Om Rafael dan Kemenangan yang Biasa

Om Rafael hadir dalam ingatan saat saya berusaha sibuk mencermati para penjual manusia yang sibuk berdagang tanpa tahu apa-apa. Satu-satunya yang mereka tahu tentang strategi penjualan adalah membuat saingan mereka terlihat lebih buruk dari jagoan mereka. 

om rafael dan kemenangan yang biasa
Meraih Kemenangan | Foto: Armin Bell

Om Rafael dan Kemenangan yang Biasa

Hari masih pagi sekali di Pateng tetapi rumah kami telah sepi. Saya sendiri. Guru Don ke kampung tetangga menjalankan tugas negara, Muder Yuliana ke kebun ‘kasi kawin fanili’. Saat itulah Om Rafael datang, dengan langkah tergesa melompati pagar kembang sepatu sebagai jalur singkat karena kalau harus melewati gerbang akan membutuhkan tambahan waktu satu menit. Kalau beliau sudah begini, urusannya biasanya tergolong penting paling tidak bagi Om Rafael sendiri.

“Pagi, Nana. Tuang Guru ada?” Tanyanya ketika telah tiba di depanku yang sedang menyiram bunga. Yang dicari sudah ke Ndari, akan mengawas Ebtanas di SDI Hawir. Saya ceritakan itu pada Om Rafael.

“Aduh, saya terlambat. Mati sudah,” katanya.

“Memang kenapa, Om?”

“Ini urusan orang tua, Nana. Nyora ada?”

Saya tahu, dia cari Muder Yuliana, saya punya Mama. Pada suatu masa, istri guru memang biasa disapa Nyora. Tapi itu di masa lalu. Dan seperti orang-orang terjebak masa lalu-mengenang mantan-susah move on, Om Rafael juga kerap lupa bahwa panggilan Nyora sudah tidak populer lagi. Untung saya pernah diceritakan soal itu sehingga lantas tahu siapa yang beliau cari.

“Muder tadi ke kebun, Om.”

Oe… mati sudah. Saya harus cerita ini masalah e. Tapi ke siapa?”

(adsbygoogle = window.adsbygoogle || []).push({});

Saya diam saja dan menunggu. Om Rafael bukan tipe orang yang lama menyimpan rahasia. Kalau tidak bertemu orang yang dia maksud, kadang dia gambar telinga di dinding kandang babi lalu mulai cerita. Tapi kali ini kandang babi sedang jauh dan hanya ada saya.

“Begini, Nana. Saya mau cerita bahwa Golkar menang lagi.”

Waktu itu zaman Pemilu masih diikuti dua partai politik dan satu golongan karya.

“Ooo…, itu. Saya sudah tahu, Om.”

Hae, tahu dari mana? Kapan?”

“Dari dulu, Om. Sebelum Pemilu saya sudah tahu.”

“Ckckck, luar biasa. Nana suatu saat pasti jadi peramal e,” pujinya seolah-olah memrediksi kemenangan Golkar pada masa itu adalah sesuatu yang begitu sulit.

Tetapi saya bangga juga dianggap sebagai calon peramal. Saya langsung membayangkan Armin besar akan memakai pakaian hitam-hitam dengan kepala penuh uban dan tersenyum ramah seperti rupa seorang cenayang Presiden yang kerap saya lihat di majalah. Seni betul. Maka rasa bangga membuncah ketika itu, ketika saya masih kecil. 

Sekarang saya sudah besar dan mendapati diri tidak bisa meramal apa pun dan hanya punya satu kemeja hitam karena selebihnya saya berusaha mencari kemeja dengan nuansa merah jambu dan merasa lebih segar mengenakannya.Dan pink bukan warna yang cocok untuk peramal. 

Tak ada peramal yang memakai baju pink. Karena kemeja saya banyak yang bernuansa pink, saya tidak bisa meramal. Maka, kemarin ketika ada yang tanya prediksi siapa yang menang di Pilgub mendatang, saya tidak bisa jawab. Saya hanya berani menduga tentang siapa yang akan kalah.

“Siapa?” Tanyanya.

“Yang pendukungnya tidak sopan,” kata saya dan dia terlihat kecewa.

Sebelumnya dia berapi-api menceritakan keburukan seorang kandidat dan menolak menjawab pertanyaan saya tentang ‘apa skali unggulnya dia punya calon‘.

Teman saya itu masuk bulat utuh dalam kategori ‘tipe pendukung kekinian’; mereka yang hanya tahu tentang keburukan saingan dan nol besar informasi tentang calonnya sendiri. Jumlah orang seperti ini sangat banyak: generasi lebay yang tidak banyak piknik tapi pakai baju My Trip My Adventure.

Baca juga: Hamka, Cinta Kami Sering Kandas

(adsbygoogle = window.adsbygoogle || []).push({});

Kembali ke kisah Om Rafael. Pagi itu dia pulang dengan kecewa. Kabar baiknya ternyata bukan sesuatu yang mengejutkan. Saya tahu kekecewaan seperti itu karena pernah mengalaminya. Karenanya saya ingin sedikit menghibur. Saya bilang terima kasih karena sudah mau datang pagi-pagi dan berbagi informasi. Dia terharu oleh kebaikan serupa itu dan memujiku sebagai orang yang anggun.

“Anggun, Om?”
“Itu ka, Nana. Yang selalu bersikap sopan.”
“Ooo, bukan anggun mungkin, Om. Tapi santai.”
Ae… kau mulai sebarang lagi. Bukan e. Tapi pantai.”
“Atau lantai?”
“Rantai!”

Saya hampir percaya bahwa saya orang yang rantai sampai Om Rafael sadar bahwa kata yang benar adalah santun.

“Ooo… macam kita punya pelindung Paroki im. Paroki Santun Markus Pateng.”
“Itu Santu e. Kalau santun itu yang orang menyanyi itu ka, sering dibilang dia mensantunkankan sebuah lagu.”
“Itu lantun, Om. Santun itu yang pake kelapa kental. Sayur santun.”

Om Rafael bingung. Tidak tahu mau sambung bagaimana. Dia sepertinya akan pulang dengan kehampaan berganda. Sempat kudengar dia pamit.

“Saya pulang dulu e. Mau makan pagi dulu. Tadi kamu punya tanta bikin sayur santan kelapa,” katanya lalu berteriak kegirangan, “Oleeee, kau punya maksud santan tadi to? Yes! Saya bisa tebak. Horeee…”

Salam
Armin Bell
Ruteng, Flores

4 komentar untuk “Om Rafael dan Kemenangan yang Biasa”

Tanggapan Anda?

Scroll to Top
%d blogger menyukai ini: