Ando Fernando adalah mahasiswa di Program Studi Bahasa Indonesia STKIP St. Paulus Ruteng. Cerpen “Sang Pemburu” adalah karangannya yang kedua di ranalino.co. Selamat menikmati.
![]() |
Ando Fernando | Foto: Dok. Pribadi |
Sang Pemburu
Oleh: Ando Fernando
Bagi kau yang sering berburu mencari aurora berwarna emas, tak dapat ditemukan dan kau pun tetap memaksa. Kelak ketika tersadar, waktu yang kau buat hanyalah untuk membunuh sepi.
Dedaunan pohon yang kering ramai membasuh halaman rumahmu. Sudah hampir sepekan rumah tampak kusut tak kaurawat dengan baik. Bahkan sawah yang sebenarnya harus di-kalek sudah kering membelah tanah. Kau terlalu giat berburu, meninggalkan rumah, dan pergi jauh bersama pikiran yang kian melayang.
“Apa ini?” Tanyamu dengan alis mata hampir berciuman melihat sebuah kertas yang diletakkan di ambang pintu depan rumah. Bagaimana kau dapat mengerti? Hari-hari sebelumnya, tak pernah kaudapati seuntai coretan kertas. Apalagi berbicara dengan orang-orang sekitar kampung. Mereka semua takut karena kau sangatlah licik. Pandai mengibuli orang.
Di luar rumah, remang malam mulai datang. Kepalamu terasa sakit seharian berpikir sambil memandangi surat tersebut. Ingin sekali kau bertanya, namun keadaan sekarang tak lagi berpihak padamu. Tak mau diambil pusing, kau memutuskan untuk berburu. Berburu menemukan jawaban atas keheningan yang terjaga selama ini.
Seakan kekuatan terkendali penuh. Tubuh seperti mesin jet berkecepatan tinggi terbang melesat di udara, menembus cakrawala. Di luar angkasa, kau melayang bebas. Tidak terbebani. Nebula menyentuh dengan halus, menghantarkanmu pada bintang yang bergantungan warna-warni membius mata. Kau mulai berenang dalam lautan antarbintang.
Dengan gaya yang licik, kau pun mulai mendaftar posisi bintang, menentukan posisi bintang dan mengukur gerak bintang.
Perhentian terakhir terpaku pada sesosok yang sedang bertapa. Sebuah penampakan yang sangat ditakuti oleh orang-orang kampung. Namanya adalah Bulan Magis. Konon ia sering menggunakan kekuatan gaib untuk mencapai kepuasan dalam dirinya sendiri. Maka, keindahan yang tak kautemukan tadi dalam rumah, hilang begitu saja.
Kini, mata sang petapa yang tadinya tertutup langsung terbuka lebar dan menghantam pertanyaan kepadamu. “Siapa kamu?” suara Bulan Magis terdengar jelas dan tatapannya mengintaimu penuh curiga. Dalam benak kau menduga, sebentar lagi akan dihadapkan oleh peluru-peluru pertanyaan yang dapat mengobrak niat mencari jawaban.
“A-aa-aku a-aadalah Bessel. A-aaku se-sedang me-mengamati bintang. Ma-maksudku bintang Cygi 61,” jawabmu seakan fonem vokal [a] dan [e] begitu sulit diucapkan.
Baru saja Bulan Magis mengintai seluruh tubuh, baru saja kau memberi jawaban dari pikiran licik dan seketika pula ia langsung tertipu. Buru-buru sang petapa memintah maaf atas kelancangannya. Atas kesalahannya, kau diberi hadiah berupa sepenggal kekuatan agar dapat terlindung dari bahaya.
Merasa senang dan bangga, kau pamit, lalu pulang bersama kekuatanmu. Kau kembali menampakan diri di depan halaman rumah. Halaman yang tampak kusut penuh dengan dedaunan kering, penuh akan buah-buahan yang jatuh kian membusuk dan memanggil para lalat agar berbagi virus. Kau kuat. Seketika kau dapat membersihkan semuanya.
Sejenak, kau kembali pada pohon tuak. Melihat tuak bakok masih sedikit, kau mulai nenggo. Ini kau lakukan agar air yang keluar dari pohon, cepat memenuhi ruas tabung bambu.
(adsbygoogle = window.adsbygoogle || []).push({}); |
Kau bernyanyi begitu riang membiarkan nada-nada kromatis beterbangan di udara dan menari bersama. Belum lama kau bernyanyi, not-not begitu saja terjatuh mendengar suara burung hantu yang kuat menggema menghampirimu.
Baca juga: Nada-nada yang Rebah – Cerpen di Flores Sastra
Di bawah kepakan sayapnya, kedua kaki mengikuti arah terbang sang burung hantu dan membawamu menerobos hutan dengan bantuan cahaya bulan magis. Baru saja kau dikutuk oleh sang petapa tadi, pikirmu.
