Jejak Langkah di Atas Pasir

Siapa saja yang dapat membuat jejak langkah di atas pasir? Kita semua. Tetapi apakah jejak-jejak itu adalah milik kita yang dapat dilihat kasat mata? Mungkin tidak. Ada yang berjalan tetapi tidak terlihat wujudnya. Seperti angin? 

jejak langkah di atas pasir
Jejak Langkah Cahaya | Foto: Armin Bell

Jejak Langkah di Atas Pasir

“Aku di sini, tak pernah pergi!” 

Angin tentu saja tak terlihat tetapi selalu menitipkan jejak. Di film-film kita dapat melihat bagaimana gurun pasir yang gunung-gunungnya berpindah. Ada alur-alur terbentuk seperti seseorang baru saja melintas. Itu jejak angin. Hal-hal seperti itu selalu menarik buat saya, dan mendorong keinginan luhur mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut hohohoho, kenapa jadi undang-undang?

Maksud saya, membangkitkan niat untuk menulis ulang dan berusaha lebih kontekstual cie cieee… Kisah-kisah klasik yang selalu hidup sangat lama. 

Ada saat di mana saya senang mengenang cerita-cerita lama, mengingat betapa kuatnya pesan yang ada dalam setiap kisah klasik, sekuat musik-musik dari zaman Bach dan Mozart. Banyak kisah hebat di masa lalu yang pernah saya dengar, sebut saja Hachiko kisah tentang belajar setia dari seekor anjing di Jepang atau Kera Sahabat Ikan dari Afrika yang mengajarkan tentang pentingnya menghargai perbedaan; benar-benar menyenangkan. 
Dalam beberapa paragraf saja, mereka para pencerita masa lalu yang bahkan tidak kita ingat namanya, mewariskan banyak pesan hidup. 
Kisah lain yang mempesona adalah tentang protes manusia dengan Tuhannya. Saya tidak ingat bagaimana persisnya kisah itu, atau suasana dialognya. Hari ini saya mengingat itu sebagai cerita Jejak Langkah Di Atas Pasir dengan cara saya sendiri, dengan bingkai imajinasi yang sederhana. 
Jejak langkah di atas pasir adalah kisah tentang jawaban Tuhan ketika seorang manusia protes keras karena merasa sangat menderita dalam hidupnya.
“Tuhan, bagaimana bisa Kau tinggalkan saya sendiri di pantai ini?” demikian kira-kira orang itu mengawali keluhannya. Angin laut sedang ganas, dia tak bisa mengayuh perahunya ke tengah dan berbaring di pinggir pantai, kemudian melangkah pulang dengan gontai, pulang tanpa hasil melaut.

BACA JUGA
Ivan Nestorman dan Konser Setelah Badai

Baca juga: Apresiasi Dinikmati atau Dilawan?

Padahal baginya ikan adalah bawaan wajib pulang ke rumah untuk pernyataan eksistensial seorang kepala keluarga. Ah… situasi menjadi rumit. Dia berjalan menunduk, tetapi tidak banyak sadar dengan gerakannya. 

(adsbygoogle = window.adsbygoogle || []).push({});

“Aku harus pulang dengan ikan, kujual, hasilnya akan kupakai untuk membeli beras, anak istriku butuh makan. Tetapi kalau anginnya sekencang ini? Kau di mana Tuhan?” keluhnya “Kau pernah bilang, semua makhluk di bumi ini, ciptaanMu berhak atas hidup bahagia, tetapi mengapa malam ini saya tidak bisa melaut?” dia terus protes. 

Entah berapa banyak gerutuannya sampai sebuah suara didengarnya di tengah deru kencang angin dan bunyi pecah ombak, “Kau lihatlah ke belakang. Lihatlah jejak yang dalam di pasir itu. Ya… yang lebih dalam daripada ketika pasir menanggung berat badanmu. Ya, ya… lebih dalam bukan? Langkahmu sendiri tidak akan meninggalkan jejak sedalam itu. Tetapi mengapa itu dalam?” kata suara itu. 
Baca juga: Indonesia Negeriku Amnesia

Si nelayan melihat dan sadar, berat badannya sendiri tak mungkin mencipta jejak sedalam itu, meski pula ditambah beban dalam pikirannya. Tetap tidak akan sedalam itu. 

Dia lalu bicara sendiri dalam suara kecil,”Iya ya… kenapa sedalam itu?” 
“Karena itu jejak langkahKu.” 
“Apa? Jejak langkahMu? Kalau Engkau ada di sini, bukankah seharusnya ada empat tapak kaki yang membekas di pasir, aku dan Engkau. Mengapa hanya ada sepasang?” 
“Tidakkah kau mengerti? Aku sedang berjalan bersamamu sekarang. Engkau tak menjejak di pasir karena Aku sedang menggendongmu. Ya, menggendongmu. Karena engkau tak bisa berjalan ke arah yang benar, tidak bisa pulang ke rumahmu ketika sedang putus asa. Aku menggendongmu saat kau lemah. Sekarang, Aku yang berjalan untukmu” 
Saya hanya mengingat cerita ini sampai di sini. Benar… sampai di sini, karena tiba-tiba terdistraksi pada hal lain, sebuah pepatah tentang Dia, Tuhan yang digambarkan sebagai: tidak pernah memberi cobaan melebihi batas kemampuan manusia. Kisah klasik tentang Jejak Langkah Di Atas Pasir, membuat saya setuju tentang penggambaran singkat tersebut. Dan saya senang. 

Salam
Armin Bell
Ruteng Flores, 3 Februari 2012
BACA JUGA
Seniman dari Manggarai
Bagikan ke:

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *