Siapa saja yang dapat membuat jejak langkah di atas pasir? Kita semua. Tetapi apakah jejak-jejak itu adalah milik kita yang dapat dilihat kasat mata? Mungkin tidak. Ada yang berjalan tetapi tidak terlihat wujudnya. Seperti angin?
Jejak Langkah Cahaya | Foto: Armin Bell |
Jejak Langkah di Atas Pasir
“Aku di sini, tak pernah pergi!”
Maksud saya, membangkitkan niat untuk menulis ulang dan berusaha lebih kontekstual cie cieee… Kisah-kisah klasik yang selalu hidup sangat lama.
Jejak langkah di atas pasir adalah kisah tentang jawaban Tuhan ketika seorang manusia protes keras karena merasa sangat menderita dalam hidupnya.
Baca juga: Apresiasi Dinikmati atau Dilawan?
Padahal baginya ikan adalah bawaan wajib pulang ke rumah untuk pernyataan eksistensial seorang kepala keluarga. Ah… situasi menjadi rumit. Dia berjalan menunduk, tetapi tidak banyak sadar dengan gerakannya.
(adsbygoogle = window.adsbygoogle || []).push({}); |
“Aku harus pulang dengan ikan, kujual, hasilnya akan kupakai untuk membeli beras, anak istriku butuh makan. Tetapi kalau anginnya sekencang ini? Kau di mana Tuhan?” keluhnya “Kau pernah bilang, semua makhluk di bumi ini, ciptaanMu berhak atas hidup bahagia, tetapi mengapa malam ini saya tidak bisa melaut?” dia terus protes.
Si nelayan melihat dan sadar, berat badannya sendiri tak mungkin mencipta jejak sedalam itu, meski pula ditambah beban dalam pikirannya. Tetap tidak akan sedalam itu.