Entah sudah sekian jam lamanya kau berlari. Pori-pori melebar dan mengeluarkan keringat membasahi seluruh tubuh. Pohon-pohon hanya dapat menyaksikan kau berlari sendirian membiarkan banyak waktu berlalu, membiarkan suhu tubuh meningkat menyelimuti dingin malam panjang dan meski sudah berlari puluhan kilometer di atas tanah. Sepasang kaki belum juga berhenti.
Irama lolongan serigala terdengar jelas di telinga. Akhirnya, gerak langkah terhenti sejenak. Burung hantu hinggap di dahan pohon dengan matanya yang nanak menatapmu. Tidak takut.
Dalam hutan lebat, kau kembali melangkah dengan hati-hati membuka semak-semak setinggi tubuh. Ternyata irama tersebut menghantarkanmu pada kilauan cahaya keemasan menjolok ke langit.
Tak kaugubris apa yang akan menghalangimu di hutan lebat ini. Kau berlari begitu cepat mencari asal cahaya itu datang. Kini yang hadir di benakmu, kau akan dihantar pada jawaban dan memberi alasan atas sepimu selama ini.
Kau berhenti. Seekor serigala lari ketakutan melihat kau yang telah terpanah melihat sosok wanita berkulit putih. Betisnya lentik sedikit ditutupi songke membuat pinggulnya terlihat begitu rapi. Leher yang jenjang memberi kesan kokoh pada kepala yang berambut pirang dengan ikatatan berbentuk bunga.
Dan cahaya emas, cahaya yang menjulang ke arah bulan magis tadi berasal dari punggunya. Si Nggerang. Begitu orang-orang memanggilnya. Kau terpesona.
Kau bagai sang pemburu. Pemburu mencari cahaya dan cahaya itu kini berasal dari wanita cantik berkulit putih. Dia berlari kepadamu dan segera memelukmu.
Jatungmu berdetak cepat. Kau baru sadar bahwa rangkulan itu hanya sebagai penyambut bagi yang meminta pertolongan. Dari kegelapan, tak asing pengelihatanmu. Samar-samar warna pakaian begitu serasi. Di sekelilingmu, para pemburu lain sedang mengincar Nggerang. Nggerang yang malang.
Kau mencari celah di sana-sini agar bisa kabur dari situasi ini bersama Nggerang. Namun, mereka mengelilingi kalian seperti pasukan romawi. Tombak dan golok siap melempar dan mengibas siapa saja yang berani kabur.
Jatungmu tambah berdetak tak karuan mendengar bunyi kaki-kaki yang bergesekan dengan rumput yang tinggi semakin bergerak mendekat, semakin terdengar jelas bunyinya, dan sebuah bunyi keras pun datang menghampirimu dari belakang.
Pintu depan rumah jatuh begitu keras menampakan sesosok prajurit bersama bawahannya. Kau terbangun dari khayalmu dan baru sadar jika sedari tadi pintu telah digedor oleh para perajurit Raja Bima.
Para prajurit datang menghampirimu yang tak berkutik. Seorang prajurit dengan keras mengatakan, “Kami sudah memberi surat agar kau menghadap raja.”
Mendengar itu, seluruh badanmu bergetar sambil memandangi surat yang kau buang begitu saja ke lantai.
Banyak yang kau sadari. Tentang cahaya berwana emas yang kau dambakan. Ia adalah wanita incaran Raja Bima untuk diambil sisik emas dari punggunya. Tentang warna samar-samar para pemburu itu adalah prajurit Raja Bima. Tentang Raja Bima yang ditakuti masyarakat sekitar.
Kau tak bisa membaca. Pernah seorang kerabat mengajarimu membaca, namun kau kibuli dia dengan pikiran licikmu. Dia membiarkanmu hingga orang-orang sekitar kampung pun takut berbicara padamu. Takut karena kau sangatlah licik.
Di dalam kerajaan, si raja yang kautakuti mulai bertanya. “Bessel sang penemu paralaks. Itukah kamu?”
Lalu kau menundukan kepala. Samar-samar, dari kejauhan Aku melihat senyum sinismu itu. (Selesai)
Ando Fernando
Dari Komunitas Saeh Go Lino Ruteng. Ikut terlibat dalam pementasan Opera Ora The Living Legend pada Sail Komodo 2013.
Beberapa catatan:
- Kalek artinya membajak sawah.
- Bessel, Friedrich Wihelm Bessel adalah Ahli Astronomi Jerman yang menemukan Paralaks dari pengamatannya pada Bintang Cygi 61 (bintang yang hampir tak terlihat oleh mata telanjang).
- Tuak bakok merupakan minumam beralkohol yang warnanya putih.
- Nenggo, salah satu nyanyian adat Manggarai.
- Songke adalah kain orang Manggarai.