Katak-katak telah mulai bernyanyi sejak tadi. Paduan suara ramai dari sawah di belakang kampung. Sebentar lagi nyanyian itu akan melembut perlahan dan burung hantu bersuara merdu dari hutan di utara akan mengambil bagian dalam pentasan alam menjelang malam.Â
Rona merah di ufuk barat perlahan samar dan menghitam. Kerlip lampu-lampu pelita mulai tampak dari rumah-rumah dengan jendela yang masih setengah terbuka. Malam datang di kampung yang permai saat semua pulang ke rumah: petani yang seharian bekerja di sawah, anak-anak yang bermain tanpa lelah sejak pulang sekolah. Di rumah ada ibu yang ramah.Â
Tetapi Klaudius belum tiba.
“Amè, Itè lihat Ndiu? Sudah malam tapi belum pulang?” tanya perempuan itu pada suaminya.Â
Ia sedang sibuk menyiapkan makan malam dan mulai gelisah; Klaudius belum pulang padahal sudah malam dan piring-piring kotor dari jam makan siang belum juga dibersihkan, ini seharusnya tugas Klaudius.
“Tadi ke mana?” Suaminya bertanya.
“Selesai makan siang langsung pergi bermain bersama teman-temannya. Padahal sudah saya ingatkan untuk cuci piring dahulu. Dia pergi begitu saja, tidak pamit,” jawabnya dengan nada cemas yang mulai terdengar jelas.Â
Perempuan bernama Maria itu pantas cemas. Di Kenti, kampung mereka tinggal, telah ada cerita tentang makhluk dari dunia lain yang akan mengambil anak-anak. Mereka menyebutnya Darat. Konon, si anak akan dijadikan peliharaan Darat jika tak segera dicari.Â
Dari kisah turun-temurun diketahui, ketika Maria itu masih berusia setahun, seorang anak di Kenti pernah diculik Darat. Diculik setelah jam bermain selesai sedang si anak takut pulang ke rumah karena lupa mencari kayu api seperti yang diminta ibunya. Mendadak penyesalan tumbuh di hati Maria malam itu.Â
Siang tadi ketika Klaudius berlalu saja dari permintaannya mencuci piring, perempuan itu berteriak keras: “Ndiuuuu… ayo pulang. Cuci piring dulu. Dasar anak tidak tahu diuntung. Tidak bisa menolong orang tua. Kena sial baru tahu rasa!” Ingin diceritakannya peristiwa siang tadi kepada suaminya, tetapi hanya ada kalimat ini yang keluar dari mulutnya, “Amè, Itè harus segera cari Ndiu. Perasaan saya tidak enak.”Â
Lelaki bernama Simus itu enggan beranjak dari tikarnya. Selonjor melepas lelah kerja sehari. Dengan suara pelan dia berkata, “Sudahlah Inè, nanti juga pasti kembali. Paling juga dia sedang asyik bermain bersama teman-temannya. Kalau makan malam sudah siap, kita makan malam saja dulu. Biar nanti Klaudius menyusul kalau sudah pulang.”Â
(adsbygoogle = window.adsbygoogle || []).push({}); |
Makan malam berlangsung dalam diam. Mereka berdua. Ibu dan Ayah Klaudius tak bersuara. Hanya nafas yang terdengar berat ketika makan malam selesai dan Klaudius belum kunjung pulang. Burung hantu telah selesai memperdengarkan simfoni terakhirnya. Di Kenti, akhir nyanyian burung hantu dipercaya sebagai pertanda bahwa tak ada lagi anak-anak yang bermain di halaman. Simus beranjak ke kamar dan keluar lagi tak lama setelahnya.
“Kamu tunggu di sini saja. Biar saya coba ke rumah Herman temannya. Siapa tahu Ndiu ada di sana,” kata Simus dan beranjak pergi dengan senter di tangannya. Malam telah menjadi pekat. Adalah musim hujan yang telah mulai membuat gelap dengan mudah menyebar. Ada gerimis sisa hujan lebat sebelum sore. Pasti Ndiu kedinginan sekarang karena tadi bermain di bawah hujan, pikir Simus.
