Om Rafael di Minggu Tenang
Minggu Tenang ini bisa ditemui di beberapa kegiatan. Paling populer barangkali di perhelatan politik. Pada masa minggu tenang, semua kegiatan kampanye harus dihentikan; minggu tenang dimaksudkan agar para pemilih memiliki masa yang cukup untuk menentukan pilihannya melalui refleksi yang baik.
Saya selalu merasa, itu adalah situasi yang menyenangkan. Hening. Silentium magnum. Satu minggu. Enak to? Mantap to? Tirada lagi orang triak-triak tir jelas, baku maki de-es-be.
Di sekolah juga ada masa minggu tenang. Itu adalah masa satu minggu sebelum ujian. Peserta didik diberi waktu lebih untuk belajar, menyiapkan diri menjelang ujian. Tetapi sungguhkah ada masa tenang itu?
Ikuti cerita berikut ini. Cie cieee…
Apanya yang tenang kalau malah bikin Om Rafael sewot di minggu itu?
Sepekan menjelang ujian, kegiatan belajar mengajar di sekolah kami ditiadakan. Para murid tetap harus ke sekolah, tetapi hanya untuk belajar. Menyiapkan diri untuk ujian yang soal-soalnya sedang disusun oleh Guru Don dan koleganya; guru-guru kami di SDK Pateng. Namanya minggu tenang.
Tetapi minggu tenang memang hanya tenang di nama saja. Di udara, minggu itu sama sekali tidak tenang. Suara-suara anak-anak di kelas-kelas riuh ramai seperti dapat ditebak pada setiap kelas di manapun yang hanya ada murid tanpa guru. Ribut besar. Mengalahkan paduan suara kokak dari hutan akasia menyambut matahari pagi.
Om Rafael yang melintas di depan sekolah terheran-heran. “Ini minggu tenang atau minggu senang?” pikirnya, “bukankah seharusnya mereka diam?”
Maka dengan langkah mantap di masuk ke kompleks SDK, langsung meluncur ke ruang guru.
Bertemu Guru Don, dia bertanya: “Guru, gerangan apakah para murid ini riuh ramai?”
Guru Don tersenyum mendengar pertanyaan Om Rafael yang tertata rapi
jali. Mungkin ketika itu dia baru selesai membaca “
Tenggelamnya Kapal Van der Wijck”. Atau baru saja
membaca buku-buku Public Speaking. Siapa bisa menebak aktivitas seorang Om Rafael?
(adsbygoogle = window.adsbygoogle || []).push({}); |
Tak mau menjawab sendiri, Guru Don memanggil saya.
“Nana, tolong jelaskan ke Om Rafael, mengapa kalian ribut sekali,” kata Guru Don.
“Karena sekarang minggu tenang. Guru tidak masuk kelas. Begitu, Om,” jelas saya yakin kepada Om Rafael.
“Parameks,” gumam Om Rafael.
“Bukan,” kata Om Rafael, “Situasi ini namanya parameks. Di satu sisi namanya minggu tenang dengan alasan anak-anak harus belajar menjelang ujian, tetapi guru yang tidak hadir adalah penyebab anak-anak ribut. Dua-duanya benar tetapi seperti bertentangan. Pa-ra-meks.”
Saya bingung. Bukankah parameks itu obat dan bonteks itu merk celana dalam? Eh… Untunglah ada Guru Don yang segera menjelaskan kemungkinan maksud Om Rafael adalah: paradoks atau paradoksal.
“Doksal gigi atau doksal umum?”
“Itu dokter, Nana. Doksal itu kalau kita melakukan kesalahan yang merusak hubungan kita dengan Tuhan dan sesama,” kata Guru Don sambil terkekeh.
“Itu dosa ka, Tuang Guru. Ite malah ikut Nana Armin main prosotan lagi,” sergah Om Rafael. Semula saya ingin bilang bukan prosotan tapi plesetan, namun batal. Mata Om Rafael mendelik tanda genit eh, maksudnya tanda tak suka.
Kembali ke topik. Om Rafael lalu mengusulkan perubahan nama, dari ‘minggu tenang’ ke ‘minggu strategi’. Ditanya mengapa, Om Rafael berdalih bahwa pada minggu itu guru menyusun strategi menjebak murid dengan soal-soal yang sulit dan para murid menyusun strategi membuat contekan.
“Jadi istilah ‘minggu strategi’ itu lebih masuk atap,” jelasnya.
“Ya-ya-ya, masuk atlas,” kata Om Rafael dan berlalu.
Baca juga: Om Rafael Meminta Kita DiamDi udara seperti terdengar lagu: “Kau datang dan pergi sesuka hatimu, oooh, kejamnya dikau, sakitnya hati padaku (Padaku atau padamu? Entahlah. Di Manggarai, posisi mu dan ku kerap tertukar ketika dinyanyikan. Orang Manggarai kadang seasyik itu. Sunggumati!
Bertahun-tahun kemudian saya lalu mengerti mengapa Om Rafael tak setuju dengan istilah minggu tenang.
Orang tak benar-benar tenang pada hari-hari yang diatur sebagai hari-hari tenang. Mereka mengatur strategi. Ada-ada saja strateginya. Di politik misalnya, bisa bagi-bagi uang. Di masa menjelang ujian bisa bagi-bagi surat cinta karena sebentar lagi akan berpisah cie cieee.
Pokoknya tidak tenang. Sibu-sabuk, ribu-rabut, atur strategi.
(adsbygoogle = window.adsbygoogle || []).push({}); |
Saya ingat Om Rafael. Dia pernah bilang, orang beradab adalah orang yang menghargai bahasa dan mematuhi kalimat, tidak karena paksaan tetapi karena mengerti dan paham. “Menurut kamus, tenang berati tidak kacau; tidak ribut; tidak rusuh; aman dan tentram. Nana bisa cek di kamus,” katanya masih tentang keributan kami pada suatu minggu tenang. Hari sudah sore ketika itu, kami sudah selesai ujian dan saya berkesempatan berkunjung ke rumah Om Rafael.
Sebelum saya pulang, dia bilang: “Salam buat Guru Don. Dia benar-benar figur yang menjadi telantar.”
“Itu ka, Nana. Figur yang sikapnya terpuji dan bisa menjadi contoh.”
“Ishhh… teladan, Om. Te-la-dan.”
“Sama saja tooo… Mirip-mirip. Seperti keluarga” ujar Om Rafael di ujung senja itu sembari terkekeh. Saya jadi kemas, eh, gemas, eh, kesal.