Bagi Om Rafael, kritik adalah kritik dan membangun adalah membangun. Keduanya harus berdiri sendiri. Yang perlu dilakukan adalah belajar menikmati. Menikmati kritik dan menikmati pembangunan. Hah?
Menurut Om Rafael, ada empat sikap yang harus kita ambil ketika berhadapan dengan, atau mendapat kritik. Nikmati, syukuri, buat evaluasi, perbaiki diri. Tentu saja karena ini adalah pendapat Om Rafael, maka proses sebelum saya mendapatkan empat poin itu cukup rumit.
“Kritik ya kritik, membangun ya membangun. Itu dua perkara yang sama sekali berbeda,” katanya suatu ketika. Saat itu senja sedang merah. Matahari berjalan perlahan menuju malam. Hendak pulang dan tidur.
“Tapi saya pernah dengar ada ungkapan kritik yang membangun, Om,” kata saya. Om Rafael tertawa. Dia bilang saya salah dengar. Sekelompok kalong kapuk terbang rendah di atas kepala.
Baca juga: Kritik Tak Pernah Sepedas Kripik
“Yang harus membangun itu orang, Nana. Bukan kritik!” Katanya lalu menjelaskan bahwa tugas orang yang memberi kritik adalah memberi kritik. “Jangan paksa dia siapkan somasi,” tambahnya.
“Somasi, Om?”
“Itu ka, Nana. Jalan keluar. Alternatif.”
“Oh. Solusi.”
Lalu saya bertanya tentang apa reaksi Om Rafael jika dikritik? Mengejutkan. Meski tampak bijak dan sering bingung, Om Rafael mengaku kritik selalu membuatnya sakit hati. “Tidak ada kritik yang baik. Mau disampaikan dengan santun, sopan, atau brutal, semua kritik itu bikin sakit hati. Ya, semua.”
Tetapi menurutnya, rasa sakit hati itu tidak bertahan lama. Setelahnya dia bersyukur karena merasa dicintai. Kok bisa? “Kalau orang benci saya, dia tidak akan berusaha membuat saya lebih baik. Kritik itu yang bisa bikin kita merelaksasi diri. Intromusik dan perbaik,” tegasnya. Saya pikir maksudnya mungkin refleksi dan introspeksi.
“Memang pasti ada poin baik dari kritik, Om?”
“Iya, ka. Pasti ada. Kita bicara tentang kritik. Bukan tentang caci maki. Beda.”
“Bagaimana membedakannya?”
“Pergi sekolah. Belajar!”
Baca juga: Membedakan Kritik dan Ungkapan Sakit Hati Bertopeng Kritikan
Sesungguhnya sepanjang obrolan itu, di mulut Om Rafael, kata kritik beberapa kali berubah bunyi. Kadang kristik, kripik, krimbat, dan yang paling jauh adalah keramas. Yang terakhir ini benar-benar membingungkan sebab dia mengatakannya sambil menggaruk-garuk kepala dan beberapa serpihan putih menari-nari sebelum jatuh ke pundaknya. Kaos hitamnya kini seumpama lukisan langit malam bertabur bintang. “Kita perlu keramas dari orang lain agar kepala kita bersih dan bisa berkarya lebih baik lagi,” katanya dengan nada yang tegas. Tinggal aku sendiri terpaku menatap langit ho ho ho… Eh?
Tetapi mungkin memang baginya, asalkan semua yang keluar dari mulutnya sudah benar secara maksud (pribadinya), maka bunyi yang menyimpang boleh diabaikan. Mengingatkan kita pada janji-janji kampanye dan kenyataan. Haeeeeh… Om Rafael e aeh. Kan tidak bisa begitu to? Bagaimana nasib saya sebagai pendengar?
Dia mendelik marah ketika saya tanya apakah keramasnya harus pakai sampo atau boleh pakai odol.
Katanya: “Nana harus tahan diri. Jangan terlalu sering kristen orang tua,” lalu panjang lebar menjelaskan kandungan dalam sampo dan odol yang berbeda dan karenanya tidak bisa ditukarpakaikan. Sampo untuk rambut di kepala, odol untuk gigi, dan sabun mandi boleh untuk semuanya: rambut, gigi, muka, badan, dan pakaian. Obrolan ini kenapa menjauh?
Hari telah sepenuhnya menjadi malam. Waktunya pamit. Dan seperti biasa, sebelum saya benar-benar pergi, Om Rafael selalu berusaha menutup sesi obrolan kami dengan kalimat-kalimat (yang dia anggap) sakti. Kali ini tentang ajaran agar saya berusaha menikmati kritik. Bahwa kritik, tidaklah harus sejalan dengan niat membangun. Kritik ya kritik, membangun ya membangun. Agar dapa membangun dengan lebih baik, ya belajar dari kritiknya. Bukan meminta si tukang kritik untuk membangun. “Itu permintaan tak masuk akan,” paparnya. Maksudnya tentu saja ‘masuk akal’. “Coba saja. Macam kalau Nana kritik saya, saya santai to? Apa saya pernah minta Nana untuk mengerjakan saya punya tanggung jawab yang Nana kritik itu? Kan sering to? Eh?”
Saya mau protes. Dia tidak pernah santai dan selalu berjuang mencari-cari kesalahan saya setiap kali saya mengoreksi kata-katanya yang keliru. Semacam kritik dibalas kritik. Tetapi protes berarti percakapan akan lebih panjang sedangkan saya harus segera pulang. Di rumah, Guru Don telah menanti dengan cerita
Kali ini tentang orang-orang yang dibunuh karena menjadi tukang kritik.
“Demikianlah bangsa kita pernah berhenti,” katanya.
Saya mengangguk saja. Tidak paham apa artinya kalimat itu. Saya hanya mengerti bahwa meski Om Rafael menguasai seluruh kebajikan, sesekali dia antikritik juga. Mungkin kita semua memang begitu.
“Bahaya dari tidak berusaha menikmati kritik adalah karya kita akan tinggal di tempat,” Guru Don menutup percakapan kami dengan kalimat yang juga tidak bisa saya pahami.
#OmRafael
–
7 Oktober 2018 (penyuntingan terakhir: 14 Maret 2023)
Salam dari Kedutul, Ruteng
Armin Bell