Baca juga: Ruang Kosong – Cerpen di Antologi TelingaSetengah jam sesudahnya Simus kembali. Klaudius tak ada di rumah Herman. Maria mulai meratap. Seluruh kampung kini tahu Klaudius belum kembali ke rumah. Para tetua kampung sepakat: Klaudius diculik Darat, kesimpulan yang diambil setelah mendengar cerita-cerita; dari Maria tentang dirinya yang memarahi Klaudius, dari Herman dan teman-temannya yang lain tentang tempat mereka terakhir kali bermain hari itu di dekat hutan.Â
“Kami bermain sembunyi tadi. Terakhir, giliran Ndiu dan teman-temannya yang bersembunyi,” demikian Herman memulai ceritanya.Â
Dari mulut teman sepermainan itu diketahui bahwa di ujung hari, saat teman-teman tim Klaudius berhasil ditemukan persembunyiannya, Klaudius tidak berhasil ditangkap–bahasa mereka tentang keberhasilan menemukan anggota tim lain yang mendapat giliran bersembunyi; lalu bersepakatlah mereka menduga bahwa Klaudius telah lebih dahulu pulang ke rumah.Â
“Kami pikir Ndiu buru-buru pulang karena sebelumnya dia cerita bahwa tadi belum sempat cuci piring,” tutur Herman. Demikianlah kisah itu diceritakan Herman sekaligus menjawab pertanyaan banyak orang mengapa mereka tidak teruskan mencari Klaudius.Â
Malam itu disepakati pencarian segera dilakukan. Ingatan tentang anak lelaki di masa lalu yang tak berhasil ditemukan karena terlambat dicari membuat orang-orang bergegas. Untung tak ada lagi gerimis. Gong dan gendang diturunkan dari rumah Tu’a Golo dan mulai dibunyikan. Begitu kerasnya alat-alat itu dipukul tangan-tangan yang khawatir, bunyinya bertalu hingga jauh ke kampung tetangga.Â
Lelaki muda dan dewasa yang tak memiliki senter mulai menyalakan obor. Mereka, para lelaki muda dan dewasalah yang akan bertugas mencari. Anak-anak dan perempuan berkumpul di rumah Klaudius menemani Maria yang berduka.Â
Di antara isak tangisnya perempuan itu terus meratap. Menyesal. “Ndiu, Ndiu, Inè minta maaf. Pulang, Ndiu, pulang. Inè tidak marah.” Para ibu menghibur.Â
Gadis-gadis berbisik tentang kisah lama yang mendadak populer lagi: seorang anak diculik Darat karena tak turut permintaan ibunya. Anak-anak tak peduli. Mereka bermain saja di halaman yang kini terang benderang karena cahaya obor yang sengaja ditanam beberapa pemuda sebelum mereka pergi mencari.Â
Di pinggir hutan para pencari tak bersuara. Senyap. Tak ada yang berani menabuh gong dan gendang. Hutan itu begitu lebatnya dengan pohon-pohon sepelukan orang dewasa yang tumbuh rapat-rapat. Dingin menerpa dari angin malam yang mengombang-ambingkan cahaya obor-obor yang diangkat tinggi.
Beruntung mereka tadi memutuskan membuat obor. Senter tak cukup mampu menembus pekat. Burung-burung malam sesekali melintas lalu sembunyi. Binatang-binatang melata yang terusik merayap menjauh.Â
Mereka telah melintas mata air, sebelumnya adalah daerah terjauh di hutan itu yang biasa mereka capai.Â
“Ayo, mulai panggil,” kata Tu’a Golo yang memimpin rombongan tersebut. Sebuah komando yang memecah hilangnya suara dan tetabuhan sejak mereka di bibir hutan. Betapa satu perintah mampu membangkitkan keberanian.
(adsbygoogle = window.adsbygoogle || []).push({}); |
“Ndiu, Ndiu, Ndiu…!” Teriak mereka ditingkah gong dan gendang yang kini ditabuh lebih bersemangat. Semakin ke tengah hutan semakin bersemangat mereka berteriak, semakin tinggi obor-obor diangkat, semakin liar kelebat cahaya senter dimainkan, semakin giat para penabuh gong dan gendang bekerja.
