Tahun ini kisah-kisah Om Rafael akan tampil dalam warna yang berbeda. Tata aturan waktu tidak lagi diperhatikan. Akan bertebaran anakronisme (sebut saja begitu), akan berkurang kelucuannya, tetapi akan semakin cerdas pembacanya #halaaah. Mari….
![]() |
Ini bukan ilustrasi. Gambar ini tidak berhubungan dengan isi tulisan | Foto: Frans Joseph, Ruteng |
Om Rafael Campur Aduk Urusan Puisi dengan Pemilihan Gubernur
Om Rafael menggigil. Bukan demam. Dia hanya ngeri membayangkan babak final lomba deklamasi yang saya ikuti. Sesungguhnya Om Rafael tidak menjagokan saya tetapi menjagokan sekolah kami. Berhubung saya adalah perwakilan sekolah maka jadilah Om Rafael mau tak mau menjagokan saya di lomba itu. Om Rafael anggota BP3 SD kami dan merasa bertanggung jawab atas torehan prestasi sekolah. Tetapi bukan itu alasannya menggigil.
Lalu apa?
Entahlah. Saya tiba-tiba merasa saya putar-putar sekali di cerita ini #maapken.
Atas pertimbangan nama besar sekolah itulah Om Rafael berusaha keras agar saya meraih prestasi di lomba deklamasi antar-SD sekecamatan itu. Tetapi semakin keras usahanya, semakin menggigil badannya.
“Yuri tidak bisa dipengaruhi, Nana,” katanya dengan nada kecewa.
“Yuri itu siapa, Om?” Tanya saya dalam keheranan penuh karena tidak ada seorang pun yang bernama Yuri di antara seluruh peserta lomba.
“Yuri itu yang tugasnya menilai kamu punya deklarasi ka.”
“Oh… juri, Om. Lalu bukan deklarasi tapi pake “M”.
“Ya… ya… Meklarasi,” Om Rafael memperbaiki pernyataannya dan membuat saya menggigil menahan ngilu di ulu hati, kaki, jantung, kuku, dan juga alis mata. Ini, Om e. Maunya cukur dia punya bulu kaki.
“Deklamasi, Om,” kata saya lalu mengingatkan bahwa kata yang benar itu juri dan bukan yuri. Angin sedang bertiup kencang menerbangkan daun-daun akasia yang kering. Gemuruhnya membuat Om Rafael harus berteriak lebih kencang ketika menjelaskan bahwa pengucapan yang benar. Seperti Yesus yang tulisannya Jesus. Saya serentak paham, mengangguk-angguk sambil bernyanyi tri li li li li li li li #eh?
Baca juga: Om Rafael Bilang Ancang-ancang Jangan Terlalu Lama
Dalam perjalanan sepulang dari hutan akasia itu, dengan memikul seikat kayu bakar di pundak kanan dan beban nama besar sekolah di pundak kiri, Om Rafael berulang kali mengeluhkan sulitnya tim penilai deklamasi dipengaruhi.
“Saya sudah berusaha keras, Nana. Saya bilang bahwa kalau mereka bisa membuat Nana juara, mereka akan dapat hadiah. Tapi mereka tidak mau,” keluhnya.
“Hadiahnya apa, Om?”
“Tiga ekor babi, Nana.”
“Bagaimana kalau Om kasi saya saja itu babi terus saya piara. Biar tidak jadi juara lomba, minimal saya bisa jadi peternak,” usul saya yang dengan segera ditolaknya. Bagi Om Rafael, tidak ada yang lebih penting dari nama besar sekolah.
(adsbygoogle = window.adsbygoogle || []).push({}); |
Lalu saya mencoba meringankan bebannya dengan bercerita bahwa saya telah berlatih keras untuk lomba deklamasi itu. Bahwa sajak “Surat dari Ibu” yang dilombakan itu sudah saya hafal. Bahwa saya sudah tahu makna kata angin buritan dan lain-lain. Bahwa saya memahami apa yang diinginkan Asrul Sani.
“Asrul Sani itu peserta dari SD mana, Nana?” Tanyanya. Saya menggigil lagi tetapi berusaha keras menjadi anak baik dan menjelaskan bahwa Asrul Sani itu adalah penulis puisi yang dilombakan.
