deret depan dengan baju putih dan celana merah hati. Muder Yuliana baru saja menyulap celana itu menjadi baru lagi setelah sebelumnya robek di bagian selangkangannya.
Tentang seragam yang mudah robek, saya sempat marah-marah karena Guru Don tidak membelikan saya merk laila purnama yang terkenal paten saat itu. Guru Don beralasan, gajinya dipotong sana-sini dan sisanya tidak cukup untuk merk yang saya mau.
Hari itu saya tidak marah-marah lagi karena dua alasan. Pertama, seragam saya sudah ‘baru lagi’, dan kedua, Om Rafael yang sedang marah-marah. Tidak enak rasanya kalau dua tokoh yang berteman akrab sama-sama marah-marah. Satu marah, satu menenangkan. “Itu propinsi pertemanan,” kata Om Rafael pada suatu ketika yang ternyata berarti ‘itu prinsip pertemanan’.
Mengapa Om Rafael marah-marah pada tanggal 2 Mei?
“Terlalu betul. Panitia bisa ganti saya punya nama di undangan,” gerutunya ketika melintas menuju tempat mereka berbaris. Saya menahan niat bertanya tentang kasus ‘ganti nama’ itu karena pembawa acara sudah mulai membaca: Upacara bendera peringatan hari pendidikan nasional bla bla bla …...
Upacara akhirnya selesai juga. Saya lihat Om Rafael sempat menitikkan air mata ketika mengheningkan cipta. Waktunya menyaksikan atraksi budaya. Anak-anak putri menari, anak-anak putra sibuk bilang cie cieee sambil tunjuk-tunjuk beberapa anak perempuan yang terlihat sangat cantik dengan selendang songke manggarai dan retu keemasan di kepala. Aih…
Baca juga: Ajak Anak-anak Anda Membaca Agar Mereka Tidak Radikal
Om Rafael mendekat. Masih ada sisa kesedihan di wajahnya. Entahlah. Itu sedih, atau marah, atau gabungan keduanya.
(adsbygoogle = window.adsbygoogle || []).push({}); |
“Nana, tadi saya marah-marah karena mereka ganti saya punya nama di undangan upacara. Di amplopnya mereka tulis Rafael, tetapi di dalamnya mereka tulis Para Tomas. Memang ada berapa orang sekali yang nama Tomas di kita punya kampung ini?”
“Mungkin maksudnya tokoh masyarakat, Om,” jawab saya tanpa menoleh. Mata saya tertuju pada seorang siswi yang menari dengan baik sekali. Selendang songkenya cantik sekali, #eh.
Om Rafael menepuk jidatnya dengan keras. “Oh, Tuhan,” katanya, “ternyata itu maksudnya itu tomas. Bagaimana saya bisa tidak tahu anonim?”
“Akronim, Om.”
“Nana, jangan karena ini hari pendidikan e, Nana mulai sok tahu. Ole aeh, tidak pernah habis-habis kritik saya e.”
“Tapi kan yang benar memang akronim, Om.”
“Iya, itu yang benar. Tapi jangan langsung perbaik begitu skali ka. Nana mengerti sap maksud tadi, to?” Om Rafael bicara dalam nada tinggi. Saya mengangguk tanpa menoleh.
Om Rafael lalu berkotbah panjang-lebar tentang pentingnya pendidikan, tentang bagaimana orang-orang terdidik tahu cara menyampaikan kritik dengan baik, dan tentang bagaimana orang-orang terdidik dapat menangkap pesan dari beberapa hal yang disampaikan salah. Obrolan yang absurd bagi anak dengan celana seragam merah hati saat itu.
“Bagus mereka punya penjas budaya e, Nana,” kata Om Rafael kemudian.
“PENTAS, OM. PENTAS!!!!”
“MIRIP, NANA. MIRIP!!!!
“Kalau saya besar, saya mau ajak Om bekelai nanti e, aeh.”
“Nana tidak mungkin begitu. Nana itu anak yang baik. Tahu pontang-panting. Guru Don dan Nyora pasti sudah ajar tentang pontang-panting to? Menghargai sesama,” kata Om Rafael sambil terkekeh.
“ITU SOPAN SANTUN, OM! KITA BEKELAI SEKARANG SAJA E?”
Om Rafael terkekeh lebih hebat. Dia tahu saya bercanda. Tetapi dia tetap ngotot bahwa sikap menghargai orang lain itu namanya pontang-panting. Dia juga cerita bahwa dia selalu menangis setiap kali mengheningkan cipta. “Budi pahlawan itu sungguh mulia,” katanya. “Iwan dan Wati juga,” tambahnya kemudian dan saya meradang mau menendang tetapi batal karena belum siap bekelai.
Baca juga: Paskah di Ruteng, Seorang Perempuan Memakai Gincu yang Lembut
Saya tiba-tiba ingat dia di hari pendidikan tahun ini. Seorang tomas yang menghargai pentingnya pendidikan. Ketika saya mengeluh tentang seragam saya yang bukan laila purnama, dia bilang bahwa yang paling penting adalah fungsinya. Bukan merknya.
Ketika saya lulus sarjana, dia bilang, “Ingat, Nana. Yang penting fungsinya, bukan kelarnya.” Mungkin maksud beliau adalah gelar. Atau memang kelar? Saya sudah kelar kuliah, terus mau diapakan gelar ini? Ah, pecahkan saja gelarnya, biar ramai, biar mengaduh sampai gaduh, kulari ke hutan kemudian…. halaaah.
Selamat Hari Pendidikan Nasional. Saya tidak jadi ajak Om Rafael bekelai sampai hari ini. Mungkin karena saya menghargai pontang-panting, eh, lintang-pukang, eh, tunggang lang…. halaaah. Apa sih?
Salam
Armin Bell
Ruteng, Flores
Kisah Om Rafael dalam bentuk lain dapat disimak di kategori Dialog Om Rafael.