Simus paling kencang. “Ndiuuuu, Ndiuuu, ini Amè. Ayo pulang. Kasihan Inè menangis terus. Pulang, Nak,” serunya parau ditutup isak tertahan.Â
Para lelaki muda dan dewasa yang melihat lelaki yang menangis itu menjadi tambah bersemangat memanggil, berteriak dan mencari. Rombongan telah melebar tak lagi memanjang. Wilayah pencarian diperluas.Â
“Kita cari di sekitar sini. Ini sudah di tengah hutan. Mungkin Darat itu tinggal di sini. Jangan lupa awasi teman-teman. Jangan jalan sendiri. Bahaya!” Komando Tu’a Golo.Â
Di kampung, Maria terus menangis dengan suara yang semakin lemah. Terlampau lama dia meratap, suaranya menghilang. Betapa sedih hatinya mengingat seluruh kisahnya bersama Klaudius anak mereka satu-satunya.Â
Klaudius adalah anak yang ceria. Selama ini selalu menjadi teman setianya ketika suaminya bekerja di kebun. Klaudius gemar menolong sesama. Itulah mengapa Herman begitu menyukainya. Juga anak-anak yang lain sama seperti Herman, menyukai Klaudius. Kenangan itu membuat hati perempuan itu semakin lara.Â
Tentang peristiwa siang tadi, baru saat inilah ingatan Maria menjadi jernih. Sebelum pergi meninggalkan piring kotor yang seharusnya dicucinya, Klaudius bilang: “Inè, saya cuci piringnya nanti sore saja. Saya harus segera pergi ke rumah Herman. Dia butuh bantuan membuat potang. Setelah itu kami langsung bermain di pinggir hutan.”Â
Tangis Maria kembali pecah. Dengan suara tersisa diratapinya Klaudius yang belum kembali. Ibu-ibu kembali menghibur dengan suara pelan lalu tiba-tiba meninggi dan berubah ramai ketika dari halaman anak-anak berteriak-teriak: “Mereka pulang!” “Mereka pulang!”Â
Semua yang di rumah bergerak ke halaman. Dari jauh terlihat kerlip obor, semakin lama semakin jelas, mendekat. Rombongan pencari itu bergerak pulang. Perempuan dan anak-anak berdebar menanti. Semakin dekat semakin terlihat wajah para pencari itu tampak ceria. Ada gurat senyum yang tertangkap pandang dari jarak seratusan meter.
“Horeeee, Ndiu ada. Ndiu ditemukan,” teriak anak-anak melonjak kegirangan.Â
Ibu-ibu dan para gadis saling berpelukan. Maria berlari menyongsong, menyambut suaminya yang juga berlari mendekat dengan Klaudius dalam gendongannya. Pertemuan keluarga. Maria memeluk Klaudius dan suaminya. Diusap-usapnya kepala Klaudius tanpa kata-kata. Klaudius juga demikian, memeluk ibunya dengan erat. Ada tangis kecil. Tangis bahagia mereka bertiga.Â
Suasana haru itu serentak hilang ketika anak-anak berlarian menjerit-jerit ketakutan. Mereka menunjuk ke tengah rombongan pencari, menuding sesosok baru dan berteriak nyaring: “Setaaaan. Mereka pulang dengan setaaaaan!” Suasana panik menyebar. Sebagian perempuan menduga, sosok itu adalah anak lelaki yang di masa lalu juga diculik Darat.Â
Pendapat itu buru-buru dibantah oleh sebagian lelaki dari rombongan pencari. “Saya kenal teman saya yang dahulu hilang itu. Bukan ini. Meski sudah tua, tapi saya tahu betul ada ciri yang khas. Kakinya pendek sebelah. Kalau orang ini, kakinya normal. Tapi saya juga tidak kenal siapa orang ini,” kata seseorang menjelaskan.Â
Siapa lelaki itu, tak ada yang dapat memastikannya. Namun tentang mengapa dia ada bersama rombongan pencari dan Klaudius, Tu’a Golo tampil dan mulai bercerita.
