dureng di ruteng dan orang-orang yang menyerah blogger ruteng ranalino armin bell

Dureng di Ruteng dan Orang-Orang yang Menyerah

Dureng di KBBI Daring Edisi V dijelaskan sebagai: du.reng/duréng/ n musim di Flores yang ditandai dengan turun hujan setiap hari, siang dan malam. Dureng di Ruteng itu hebat!


Ruteng, 29 Januari 2018

Ketika dureng yang adalah kosakata Manggarai itu masuk diakui sebagai kosakata Indonesia, kami di Manggarai merayakannya. Dalam beberapa obrolan akan terdengar nada-nada bangga tentang bagaimana ‘kita punya kata’ sekarang ‘diakui’ negara. Tidak semua, tentu saja. Tetapi mengingat bahwa ada pars pro toto dalam bahasa, maka kadang itu disimpulkan sebagai: Orang Manggarai bangga bahwa satu kata asli mereka menjadi kata dalam bahasa Indonesia.

Sedikit lucu, sedikit sedih, sedikit bikin gelisah, barangkali begitu. Maksudnya, seperti itu rasanya bertahun-tahun menjadi inferior; berbangga ketika diakui, meski tidak banyak, meski hanya satu. Aduh. Apa kabar daerah lain yang sudah menyumbang ribuan kata untuk bahasa pemersatu bangsa ini?

Tetapi catatan ini bukan tentang perjalanan duréng menjadi kosakata bahasa Indonesia. Toh, dia sudah ada di sana. Kita pakai saja. Dureng: musim di Flores yang ditandai dengan turun hujan setiap hari, siang dan malam. Itu di Ruteng. Ya, di Ruteng, di bulan Desember ke Januari ke Februari ke Maret bahkan kadang dia sampai Agustus kalau dia sedang mood enak, hujan datang setiap hari, siang malam.

Seperti sekarang. Bulan Januari ke Februari. Dureng melanda kota dan sekitarnya. Tidak berhenti. Kadang datang sendiri, kadang bersama angin, kadang bikin susah, kadang bikin senyum-senyum sendiri karena sepanjang hujan kau meringkuk dalam selimut dan membayangkan… ah…!

Hanya saja, meski saya sangat mencintai Ruteng, kota kecil dengan seribu gereja ini, dureng tetap bikin menyerah. Seberapa kuat kau meringkuk dalam selimut tanpa kehabisan khayalan? Dan di Ruteng, ketika khayalanmu telah selesai seluruhnya, hujan belum berhenti. Ter la lu…!

Inilah daftar orang-orang yang menyerah karena dureng di Ruteng:

Pertama, Para Pencuci Baju

Siapa saja yang bertugas mencuci baju, pasti akan menyerah pada hujan yang datang tak berhenti siang malam ini. Seperti saya. Menyerah. Bukan karena air di kamar mandi jadi semakin dingin tetapi tak ada tempat kosong di jemuran. Yang lama belum kering, bagaimana kau menjemur cucianmu yang baru? Maka saya menyerah. Melihat tumpukan pakaian yang menanti dicuci semakin menggunung, ingatanmu menerawang jauh. Jauh sekali. Di langit pikirmu menggantung beberapa aksara yang bermain cantik dan menggoda. Huruf pertamanya “L” dan huruf terakhirnya “Y”. Ada tujuh kotak. L-A-U-N-D-R-Y. Ke sanalah kau berangkat. Ke tempat laundry. Sisihkan beberapa rupiah, relakanlah hobi mencuci pakaian itu dikerjakan orang-orang di laundry itu tadi.

Kedua, Orang Tua Penuh Aturan

Jika kau adalah orang tua dari anak-anak balita, atau sampai SD kelas dua, beberapa aturan pasti kau buat. Salah satunya adalah mengawasi waktu anak bermain aneka di gawai telepon pintarmu. “Tidak baik terlalu lama di depan handphone,” katamu tegas. Lalu kau mengatur waktu: 30 menit bermain handphone, dan selebihnya bermain di halaman. “Interaksi dengan teman itu penting,” jelasmu dalam bahasa yang sulit dimengerti anak-anak balita.

Tetapi sekarang dureng. Hujan siang malam. Anak-anakmu mengamuk karena kau tidak bisa jadi superhero yang menghentikan hujan. Mereka ribut berat. “Kami main apa?” Tanya mereka. “Baca buku!” Jawabmu. “Sudah semua. Kalau begitu beli buku baru,” mereka menuntut. Kau hendak ke toko buku. Hujan dan angin kaulihat di balik jendela. Pada titik itulah kau menyerah. Menyerahkan handphone-mu ke anak-anak itu dan mengkhianati nasihatmu sendiri. Dureng, berakhirlah! Begitu kau berharap dalam hati. Tetapi ini Ruteng. Tempat hujan disemai dan lahir bebas dan berumur panjang. Kita bisa apa?