“APA? SALAH SATU PESERTANYA ADALAH PENULIS PUISI? SD MANA ITU ASRUL SANI?” Teriaknya lebih kencang. Untunglah ada petir menggelegar setelah kilat yang membuat saya terkejut sehingga tidak terlampau kaget mendengar teriakan Om Rafael menanyakan sekolah asal Asrul Sani. Saya toh tidak tahu Asrul Sani itu dari sekolah mana *smile.
“Saya yakin bisa dapat peringkat, Om,” kata saya di persimpangan. Om Rafael mengangguk ragu. Katanya, usaha sekeras apa pun akan semakin mudah kalau yuri dapat dipengaruhi. Saya tidak setuju tetapi tergoda juga untuk mengetahui strategi apa yang dipikirkan Om Rafael untuk ‘nama baik sekolah itu’.
“Kita jual nama peserta lain, Nana. Kita bilang bahwa peserta lain itu tidak cinta lingkungan. Mereka juga tidak menghargai perbedaan. Ada peserta yang bahkan melecehkan adik kelasnya,” jelas Om Rafael sambil memindahkan kayu di pikulannya ke pundak kiri dan beban nama baik sekolah ke pundak kanan. “HAH? INI LOMBA DEKLAMASI, OM. YANG DEKLAMASINYA BAIK ITU YANG JUARA. APA HUBUNGANNYA DENGAN LINGKUNGAN, PELECEHAN, DAN LAIN-LAIN?” Saya meradang.
Om Rafael terkejut mendengar suara saya sekencang itu. Lebih terkejut lagi menyadari bahwa tema percakapan kami bergeser ke ujung entah apa. “Ini bukan tentang pemilihan gubernur tadi ka?” Dia berbisik.
Saya jengkel setengah mati. Bagaimana mungkin percakapan tentang lomba tiba-tiba menjadi diskusi tentang pemilihan gubernur? Om Rafael menyadari kesalahannya dan meminta maaf.
Dia lalu bilang bahwa akhir-akhir ini hampir seluruh percakapan dihubungkan dengan pemilihan gubernur. “Kemarin waktu kami cari makanan babi, kau punya tanta tiba-tiba tanya bagaimana bentuk kandang babi kami nanti kalau gubernur baru sudah terpilih,” cerita Om Rafael. “Memangnya itu gubernur nanti yang bikin kami punya kandang ka?” Keluhnya.
Saya mengerti. Om Rafael sedang galau. Tetapi tidak seharusnya kegalauannya dia ceritakan pada saya. Saya masih kecil. Siswa sekolah dasar. Sedang menyiapkan diri untuk lomba deklamasi dan sekarang mulai gerimis. Saya berlari pulang.
“Mau ke mana, Nana?” Tanyanya.
“Ke rumah, Om. Mau angkat yemuran. Ini sudah mau hujan,” jawab saya sambil berlari.
“JEMURAN, NANA. BUKAN YEMURAN,” teriak Om Rafael.
Pada hari lomba saya tampil prima. Dapat peringkat dua. Om Rafael bertepuk tangan paling keras. Meneriakkan kata yuara dua, yuara dua, yuara dua. Berulang kali dia bersorak kegirangan. Seseorang datang menghampiri, menanyakan apakah dia baik-baik saja. “YANGAN GANGGU SAJA. SAJA SEDANG SANGAT SENANG. ARMIN YUARA DUA. TERIMA KASIH UNTUK DEWAN YURI, PANICIA, DAN PENGURUS JAJASAN JANG SUDAH MENJELENGGARAKAN LOMBA INI. SEKARANG YAM BERAPA?”
Aiiih… Om Rafael e. Untung lombanya sudah selesai. Beberapa saat lagi masuk ke pemilihan gubernur dan orang mulai baku yual nama. Eh, baku jual maksudnya. Jangan-jangan yang menang adalah yang kerja diam-diam dan kerja uang-uang. Nah… Di situ kadang kita merasa keyewa, eh, kejewa, halaaaa, ketjewa. Itu.
Omong apa ini?
Salam
Armin Bell
Ruteng, Flores
#PilgubNTT
Kisah-kisah Om Rafael juga dapat diikuti di tautan ini.
Hahahhahahha. Om rafael eeee.. ini mau pemilihan bupati yuga ada jang saling yual nama…yual keluarga..sampe yual diri…
Jang yual diri sepertinja banjak hahaha