Sebenarnya Om Rafael dan kampanye kreatif adalah bagian yang sama sekali berjauhan. Jauh sekali. Lebih jauh dari jalan ke puncak gunung, tinggi-tinggi sekali, kiri kanan kulihat saja banyak pohon cemara… eh… (kok malah buka catatan dengan lagu ya?). Pokoknya, postingan ini berisi tentang bagaimana sebaiknya berkampanye dalam kacamata Om Rafael yang matanya sudah mulai rawon. Ooops.
Mengapa Om Rafael dan kampanye berjauhan? Begini… Di zaman saya kecil, term kampanye kreatif belum populer. Sehingga masuk akal bila Om Rafael juga tidak pernah menggunakan istilah itu. Tetapi seingat saya, dalam hubungan dengan ‘menjual’ sesuatu, zaman itu ada ungkapan: omong yang seni-seni. Mungkin bukan dari Om Rafael, tetapi saya mendengar omong seni-seni itu ketika masih kecil.
Sebut saja itu menjadi salah satu alasan mengapa saya ngotot meminta kepada setiap kawan untuk belajar menyampaikan sesuatu dengan menarik, indah, seni-seni. Bahkan kalau ingin marah, ingin benci, ingin perang; seni-seni.
Apa hubungannya dengan kampanye kreatif? Mereka berhubungan baik. Seperti keluarga. Akrab. Kampanye kreatif itu ‘seni-seni’. Jarang sekali orang kreatif berkampanye tidak menarik, tidak indah. Mau contoh? Banyak. Kemenangan Jokowi-JK di Pilpres 2014 saya pikir dapat disebut sebagai contoh.
Tim kampanye dibagi dalam divisi-divisi dengan tugas-tugas spesifik: penjual, penantang, penghapus isu, pembuat isu, penata busana, penata panggung, dan penata muda. Eh, yang terakhir itu pangkat di PNS e. Golongan IIIa hahahah. Pokoknya begitu. Seni betul. Setiap simbol dipikirkan sehingga ketika muncul ke permukaan pasti dapat mendongkrak popularitas. Laku.
(adsbygoogle = window.adsbygoogle || []).push({}); |
Maka, hemat saya, yang laku atau alasan sesuatu itu laku, tidak lagi semata karena kualitasnya mumpuni tetapi bagaimana itu dipersepsikan. Di sinilah peran omong seni-seni tadi. Stop berusaha agar orang lain/saingan terlihat tidak penting/tidak hebat. Bikin diri seni-seni saja. Tombo di’a-di’a. Neka mbecik. Orang yang suka mbecik (menghina orang lain dengan perkataan, perbuatan dan kelalaian), itu tidak keren. Sumpah. Tidak keren. Kalau tidak percaya, silakan tanya Om Rafael.
Dulu Om Rafael bilang, dia punya anjing yang hebat. Dia tidak membandingkannya dengan anjing-anjing lain. Dia hanya cerita, anjingnya hebat. Bisa disuruh duduk, kencing hanya di bawah pohon alvokat, kadang bisa angkat dua kaki ketika kencing, dan penurut. Karena kisahnya itulah, suatu ketika saya ingin melihatnya sendiri.
Saya pergi ke rumah Om Rafael. Tetapi anjing itu tidak seramah omongan seni-nya Om Rafael. Regot saya disambarnya. Meninggalkan paket. Tetapi sebelumnya saya telah tertarik melihatnya, karena omongan Om Rafael yang seni-seni itu. Tetapi seni kadang kuning dan tak sedap kalau kita jarang minum air. Eh…
Btw, berikut ini adalah cerita yang lain. Setelah peristiwa saya digigit anjing Om Rafael, Muder Yuliana, tidak ‘ikut campur’. Daripada pergi mengamuk di rumah Om Rafael karena regot anak bungsunya terluka, Muder memilih berkonsentrasi mengobati dan menghibur anaknya yang ganteng itu–kegantengan yang sepertinya terpelihara sampai sekarang–*smile. Muder selalu begitu.
Tidak suka mencampuri permainan anaknya di luar rumah. Kalau ada yang salah di lapangan bola, Muder menunggu sampai hari malam untuk ‘memperbaiki’ saya di rumah. Kadang dengan sapu lidi, kadang dengan minyak tawon; tergantung kasus. Yang pertama kalau saya salah, yang minyak tawon kalau saya terluka.
Muder tidak membenci teman-teman yang bersalah kepada saya. Entah apakah perempuan hebat itu pernah membaca “Anakmu Bukan milikmu” dari Opa Kahlil atau memang Muder telah lama menjadi busur buat anak-anaknya, saya baik-baik saja.
Baca juga: Menolonglah Seperti Ibu Piara
Maka dapatlah dimengerti alasan Muder tidak mau berurusan dengan Om Rafael atau anjingnya. Muder juga tidak peduli apakah saya mau jadi pegawai atau tidak. Kepentingannya cuma satu: saya menjadi anak panah yang baik.
Lalu apakah salah kalau seorang Ibu ingin terjun ke medan perang anaknya? Tentu tidak. Secara naluriah, itu benar. Bahkan harus. Yang salah adalah si anak yang membiarkan Ibunya terjun di medan perang itu. Ini alasannya.
Pertama, Ibu tidak paham medan. Meski Guru Don suaminya adalah pemain sepakbola posisi kiri dalam PS Lawelujang, toh Muder tidak bisa main bola. Maka saya melarangnya terlibat kalau kami main bola rokod di plein depan sekolah. Kan aneh kalau Muder ikut meski tujuannya menolong anak ganteng ini, iya to?
Kedua, adat mencintai adalah merasakan dua kali lipat dari apa yang dirasakan oleh yang dicintai. Bayangkan kalau saya kena potong tidur terus kesakitan, Muder juga kesakitan dua kali lipat. Dua orang sekaligus sakit di lapangan, panitia bingung, pertandingan kacau, iya to?
Ketiga, tugas anak adalah membuat Ibu selalu terlihat hebat dan dihormati. Andai Muder ngotot main bola rokod, teman-teman saya akan tertawa. Menertawakannya. Saya akan sedih kalau begitu.
Maka kepadanya saya bilang: Muder, ini medan saya. Tugas Muder sekarang adalah percaya. Jangan yang lain. Jangan juga ingin ke Medan, karena kita tidak punya keluarga di sana halaaah. (adsbygoogle = window.adsbygoogle || []).push({}); |
Tetapi suatu kali, toh Muder pergi juga ke rumah Om Rafael. Mau bertemu dan mengundang istrinya untuk ikut dodo rede (gotong royong menanam padi di sawah). Tanta sedang sakit.
“Sakit apa?” tanya Muder pada Om Rafael.
“Sakitnya komunikasi ta, Nyora,” jawab Om Rafael. “Ada inflensa, sakit pinggang, dan angin duduk. Komunikasi itu sudah,” sambungnya.
“Tanta jadi ikut rede?” tanya saya.
“Nanti cari di buku. Kau harus rajin baca,” jawab Nyor… eh, Muder.
Demikianlah Muder Yuliana meminta saya terjun ke medan perang saya sendiri dengan membaca. Beberapa waktu kemudian, mungkin karena buku bacaan saya salah, saya lalu tahu bahwa komplikasi adalah sistem tata administrasi perkantoran yang seluruhnya menggunakan database di komputer. Eh?
Tetapi bagaimana pun, karena suka ‘omong seni-seni’ membuat Om Rafael layak dihubungkan dengan kampanye kreatif. Itu!