Ketika mereka sampai di tengah hutan dan mulai berteriak-teriak mencari, Klaudius muncul dari balik pohon yang besar. Kemunculan yang mengejutkan yang membuat beberapa pria berteriak ketakutan dan memalukan. Klaudius kemudian meminta mereka ke balik pohon besar itu. Di sana, seorang lelaki sedang duduk memijat-mijat kakinya; kelelahan.
“Siapa dia?” tanya orang-orang.
Klaudius mulai bercerita.
(adsbygoogle = window.adsbygoogle || []).push({}); |
“Ketika tadi main sembunyi, saya pilih tempat agak jauh. Sekitar seratus meter dari mata air. Lalu saya lihat orang ini. Dia seperti sedang lapar. Dia minum air dengan satu tangannya sedang tangannya yang lain memegang sesuatu. Saya mendekat lalu tahu itu tanah. Orang ini makan tanah itu. Dia mungkin lapar,” cerita Klaudius.
Baca juga: Menolonglah Seperti Ibu Piara
Selanjutnya Klaudius bergerak semakin dekat dan berniat mengajak orang itu pulang ke rumahnya berhubung hari sudah mulai gelap dan dia ingin meminta ibunya menyiapkan makan.Â
Belum juga Klaudius menyampaikan niat baiknya, orang itu bergerak ke tengah hutan dengan cepat. Berlari. Klaudius mengikuti dan tiba di tengah hutan saat hari sudah malam. Gelap. Didapatinya orang itu duduk bersandar pada pohon besar, kelelahan. Orang itu ternyata tak bisa bicara. Dia hanya tersenyum melihat Klaudius. Di tengah gelap, dipeluknya Klaudius yang ketakutan.Â
Siapakah yang tidak takut bersama dengan orang asing di tengah hutan yang gelap? Klaudius juga tak tahu jalan pulang. Semua pohon tampak sama di tengah hutan yang gelap. Demikianlah mereka berdua di sana sampai rombongan pencari tiba di situ dan membawa mereka pulang.Â
Bisik-bisik tentang Klaudius diculik Darat selesai begitu saja. Saat semua orang masih di halaman, dari jauh datang rombongan lain. Rupanya dari kampung tetangga. Mereka tadi serempak datang ketika mendengar tetabuhan gong dan gendang. Kiranya kampung Kenti memerlukan bantuan, pikir mereka. Lalu mereka bergerak ke mari, ke halaman rumah Klaudius tempat semua orang Kenti berkumpul.Â
Dari rombongan terakhir inilah diketahui tentang siapa lelaki yang bersama Klaudius di tengah hutan. “Dia orang gila dari kampung kami. Kemarin terlepas dari pasungan dan menghilang. Kami berterimakasih kepada Klaudius dan seluruh warga kampung Kenti karena berhasil menemukannya. Akan kami ajak pulang,” kata seorang dari antara mereka.Â
Malam itu semua menikmati kopi di halaman rumah Klaudius. Pernyataan syukur yang sederhana atas peristiwa yang baik, lalu pulang. Klaudius bersama ayah dan ibunya masuk. Klaudius makan dengan lahap lalu mereka tidur. Hari sudah tengah malam. Gerimis yang tadi sempat berhenti kini datang lagi, dengan cepat menjadi hujan yang deras. (Selesai)Â
Catatan:Â
Amè: panggilan untuk Ayah dalam dialek Kolang, Manggarai Barat.Â
Itè: sapaan hormat, seperti: Anda. Ditujukan untuk orang yang dihormati.Â
Darat: Jin. Di wilayah Manggarai yang lain, mereka disebut Kakartana.Â
Tu’a Golo: Tua Adat, pemimpin di suatu kampung.Â
Potang:Â Sangkar ayam; terbuat dari buluh atau rotan atau tumbuhan merambat di hutan.
Hhhhhhhh adooh…padahal ata wedol hot agu hi klaudius….Saya kira itu daratnya kae amik.Mantap kae.
Hehehehe… terima kasih sudah mampir baca e 🙂