Ketiga, Para Pegawai Teladan

Kita semua punya teman yang selalu tiba tepat waktu di tempat kerja. Disiplin matipunya. Mereka digadang-gadang sebagai calon kuat peraih gelar pegawai teladan of the year. Tetapi tidak pada saat dureng. Ada dua alasan mengapa pegawai teladan menjadi kendor keteladanannya pada musim hujan yang datang siang malam. Pertama, dia sakit. Dureng membuat hidungnya tersumbat, badannya meriang. Melawan badai hanya agar selalu tiba tepat waktu, bukan pilihan yang baik untuk kesehatan. Kedua, dia tidak ingin dianggap aneh. Ketika hampir semua orang terlambat saat dureng, menjadi satu-satunya orang yang selalu tepat waktu akan dianggap aneh. Maka dia menyerah.

Keempat, Petugas Antar Barang Kiriman

Ini golongannya Pak Pos, petugas delivery makanan, orang-orang di jasa pengiriman, dan lain-lain. Tetapi kalau mau jujur, sesungguhnya tanpa dureng juga, banyak dari antara golongan ini yang sudah menyerah sejak dulu kala. Tidak semua. Ada beberapa yang memang tidak rajin jalan. Kalau barangmu dikirim dari tempat yang jauh via beberapa jasa kurir, di Ruteng, mereka tidak suka antar ke alamat tujuan. Mereka tinggal angkat hape, terus SMS: “Barangnya sudah sampai. Bisa datang ambil di kantor.” Sedih bukan? Mereka menyerah bahkan tanpa hujan. Tetapi Pak Pos memang sungguh tokoh yang sama sekali lain. Dedikasinya hebat. Meski tidak nekad menembus hujan, dia akan datang setelah hujan berhenti. “Neka rabo, baru sempat antar. Maklum kat dureng hoo,” katanya ramah. Kau mengangguk dan bilang terima kasih.

Kelima, Orang-orang Beragama

Saya agak ngilu membahas golongan ini. Tetapi memang begitu. Dureng bikin rumah ibadat di Ruteng cenderung sepi. Untunglah, kita selalu yakin bahwa “Tuhan Pasti Mengerti”. Hmmm… itu sudah.

Baca juga: 10 Plus Satu Hal Paling Diingat Tentang Ruteng

Tetapi dureng di Ruteng memang bikin orang-orang menyerah. Kalau saja ini adalah pertempuran antara bumi dan langit, saya sangat yakin bahwa penghuni bumi di Ruteng akan cepat angkat bendera putih tanda menyerah. Beberapa rumah bahkan tidak peduli bahwa stok kopi di rumah mereka telah habis. “Biar saja. Satu minggu tidak minum kopi tidak apa-apa. Siapa mau gila pi giling kopi hujan-hujan begini.”

Untunglah, Ruteng tetap Ruteng yang selalu bikin kangen. Kepada beberapa teman saya selalu bilang bahwa mereka hanya akan melihat wajah asli kota ini pada bulan-bulan dureng. Ketika ada kabut tebal, gerimis yang tak berhenti, di kota mana saja kau melihatnya, kau akan bilang: macam Ruteng im.

Salam
Armin Bell
Ruteng, Flores

Ps: Catatan ini lahir karena ditemani tiga ini: air hujan di luar rumah, air putih di gelas besar, dan air hidung yang tak berhenti mengalir. Itu!

Bagikan ke:

18 Comments

  1. Aih…aih… pa armin bikin saya makin cinta ruteng saja… saya suka skl kalimat terakhir tu… krn kami tidak tinggal di ruteng… miss ruteng so much!!!btw… cara pa armin bertutur mengingatkan saya pada beberapapenulis novel terkenal…kadang2 nackal..hehehe… maaf guyon saja pak!salam

  2. Sayang skl pak armin saya tidak pandai menuangkan isi hati dan kepala lewat kata2.. saya hya seorang pemuja kata2 yg lagi senang krn baru ketemu bacaan alternatif mll blog ini. Lagi cape hh krn belum selesai membaca buku kedua anna karenina..tll tebal…hahahhaha

  3. Satu kata yg tepat untuk hasil tulisan yg luar biasa ini ” pande nuk beo bate labar terutama Carep ” musim dureng beginj nih yg bikin adem ayem duduk lesehan dekat “Sapo” �������������� Salam perdamaian pak Armin…Mohon ijin untuk share yah hehehw

  4. Ruteng dan Dureng… pasti ada setiap tahun.
    sudah 10 tahun di Ruteng, dan masih sama.
    terima kasih kk Armin untuk tulisan inspiratifnya.

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *