Om Rafael Berperibahasa

Saya senang memakai peribahasa. Saya selalu mengagumi orang yang menyampaikan sesuatu dengan perumpamaan. Untuk bilang bahwa pekerjaan itu sia-sia, kita harus bilang ‘bagai menegakkan benang basah’.

om rafael berperibahasa
Caci di Ruteng, Manggarai | Foto: Armin Bell

Om Rafael Berperibahasa

Om Rafael juga begitu. Paling tidak dia belajar menggunakannya dan membuat saya menduga betapa baik pelajaran Bahasa Indonesia di sekolah mereka zaman dahulu. Saya masih SD ketika Om Rafael mengatakannya pada suatu malam.
Angin berhembus biasa malam itu. Daun-daun bambu yang menari membuat riuh. Semakin riuh karena tak ada yang bicara. Saya, Om Rafael dan beberapa Om dan teman sedang menuju ngalor koe, kali kecil yang letaknya di ujung kampung. Nama ngalor itu Wae Semen, karena pernah ada pembangunan saluran dengan menggunakan beton di tempat itu. 
Ke sana kami hendak mencari katak, tea pake, sebagai tiket makan malam istimewa entah untuk perayaan apa. Mungkin untuk kemenangan Golkar pada Pemilu yang akan datang. Ya, kemenangan itu memang telah diramalkan.

Kisah tentang itu dapat dibaca di sini: Om Rafael Bertemu Guru Don 
Malam itu Om Rafael di ujung depan barisan, membawa petromaks a.k.a lampu gas, agak diangkat. Karena mulut tak bekerja, kaki Om Rafael yang kreatif. Ditendangnya sambil jalan semua benda di jalan setapak itu: kaus kaki bekas, buah kapuk muda, kaleng rokok bentoel, bungkus cup-cup, semuanya. 
Sampai di satu titik, ada gumpalan kertas bulat besar seperti bola yang biasa kami buat dari kertas-kertas bekas untuk bermain saat bersenang. Om Rafael bersemangat. Menendangnya dengan kuat. Kuat sekali lalu terduduk. Mengaduh. Kesakitan. Meringis sambil menahan lampu gas agar tidak jatuh. Seorang dewasa yang lain sigap mengambil alih lampu itu. 
Di dalam kertas itu, ada batu. Sengaja dipasang sebagai jebakan tampaknya. Kaki kreatif Om Rafael menjadi korban. Berdarah. Om Rafael marah-marah. Katanya: “Kurang ajar. Ini seperti kambing berbulu domba. Membeli kucing dalam karung. Dimakan bapak mati, tak dimakan ibu mati!” Beberapa peribahasa muncul lagi beberapa saat sampai darah di kakinya berhenti berkat daun sensus yang sakti. 
(adsbygoogle = window.adsbygoogle || []).push({});

Om Rafael memang begitu. Selalu senang peribahasa kalau sedang marah. Dia hafal betul lagu yang liriknya: wajah cantik nan ayu siapa yang punya; dengan alasan ada kata ‘berperibahasa’ di lagu itu. Alasan menyukai kadang bisa sesederhana itu. 

Baca juga: Tokoh Utama Senang Bernyanyi

Lanjut cerita, sepanjang malam itu, selama berburu katak, ramai nian kami berperibahasa. “Wah, ini seperti api dalam sekam, ya,” kata seorang tentang air kali ya dingin. “Iya, bagai air di daun talas,” kata yang lain yang tak kunjung mendapat katak. “Benar-benar guru kencing berdiri, murid kencing berlari,” sambung yang lain dan teman di dekatnya merasa air di sekitarnya menjadi lebih hangat. Haisssh… 

Beberapa hari setelahnya kaki Om Rafael sembuh. Kami bertemu di perjalanan sepulang Pemilu. Dia bilang: “Nana Armin, kalau kau sudah besar, jangan percaya pada apa pun yang tampak baik dari luar. Kenali dulu baru membuat penilaian baru memutuskan. Kalau tidak, nanti seperti saya. Saya pikir bola padahal batu. Luka to?”  
Saya mengangguk-angguk. Mengerti. Tapi Om Rafael belum selesai. Dia tutup wejangan itu dengan peribahasa.
“Supaya kita tidak kalah jadi abu, menang jadi garam.” 
“Garam, Om?” 
“Serbuk atau bekas kayu yang terbakar itu ka, Nana.” 
“Oooo, maksud Om, gambar to?” 
Guru Don memperbaiki. 
Katanya: “Arang.” 
Setelah dewasa, saya kerap melihat Om Rafael. Bukan di rumahnya tetapi pada wajah kawan-kawan yang sedang berjuang pada pertandingan yang bahkan mereka sama sekali bukan pemain inti. 
Mereka berjuang keras sekali, hingga kadang tak sempat berpikir mungkin setelah pertandingan entah menang entah kalah mereka tak banyak dapat apa-apa. 
Ah… semoga tidak ada yang berakhir sebagai abu atau arang. Kemenangan harusnya kita rayakan bersama nanti. Kalau begitu, kenapa banyak sekali teman-temanku yang baku baku maki pada setiap pertandingan? Bukankah sebaiknya mereka maen seni-seni saja, seperti peribahasa: Kalau ada sumur di ladang, boleh kita menumpang mandi ‪#‎eh‬, itu pantun ya?
Salam
Armin Bell
Ruteng, Flores

Tanggapan Anda?

Scroll to Top
%d bloggers like this: